Part 4. Balkon

211 45 9
                                    

Deryl menatap pemandangan luar dari luar balkon apartemennya. Gadis itu duduk dengan secangkir teh hijau dan selimut bewarna abu-abu.

Menghela napas, gadis itu menyesap tehnya.

Merasakan ada pergerakan dari ujung mata kanannya, Deryl menoleh ke arah balkon sebelah dimana Darren keluar dari sana dengan membawa buku serta cangir.

Darren tak menyadari kehadirannya lalu Deryl menopang wajahnya di atas pagar pembatas balkon. "Udah malam, kenapa masih baca buku?"

Darren menoleh ke arah Deryl dan menatap gadis yang sedang tersenyum itu. Darren menangkap senyum yang berbeda dari wajah Deryl kali ini.

Darren membalikkan halaman buku, "Kenapa?"

Deryl terdiam sebentar lalu beralih dari menopang wajah kemudian menyandarkan kepalanya di pagar balkon. "Mama papa gue perebutin gue lagi. Padahal udah berkali-kali kan gue bilang kalo gue mau sendiri."

"Kapan?"

Pertanyaan Darren begitu ambigu namun Deryl paham. "Dari tadi sore mereka nelponin gue terus, tapi gak pernah gue angkat."

Ya, Darren sudah mengetahui cerita hidup Deryl, dimana orang tua yang sudah tiga tahun ini berpisah dan memperebutkan dirinya lalu tentang keluh kesah Deryl selama ini, Darren tau semuanya. Karena gadis itu selalu berbagi tanpa diminta.

Namun tanpa Deryl ketahui, Darren selalu berjanji kepada dirinya sendiri untuk selalu ada untuk Deryl semenjak hari itu.

Flashback on.

Darren sudah tinggal di apartemen sejak kelas 1 SMA, karena orangtuanya tinggal di Bandung dan ia memilih sekolah di Jakarta, jadilah Darren tinggal sendiri di apartemen.

Kala itu masih melewati satu semester dimana hidup Darren dengan tiba-tiba terusik oleh seorang gadis yang dari awal masuk sekolah sudah membuat masalah dengan senior. Darren diam namun memerhatikan jika gadis itu hanya memiliki satu teman perempuan.

Perempuan yang sejak seminggu pertama masuk datang ke perpustakaan dan menemukan Darren lalu memperkenalkan dirinya itu terlihat banyak yang tidak menyukainya, mungkin karena sifat terlalu beraninya.

Perempuan itu memperkenalkan diri dengan nama Deryl. Sejak pertama kali bertemu di perpustakaan, Deryl selalu datang menemuinya lagi dan lagi. awalnya hanya seminggu dua kali namun sebulan kemudian berubah jadi setiap hari karena memang Darren mengunjungi perpustakaan setiap hari.

Perempuan itu, yang sejak awal hanya Darren diamkan dan tidak respon namun seakan tidak mengenal kata penolakan, ia tetap datang dan menceritakan apa saja hal kepada Darren yang memang tidak bisa dialihkan dari buku.

Namun entah gadis itu sadar atau tidak, Darren selalu menyimak dan menyimpan dalam otak apa saja yang gadis itu katakan.

Ya, Darren menganggap Deryl ada meskipun jika dilihat secara langsung Darren tidak menganggap Deryl.

Darren sangat terkejut saat suatu ketika ia bangkit dari kursi setelah selama dua jam pelajaran menunggu gadis itu bangun dari tidurnya dan gadis itu tiba-tiba menarik tangannya.

"Darren, gue suka banget sama lo. Cuma lo yang bisa ngerti gue dan paham kondisi gue."

Darren mengernyit, sejak kapan perempuan itu berasumsi seperti itu? Karena kelihatannya Darren sangat tidak peduli pada Deryl.

"Gue tau lo selalu perhatiin gue, lo inget semua cerita gue dan lo anggep gue ada biar keliatannya lo gak anggep gue."

Darren mengangkat sebelah alis. Terus?

"Gue suka sama lo, gak peduli lo suka balik sama gue atau nggak, intinya gue cuma mau nyampein kalo gue suka sama lo dan gue yakin suatu saat nanti lo juga akan suka sama gue."

Darren melepaskan cekalan tangan Deryl dari tangannya lalu berjalan meninggalkan gadis itu yang menunduk di kursi perpustakaan.

Tanpa tau sebenarnya jika Darren mengamini dalam hati dan menunggu waktunya.

Flashback off.

"Lo pilih mana?"

Kalimat pertanyaan itu tidak terdengar seperti pertanyaan karena tidak terdapat intonasi di dalamnya, namun Deryl kini menatap Darren sambil menghela napas dengan mata berkaca-kaca. "Gak tau, gue sayang mereka. Gue sayang dua-duanya. Tapi kenapa mereka harus pisah? Mereka gak mikirin perasaan gue kenapa sih? Sakit loh liat mereka saling bentak disaat dulu mereka saling lempar senyum. Sakit loh Dar."

Darren mengangguk.

Deryl menghela napas, tak berharap respon berlebih dari Darren. "Gue pindah kesini karena gue udah muak di rumah udah kayak orang asing satu sama lain. Pengen rasanya gue bunuh aja cewek itu, Dar."

"Jangan."

Deryl tersenyum masam, "I know. Rasanya masih kayak mimpi aja, ya. Gue gak bisa benci dia karena ini kesalaham nyokapnya. Biar dia sampe sekarang gak tau juga rasanya gue tuh sakit hati banget Dar kalo liat mukanya. Gue marah, marah kenapa harus dia yang terlibat sama perempuan bajingan itu. Kenapa harus nyokapnya Raya?"

Darren mengangkat bahu. "Jangan nangis."

"Gak bisa," air mata Deryl malah semakin deras. "Sakit banget kalo diinget lagi. Gue terlalu lemah nangis mulu di depan lo, ya? Maaf ya Dar gue udah kayak hama aja di hidup lo. Gue dateng tiba-tiba dengan ngasih beban diri gue ke elo. Karena..., gue udah hopeless, gue gak tau mau lari ke siapa lagi."

"Ke Allah."

Deryl tersenyum kecil. "Dar," gadis itu bangkit dari kursinya. "Ajarin gue sholat, ya?"

Darren mengangguk lalu tersenyum kecil menatap Deryl.

Malam itu dimana pertama kali Darren menampilkan senyum ke arahnya, di malam yang dingin dengan balkon, selimut, dan teh hijau, hati Deryl menghangat.

***

Rajin bgt up tiap hari. jangan lupa share ke temen temen lo ya geng, gue syg bgt sm lo semua deh.

Stuck With You (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang