4

1.2K 203 5
                                    

***

Kembali ke mobil kemah. Lisa meletakan ikan dan beberapa tiramnya di westafel, berencana untuk mencuci makhluk-makhluk laut itu. Tapi sebelum mencuci, gadis itu berjalan keluar, melangkah ke bagian belakang mobil kemahnya kemudian membuka bagasi mobilnya. Di bagian bawah ranjang yang jadi tempat tidurnya semalam, ada sebuah bagasi. Bagasi persegi yang hanya bisa ia buka dari pintu di belakang mobilnya.

Awalnya Jiyong masih merokok di tepi tebing, tapi melihat Lisa berdiri di depan bagasi membuatnya dengan sigap langsung menghampiri gadis itu. Jiyong membantu gadis itu mengeluarkan meja plastik dan kursi lipatnya, sedang Lisa masih mengeluarkan satu tas peralatan masaknya di sana– berisi sebuah kompor portabel dengan panggangan dan beberapa mangkuk stainless steel lainnya.

"Aku akan merapikan mejanya," ucap Jiyong kemudian, meraih tas kotak seukuran koper kabin berisi peralatan memasak dari tangan Lisa.

"Bisa pasang kanopinya juga?" tanya Lisa dan Jiyong menganggukan kepalanya. "Kalau begitu aku akan menyiapkan makanannya. Oh iya, kanopinya ada di bagasi juga," seru Lisa yang kini berjalan masuk ke dalam mobil kemahnya, berencana untuk mencuci makanan mereka, memasak nasi juga menyiapkan beberapa lauk tambahannya.

Lisa sedang mencuci empat ekor ikan makarel yang nanti akan mereka panggang. Gadis itu juga membersihkan beberapa tiram dan kerang yang tadi mereka beli. Sementara di dalam microwavenya, ada semangkuk nasi instan yang sedang dimasak.

"Apa kau punya arang atau kayu bakar?" tanya Jiyong, yang tiba-tiba saja muncul di pintu mobil kemah, menegur pemilik mobil yang sedang serius dengan kerang-kerangnya.

"Tidak, kita bisa memanggang ikannya di atas kompor," jawab Lisa, yang selama beberapa bulan ini tidak pernah ingin repot-repot menyalakan api. Ia selalu memakai kompor gas dan penghangat berdaya listrik selama ini.

"Kalau panggangan? Bukan grill pan, tapi panggangan,"

"Juga tidak punya," jawab Lisa sekali lagi.

"Kalau begitu baiklah," ucap Jiyong yang kemudian pergi keluar meninggalkan Lisa dan pekerjaannya.

Selesai mencuci semua bahan makanannya, Lisa berjalan keluar dengan sebuah mangkuk besar berisi ikan dan makanan lainnya. Awalnya Lisa tidak mengharapkan apapun, tapi saat ia keluar, ia melihat asap mengepul di depan mobilnya. Jiyong sudah memasang kanopinya, tapi di luar kanopi itu ia berjongkok di atas tanah, sedang mengaduk-aduk api dan kayu di depannya.

"Oppa membuat api? Untuk apa? Darimana kayu bakarnya?" tanya Lisa, yang ikut berjongkok di sebelah Jiyong sembari memangku mangkuk ikannya. Di depan mereka kini ada beberapa batu bata bekas block jalan yang disusun seperti tungku. Di tengah-tengah susunan batu itu, Jiyong membuat sebuah api unggun kecil dari ranting-ranting dan dedaunan kering yang bisa ia temukan. Padahal semalam hujan, tapi baru beberapa jam matahari bersinar, dedaunan dan ranting sudah mulai kembali mengering. Matahari terlalu terik di sana.

"Ikan laut lebih enak dibakar dengan api," jawab Jiyong sembari mengipasi api dari ranting-rantingnya yang terbakar. "Kenapa kau menangis?"

"Terlalu berasap," jawab gadis itu, sembari menutup matanya rapat-rapat.

Jiyong terkekeh, bukan kali pertama tapi pagi ini terasa cukup menyenangkan, juga cukup berkesan. "Menjauh lah, akan ku bakar ikannya, kau lakukan saja hal lainnya di meja," suruh Jiyong, meraih mangkuk berisi sarapan mereka dari pegangan Lisa.

Jiyong memasak ikan-ikan itu, sedang Lisa menghindari asap dan berdiri di sebelah meja plastiknya. Jiyong sudah menata meja, tapi karena kompor portabelnya tidak jadi ia gunakan untuk memanggang ikan, Lisa jadi punya ide untuk membuat sup. Gadis itu kembali masuk ke dalam mobilnya, membuka lemari esnya dan menemukan sisa kimchinya di sana. Ia juga menemukan beberapa potong tahu di dalam lemari esnya. Setelah memutuskan untuk memasak sup tahu dengan kimchi, gadis itu mulai bekerja dengan masakannya. Bumbu instan benar-benar membantu di saat seperti ini. Ia jadi tidak perlu lagi membawa bumbu-bumbu yang mudah busuk.

Sup dan nasi sudah siap, begitu juga hewan laut yang Jiyong bakar. Mereka benar-benar sedang berkemah sekarang, walau semua itu terlalu berlebihan untuk ukuran sarapan dua orang kurus. Lisa ragu mereka bisa memakan  semua makanan itu di pukul sebelas pagi ini. "Kita memakan waktu terlalu lama untuk menyiapkan semua ini. Sekarang hampir jam makan siang," komentar Lisa setelah ia melihat semua yang mereka siapkan di meja makan.

