Part 14. Always

154 39 4
                                    

Bunyi pintu apartemen terbuka tak membuat Deryl yang sedang duduk di balkon apartemennya itu beranjak. Tak lama langkah kaki terasa mendekat ke arahnya.

"Li ....," sudah menduga jika itu adalah Reynand. "Kita bisa ngomong?"

Deryl menyesap teh dalam cangkirnya lalu menoleh ke arah Reynand dengan senyuman manis. "Duduk aja, kaku amat lo kayak kertas banjir."

Diam-diam Reynand mengembuskan napasnya dengan lega, Deryl tidak berubah. Deryl masih menatap ibu kota dari arah balkon apartemennya itu saat merasakan Reynand ikut duduk di kursi sebelahnya.

"Soal tadi ....,"

Deryl menoleh saat mendengar Reynand memberhentikan ucapannya, "Ngomong aje."

"You know, gue paling gak bisa bohong sama lo. Kita diminta tunangan buat kuatin perusahaan bokap gue."

Deryl terkekeh sinis, "Udah gue duga gue dijadiin alat."

Reynand menghela napasnya dengan lesu. "Sorry, gara-gara bokap gue kita jadi terjebak kayak gini."

"Lo gak benci bokap lo?" Deryl memiringkan kepala, bertanya.

"Why?"

"Dia suka gebukin lo, misalnya?"

"Udah gue bilang kalo gue yang caper sama dia. Dipukulin itu ya respon dia dari kecaperan gue."

"Tolol," Deryl mendengkus. "Lo orang munafik kesekian yang gue temuin di dunia ini."

"I know. Mau gimana lagi? Disini gue cuma punya bokap, tapi sekarang nambah."

"Siapa?"

"Elo."

Deryl terdiam seraya menghela napas. "Lo nerima gak?"

"Gue nerima aja. Baru pertunangan, kan? Bukan disuruh nikah. Tunangan bisa aja putus."

"Nikah bisa aja cerai."

"Lo bener," Reynand menjeda ucapannya. "Jadi, keputusan lo?"

Deryl menatap lelaki disebelahnya yang ternyata masih memakai seragam sekolah miliknya. Mengamati temannya dengan raut tak terbaca, Deryl terkekeh miris. "Gue baru aja ditolak mentah-mentah. Jadi apa salahnya kalo gue nyoba?"

"Li ....,"

"Reynand," Deryl menegaskan tatapannya. "Ayo kita tunangan."

Ada kegetiran dalam ekspresinya yang membuat Reynand agak tak senang saat mendapati hal itu. Deryl dengan sangat terpaksa menerima pertunangan dengan dirinya, harusnya ia tak berharap lebih.

Ia mengamati gadis itu yang kini meraih cangkir berisi teh sambil menatap kosong jalan raya dibawah sana menampilkan wajah ibu kota di malam hari. Reynand mengikuti tatapan Deryl dan ikut menatapi titik yang sama.

Walaupun otak mereka sama-sama sedang berpikir tak karuan.

Tak seperti seseorang disisi lain yang tak sengaja mendengarkan percakapan mereka sedari tadi sambil mengeratkan kepalan tangannya pada jendela gorden.

"Ditolak mentah-mentah?" desis orang itu.

***

"Pertunangan kita dua minggu lagi. Gue udah sampein ke Papa lo yang ngurus semuanya. Dia minta gue nanya ke elo buat bikin acaranya kayak gimana? Lo mau sebar undangan?"

"Gak perlu," Deryl menatap Reynand yang baru memasuki apartemennya sambil mengenakan seragam pagi itu. Ia membantu Reynand memakai dasi sekolahnya. "Gue risih liat orang rame-rame."

"Oke," Reynand mengangguk. "Darren sarapan?"

"Udah ada gue calon tunangan lo disini lo masih mikirin laki lain?"

Deryl berdesis, "Gak usah drama. Masih pagi, Nyet."

Reynand duduk di kursi makan seraya mengangkat bahu. "Gue keluar dari kamar dia lagi duduk di ruang tamunya. Gak tau ngapain."

"Dia makan gak ya?" gumam Deryl. "Eh tapi dia kan produktif. Bisa banget mandiri dia mah."

"Tuh tau," sahut Reynand.

"Iya, gak kayak elo."

Kini lelaki itu mendengkus malas.

"Soal kemaren, yang lo bilang ditolak mentah-mentah itu sama siapa?"

"Sama Darren lah, siapa lagi?"

Reynand berdecih sinis. "Bilang apa lo sama dia?"

"Ya gue bilang semuanya. Dari yang kita mau tunangan sampe gue bilang yang kesekian kali kalo gue suka dia."

"Lo gak ada rasa gengsi gitu?" Reynand mengigit rotinya.

Deryl menggeleng, "Kalo mau gengsi mah harusnya dari dulu, Rey."

***

Bel istirahat sekolah berbunyi, Raya langsung menarik lengan Deryl untuk mengajaknya ke kantin karena perutnya sudah lapar minta diisi.

Mereka berdua memesan bakso dan duduk di salah satu kursi kantin. "Eh Ryl," Raya menyenggol lengan Deryl membuat sang empunya menatapnya dengan alis terangkat satu.

"Soal kemaren, gimana?"

Deryl mengangkat bahu. "Gue setuju."

"Hah?" Raya terlihat terkejut. "Kesambet apaan lo?"

"Gak tega, Ray." Deryl menghela napas. "Alesannya itu tentang keluarga Reynand pokoknya. Gue gak bisa gak bantu dia."

"Bukannya dia gak akur sama bokapnya?"

"Gak tau," gadis itu mengangkat bahu sambil mengigit bakso. "Gue tanya kalo dia ada rasa benci gak sama bokapnya biar gue punya alesan buat nolak, eh dia malah bilang nerima. Yaudah gue ngikut."

Raya mengembuskan napasnya lelah. "Tunangan bukan main-main. Biasanya tunangan itu diadain kalo dua orang yang udah mulai masuk ke jenjang serius. Perasaan lo gimana ke Reynand?"

"Apaansi lo?" Deryl malah menatap sahabatnya itu dengan tajam. "Lo bahkan udah khatam banget gue demen sama siapa, kan?"

Raya mengangguk, "Darren, dan always Darren."

"Good girl," Deryl mengangguk puas.

***

komen + share yaaa jangan lupa:)

Stuck With You (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang