***
Harusnya mereka hanya butuh dua hari perjalanan untuk sampai pulang ke rumah masing-masing. Tapi perjalanan itu justru berkembang menjadi tujuh hari penuh, sebab mereka berhenti di terlalu banyak tempat. Awalnya mereka hanya duduk-duduk di mobil, berbincang dan makan bersama di sana. Tapi lama-kelamaan mereka membutuhkan hal lain.
Di Jeju, mereka berhenti di dua pantai. Kemudian begitu mereka meninggalkan pulau Jeju, mereka merubah destinasi perjalanan mereka jadi ke beberapa pegunungan dan lahan perkemahan. Perjalanan itu terlalu menghibur bagi mereka yang terlalu dingin untuk peduli pada gosip yang sudah beredar– G Dragon berkencan dengan seorang wanita dan terlihat ada dimana-mana. Hampir setiap harinya selama satu minggu, tajuk-tajuk di laman berita jadi seperti template yang hanya mengganti-ganti nama lokasinya.
Ini adalah hari terakhir perjalanan mereka. Hari ke tujuh. Hanya perlu satu jam untuk sampai di rumah masing-masing, tapi mereka justru memarkir mobil kemah itu tepi sungai Han, di bagian yang tidak terlalu ramai tepatnya di sebrang Galleria Foret.
"Oppa, kau tidak ingin mengundangku ke rumahmu?" tanya Lisa, yang kini mengikuti Jiyong untuk memanjat naik ke atap mobilnya dan duduk di sana dengan bantal-bantal yang sudah lebih dulu Jiyong bawa. Gadis itu menunjuk dua gedung pencakar langit di depan mereka, mengatakan kalau itu Galleria Foret seolah Jiyong tidak tahu gedung apartemennya sendiri.
"Tidak ada apapun di sana selain barang-barang. Aku pindah rumah," jawab Jiyong, yang sudah lebih dulu berbaring di atap mobilnya, memandangi bintang-bintang di atasnya.
Saat itu, tiba-tiba saja, wajah seorang gadis muncul di atasnya. Lisa yang duduk di sebelah Jiyong, menatap wajah pria yang berbaring itu. "Kapan oppa pindah? Kenapa? Karena kasus pelecehan itu?"
"Tahun lalu," balas Jiyong, mulai memperhatikan sedikit demi sedikit lekuk wajah Lisa yang muncul tepat di depan wajahnya.
Setiap kali ia melihat Lisa, Jiyong pikir gadis itu adalah orang yang aneh. Ia adalah orang dengan kepribadian yang sangat mudah bahagia, tapi juga punya jiwa penuh kesedihan di dalam satu tubuh yang sama. Alih-alih cangkang kosong yang berharap kekosongan itu dapat terisi penuh, di mata Jiyong, gadis itu justru punya terlalu banyak emosi.
"Kemana oppa pindah?" tanya Lisa kemudian, kini gadis itu ikut berbaring di sebelah Jiyong, ikut memandangi bintang di atas mereka walau Jiyong sedikit kecewa karena wajah Lisa tadi jauh lebih menarik dibanding bintang-bintang yang tidak terlalu nampak.
"Tempat yang lebih baik," ucap pria itu sebelum ia mengatakan kalau tidak ada bel pintu di rumah barunya. Ia juga punya sebuah tempat parkir yang lebih eksklusif di banding tempat parkir sebelumnya. Jiyong bercerita kalau ia bisa mengatasi isu privasi di rumah barunya yang sekarang.
"Lalu kalau keamanannya sebagus itu, bagaimana caranya orang berkunjung ke sana?"
"Telepon aku. Kalau aku mengizinkanmu datang-"
"Kurasa itu artinya jangan datang. Aku tidak bisa meneleponmu."
Pembicaraan itu berakhir. Keduanya menarik dan membuang nafas mereka dengan kasar, seolah ada sebuah batu besar yang menahan di dada mereka. Ini bahkan belum satu bulan, apapun alasannya, kalau Jiyong mengatakan apa batu yang menahan dadanya, Lisa mungkin saja mengatakan kalau itu terlalu cepat. Sedang Lisa justru merasa khawatir Jiyong akan menghindarinya setelah tahu apa batu yang mengganjal di dadanya.
"Oppa," gumam Lisa yang kini bergerak, sengaja menyamping untuk melihat Jiyong yang berbaring di sebelahnya. "Terimakasih karena sudah menemaniku beberapa hari ini. Aku suka berjalan-jalan sendirian, tapi berjalan-jalan denganmu juga tidak kalah menyenangkan. Ini adalah perjalanan terakhir kita, iya kan? Setelah ini kita harus kembali ke jalan masing-masing. Setelah ini kita harus bekerja dan bertahan hidup. Tapi ku harap kita tidak perlu bertemu di tempat kerja, ku harap oppa tidak akan datang ke tempat kerjaku, apalagi kalau oppa jadi terdakwa, jadi... Berhati-hatilah."
"Itu cara yang sangat panjang untuk mengatakan jangan dituntut lagi," balas Jiyong, yang ikut bergerak, menyamping untuk menatap Lisa. "Tapi Lisa... Maaf, tapi aku tidak bisa lagi melihatmu-"
"Nanti," potong Lisa, membuat Jiyong yakin kalau ia terlalu terburu-buru. Hanya karena perjalanan itu berakhir, tidak berarti mereka juga akan berhenti bertemu, Jiyong harus meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak terburu-buru seperti sebelumnya. "Nanti, kalau oppa bertemu seseorang yang mengenalku, lalu kalian membicarakanku dan dia mengatakan sesuatu tentangku, percayai saja. Tidak semua orang mendapatkan versi yang sama tentangku. Seseorang mungkin akan memberitahumu kalau aku luar biasa cantik, lalu orang lain mungkin akan mengatakan kalau aku luar biasa jahat. Percayai saja keduanya, karena aku bisa melakukan apapun, tergantung bagaimana mereka memperlakukanku."
"Apa yang di lakukan appamu sampai kau bisa jadi luar biasa jahat? Kau belum memberitahuku. Apa yang terjadi sampai istri appamu menyebutmu cangkang kosong?"
"Ini rahasia," ucap Lisa kemudian. "Eomma... Tidak boleh tahu... Dia akan sangat hancur kalau sampai tahu. Aku tinggal dengan appaku saat usiaku masih tujuh atau delapan tahun. Tidak lama, karena waktu itu eomma hanya menitipkanku di sana. Tapi tinggal di sana rasanya seperti masuk neraka. Mereka mengabaikanku, mereka menelantarkanku. Mereka melihatku jatuh ke air, tapi seolah mereka ingin aku mati, mereka membiarkanku, menontonku dengan wajah dingin yang- augh menyebalkan," keluh Lisa yang kini berbalik menghindari tatapan Jiyong, menatap langit di atas mereka kemudian menarik dalam-dalam nafasnya. "Pokoknya, setelah itu aku bersumpah untuk tetap hidup. Apapun yang terjadi, aku tidak akan mati. Aku akan hidup dan menyiksa mereka dengan kehadiranku. Tapi aku selalu kalah kalau kami ada di tempat yang sama, hanya aku yang terlihat menyedihkan saat kami bersama. Jadi aku menjaga jarak, lebih baik kami tidak perlu bertemu."
"Sudah cukup untuk cerita sedihnya, aku akan tidur sekarang," balas Jiyong, enggan untuk menilai cerita itu, enggan untuk membenarkan atau menyalahkan Lisa atas sikapnya itu. Ia enggan mengatakan pada Lisa kalau kebenciannya itu hanya akan membatasi hidupnya sendiri, sebab rasanya tidak adil kalau Lisa dilarang membenci orang yang sudah menelantarkannya.
Bagaimana pun, dia ayahmu– kata-kata seperti itu hanya akan jadi garam yang tumpah ke sebuah luka terbuka. Selain membuat lukanya semakin sakit, kata-kata itu sama sekali tidak bisa membantu.
Bagaimana pun, tanpanya kau tidak akan ada di dunia ini– apa lahir di dunia ini bisa jadi kemewahan bagi semua orang? Jiyong sendiri bertanya-tanya, sebab kalau ia ada di posisi Lisa, ia akan berharap tidak akan pernah dilahirkan.
Kini, Jiyong mempertanyakan konsep anak durhaka yang sebenarnya.
"Oppa," panggil Lisa kemudian. Ia masih memunggungi Jiyong.
"Hm?"
"Kapan kau akan bertemu dengan Seunghyun oppa?"
"Entahlah, kami bisa bertemu kapan pun, kenapa? Kau ingin menemuinya?"
"Tidak," jawab Lisa yang kemudian duduk dan bersila di sebelah Jiyong. "Kurasa aku tidak bisa berada di sini lebih lama lagi. Aku akan pulang sekarang, tapi oppa bisa tetap di sini. Nanti kalau oppa bertemu dengan Seunghyun oppa, tolong berikan mobil ini padanya. Katakan juga padanya kalau aku akan membayar kembali semua hutangku padanya-"
Jiyong memotong permintaan Lisa. Kali ini ia tidak membiarkan Lisa melakukan apa yang diinginkannya. Pria itu menahan Lisa, melarangnya untuk tidak pergi dan meminta gadis itu untuk tidur bersamanya di sana. "Aku tidak menginginkan seks," tegas Jiyong, masih menahan Lisa agar gadis itu tidak melarikan diri darinya. "Aku hanya ingin berbaring bersamamu, bicara denganmu, melihatmu, tersenyum bersamamu, mendengarkan ceritamu, bercerita padamu, merasa nyaman bersamamu, merasa aman. Hanya itu, bukan seks jadi jangan salah paham."
"Semua itu justru lebih sulit dari sekedar seks," gumam Lisa yang sialnya merasa begitu tersentuh sampai ia memutuskan untuk kembali berbaring di sebelah Jiyong. Tapi kali ini ia memunggungi Jiyong, ia malu menunjukkan rona merah di pipinya. "Kalau terus begini, aku tidak bisa melihatmu sebagai teman eommaku lagi."
"Aku juga tidak bisa melihatmu sebagai putri temanku," ucap Jiyong yang kemudian berbisik kalau ia sudah memutuskan untuk berhenti berteman dengan Yumi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Memories
FanfictionKetika jalan ini berakhir, kita harus berpisah. Aku akan merindukanmu, kau pun mungkin akan begitu, tapi tidak apa-apa, selama tidak ada seorang pun yang terluka.