"Kalau begitu anggap saja ini makan siang," balas Jiyong, yang kemudian meraih sumpitnya untuk mengambil sepotong kerang dari cangkangnya dan meletakkan kerang itu di atas mangkuk nasi Lisa. "Cicipi kerangnya," suruh Jiyong, berencana untuk memamerkan kemampuannya membakar.

"Whoa! Luar biasa, seperti kerang bakar," komentar Lisa setelah ia menguyah dan menelan kerang kecil itu. "Maksudku rasanya enak dan matang sempurna. Aku tidak terlalu suka kerang setengah matang apalagi yang terlalu matang," jelas Lisa kemudian.

"Aku tidak bisa memasak," jujur Jiyong kemudian. "Tapi dulu orangtuaku punya restoran BBQ dan aku sering membantu mereka menyalakan api lalu memanggang," tuturnya, menjelaskan bagaimana ia bisa memanggang makanan mereka dengan begitu sempurna. Makarelnya renyah di luar, kulit ikan itu terbakar dengan sangat sempurna namun daging di dalamnya masih sangat lembut dan tidak hangus.

"Ah... Pantas saja Seunghyun oppa sangat menyukainya- ah... Aku belum memperkenalkan diriku dengan benar ya? Seunghyun oppa sepupuku. Ibunya adalah adik sepupu ayahku."

"Kau putri penulis Kim Taehoon?"

"Maksudmu anak haram? Ya, itu aku," jawab Lisa sembari menganggukan kepalanya. Di saat itu lah Jiyong menutup mulutnya. Gerakan dan raut terkejut pria itu lantas membuat Lisa bertanya-tanya. Apa gelarnya sebagai anak haram paling menyedihkan di seluruh penjuru negeri semengejutkan itu?

"Berapa usiamu sekarang? Dua puluh lima tahun?" tanya Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya. "Aku hampir jadi ayah tirimu. Yumi noona- maksudku Jung Yumi, dia ibumu, iya 'kan?" ucap Jiyong dan kali ini giliran Lisa yang memamerkan raut kagetnya. Pantas saja kemarin Jiyong merasa mengenali wanita yang ia lihat itu.

"Ya? Bagaimana bisa? Dimana kalian pernah bertemu?"

"Dia teman noonaku, Dami noona. Ibumu model freelance yang bekerja untuk noonaku, di Rare Market. Aku pernah bertemu dengannya di rumah noonaku, ibumu sangat cantik. Dia tidak terlihat seperti wanita empat puluh tahun waktu itu-"

"Eomma memang begitu, sikap dan penampilannya tidak pernah terlihat seperti wanita beranak satu," potong Lisa dengan senyum mengembang di wajahnya. "Oppa menyukainya? Aku tidak terlalu terkejut dengan itu, memang banyak yang menyukainya. Tapi mendengar kalau kau akan jadi ayah tiriku... Sedikit mengerikan,"

"Tidak, bukan begitu. Aku menyukainya, sekitar lima tahun lalu? Noonaku bilang kalau dia sudah punya seorang anak, tapi waktu itu aku tidak begitu peduli. Ku bilang aku bisa jadi ayah untuk anaknya, aku tidak keberatan. Ku pikir anaknya masih lima atau enam tahun, tapi Yumi noona langsung menolakku saat aku bilang begitu. Dia bilang, kau bahkan tidak tahu apapun, bisa-bisanya bilang ingin jadi ayah putriku. Putriku sudah dua puluh tahun. Kau lebih cocok berkencan dengan putriku dibanding jadi ayahnya. Begitu katanya dan aku terkejut, kemudian kehilangan rasa percaya diriku, jadi aku menyerah,"

"Kalau itu lima tahun lalu... Berarti usiamu... dua puluh tujuh? Dan oppa ingin menikahi wanita empat puluh tahun? Woah... Apa oppa gila?"

"Tidak, aku tidak gila, saat itu aku hanya bodoh. Aku tertipu semua bayanganku sendiri. Tidak ada yang memberitahuku usia ibumu, aku juga tidak pernah bertanya. Orang-orang hanya bilang kalau dia sudah punya anak. Jadi kupikir dia wanita tiga puluh tahunan yang punya anak usia sekitar lima tahun. Kira-kira seperti itu bayanganku, aku mempercayainya– bayanganku sendiri– dan tidak pernah mencari tahu."

"Lalu apa reaksimu setelah kau tahu?"

"Dia melarangku menyukainya lagi dan aku melakukannya. Kami tidak pernah bertemu lagi setelah itu," jawab Jiyong, tanpa melupakan makan siang yang ia siapkan selama berjam-jam tadi. "Jangan salah paham. Aku menjauh bukan karena aku berhenti menyukainya setelah tahu tentang usia aslinya. Aku tidak mencintainya hanya karena usianya. Aku tidak sespontan itu. Aku memutuskan untuk berhenti dan menyerah karena ku pikir aku tidak bisa mengatasi ibumu. Dia memberitahuku tentang beberapa hal yang mungkin akan terjadi, dan saat itu aku tahu kalau cintaku ternyata tidak cukup besar untuk bisa mengatasi semua masalah yang mungkin akan terjadi nanti, seperti seorang pengecut."

***

Summer MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang