Part 1. That's Why

534 59 8
                                    

"Lo mau diem atau bibir lo gue bikin jadi biru?"

Deryl menatap dengan tajam Satya, teman sekelas laki-lakinya yang sedari tadi meledek Arum, teman sekelasnya juga yang sangat pendiam dan terlihat sering mendapat ejekan.

Satya terdiam, satu kelas pun terdiam.

"Ah elah, diem kan lu?" Raya, teman sebangku Deryl dari kelas 10 itu menyahut. Sifatnya sama seperti Deryl, hanya saja Raya seperti takut dengan laki-laki padahal jika ingin ditanya, teman sekelas laki-laki juga takut pada Raya. Bagaimana tidak, jika menyentuh Raya, perempuan itu tak segan untuk memukul mereka.

Entah, Raya seperti anti terhadap laki-laki.

"Jadi cowok lemes banget mulutnya. Makin jijik gue."

"Dikira gue gak jijik sama lo?" Satya membalas dengan gumaman kecil, berharap Raya tak mendengar. Namun, Deryl yang tepat di sebelahnya mengangkat alis karena mendengar dengan jelas perkataan itu.

Brak!

Deryl menggebrak meja, membuat suasana kelas yang sudah hening makin terkejut. Gadis itu mengangkat kerah kemeja Satya. "Ngomong apaan lo barusan?"

"Ng-nggak!" Satya gelagapan sendiri. Deryl mendesis di depan wajah Satya, "Gue denger jelas apa yang lo omongin tentang kawan gue. ULANG!"

"Ng-nggak Ryl, sumpah, ampun."

Deryl yang memang moodnya tidak baik dari pagi lalu menghempaskan Satya begitu saja, membuat lelaki itu diam-diam bergeser untuk menghindar.

"E-eh! Urusan kita belum selesai, bang jago. Ngomong apa tadi lo tentang gue? Hm? Coba ulang."

Raya menghampiri Satya dan bersidekap di hadapan lelaki itu, pandangan Raya sangat sinis.

Deryl memutar bola matanya dan beranjak keluar kelas.

Begitu keluar kelas, aura Deryl langsung berubah. Gadis itu tersenyum sangat lebar dan menyelipkan rambutnya yang di gerai ke dalam telinga. Deryl menghampiri seseorang.

"Hai, Darrenku! Dari mana?"

Darren, cowok pendiam, judes, agak misterius dan cenderung anti sosial sedang berjalan di koridor kelas Deryl, lelaki itu hanya melirik Deryl sekilas tanpa membalas pertanyaan gadis itu.

Deryl melirik tangan Darren yang membawa buku. "Oh, lo dari perpus, ya? Minjem buku apalagi?"

Darren menunjukkan judul buku yang dipegangnya sambil berjalan. "Ah, buku Fisika. Perasaan lo baru minjem buku Fisika juga dua hari yang lalu?"

"Udah selesai."

Mendengar pertanyaannya berbalas, Deryl tersenyum sumringah. "Bokap gue guru Fisika, mau gue pinjemin buku-bukunya? Bawa semua juga boleh." Deryl berkata sambil terus tersenyum. Di koridor, anak-anak yang sedang berada di depan kelas memerhatikan mereka berdua dengan pandangan bermacam-macam. Rata-rata mereka menatap keduanya sebagai couplenya SMA Pancasila.

Darren hanya acuh terhadap pandangan orang, dan juga sedikit risih melihat Deryl yang terus menempelinya.

Darren menatap Deryl sambil menghela napas, "Gak."

"Ayolah, gapapa kok sama bokap gue. Apalagi bokap gue udah tau lo."

Darren mengernyit, sejak kapan ia bertemu dengan orang tua gadis ini?

Dalam hati Deryl tersenyum dengan khawatir, padahal Papanya adalah pembisnis, bukan guru Fisika.

"Gak perlu," Darren belok ke arah taman sekolah dimana terlihat beberapa meja yang biasanya digunakan siswa atau siswi untuk makan atau belajar.

Darren duduk di salah satu kursi yang di bawah pohon, Deryl melihatnya semakin sumringah. Waktunya untuk berdekatan dengan Darren semakin panjang, dan mengingat ini juga sedang waktu istirahat.

Deryl duduk di kursi tepat dihadapan Darren yang sedang membaca bukunya sambil meminum susu kotak yang sedari tadi ia bawa di tangan.

"Apa lo gak mual, baca buku terus?"

Darren masih cuek membaca bukunya, tak meladeni pertanyaan Deryl.

"Ehm, lo mau makan apa? Biar gue suruh orang beliin buat lo. Belum makan, kan? Gue beliin batagor aja—"

"Tania."

"Hah?" Deryl langsung kembali menatap Darren. Darren mengangkat pandangannya dari buku, menatap Deryl. "Lo apain Tania, kemarin?"

"Ah," Deryl tersenyum. "Cuma gue gertak dikit doang. Siapa suruh dia naro surat di loker lo. Gue sama Raya cuma ngomong doang sih, emang dia ngadu apa ke lo?"

Deryl terlihat sangat santai, lihat saja, sekarang gadis itu sibuk melihat kukunya yang sudah rapih sambil menaikkan sebelah kaki ke atas kursi.

"Dia nangis ke lo gitu? Cih lemah banget, kemaren aja nyolot sama gue, giliran ke lo nangis. Muka dua banget."

"Lo gak bisa gituin semua perempuan begitu!" Darren menggertak dengan tatapan tajam.

"Semua? Nggak, cuma cewek-cewek yang punya nyali aja berani deketin lo. Gatau kalo Darren itu punya Deryl?"

Darren mendecih sinis.

"Itu sebabnya gue gak suka lo."

Lalu Darren beranjak dari tempat duduknya, sedangkan Deryl, gadis itu menatap punggung Darren dengan nanar lalu menelungkupkan wajahnya di meja sambil menghela napas.

***

Gak ada prolog, wkwkwkkw.

share yu.

thank u udah mampir❤️

Stuck With You (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang