***
Jiyong baru saja bangun dari tidur siangnya sekarang. Pria bangun di kursi pantai yang panjang, di bawah payung teduh dan dimanjakan oleh angin pantai yang berhembus lembut, tidak terlalu kencang. Hampir empat jam pria itu tidur di sana, sedang Lisa pergi entah kemana. Mereka berpisah setelah keributan pagi tadi.
Setelah bangun, Jiyong pikir ia yang harus menemui Lisa lebih dulu. Ia yang berjanji akan membawa gadis itu pulang dengan selamat kepada Yumi, ia juga yang berjanji akan menjaga Lisa. Tapi baru saja ia duduk dan memakai sandal karetnya, matanya sudah menangkap sosok Lisa yang berjalan mendekatinya. Gadis itu berjalan dengan sebuah nampan berisi dua buah kelapa, perlahan-lahan mendekat sampai akhirnya ia duduk di kursi lain, di sebelah Jiyong.
"Ini, ku kembalikan, terimakasih," ucap Lisa kemudian. Ia menaruh nampan dan kelapanya di atas kursi pantai yang panjang itu, sedangkan tangannya mengulurkan handphone Jiyong yang hampir setengah hari ini ia pinjam. "Ini sebagai ucapan terimakasihnya, aku membelinya dengan uangku, bukan uang Seunghyun oppa," tuturnya sekali lagi, kali ini sembari mengulurkan sebutir buah kelapa kepada Jiyong.
"Kau sudah berbaikan dengan eommamu?" tanya Jiyong, setelah ia menerima handphone juga kelapanya.
Lisa mengangguk dan Jiyong jadi merasa lebih tenang karenanya. Kini pria itu bisa menyimpan lagi handphonenya kemudian menikmati sebutir kelapa yang Lisa berikan.
"Hari ini aku sangat kekanakan ya?" tanya Lisa, mencoba menghindari kesunyian di antara mereka.
"Hm..." gumam Jiyong mengiyakannya.
"Aku tidak seperti wanita dua puluh lima tahun ya?" tanya Lisa sekali lagi.
"Hm..." dan Jiyong pun menggumam sekali lagi untuk mengiyakannya.
"Aku sangat merepotkan ya?" tanya Lisa, lagi.
Tapi kali ini Jiyong tidak hanya bergumam untuk mengiyakannya. Dengan lembut pria itu berucap, "hari ini kau cukup merepotkan. Hari ini kau cukup kekanakan. Hari ini kau cukup kacau," jawab Jiyong.
"Istri appaku bilang aku seperti cangkang kosong... Yang akan langsung meledak hanya karena sedikit tekanan," cerita Lisa, yang tidak lagi memandangi Jiyong. Kini gadis itu menatap laut yang berombak di depannya. "Dia bilang aku jadi seperti ini karena tidak mendapat banyak kasih sayang. Katanya, sejak kecil aku selalu berulah untuk mendapatkan perhatian appaku. Katanya, appa sudah membuat sebuah lubang besar di dalam diriku, dan aku akan selalu bergantung pada orang lain untuk menutup lubang itu. Aku tidak ingin mengakuinya, tapi kurasa dia benar."
"Setelah hampir lima tahun dia menolakku, ini kali pertama Yumi noona menjawab panggilanku," ucap Jiyong. Ia dan kebiasaannya mengalihkan pembicaraan.
Lisa menghela nafasnya karena kebiasaan itu. Namun ia juga tidak merasa berhak untuk mendesak Jiyong agar ia menanggapi ceritanya. Disaat yang sama, Lisa pun menyadari kalau Jiyong mendengarkannya dan jelas karena itu ia mengabaikan ceritanya. Mungkin Jiyong takut salah bicara lalu khawatir akan melukai perasaan Lisa.
"Oppa sangat menyukainya? Eommaku? Ingin ku bantu untuk mendekatinya?" balas Lisa, yang sudah menyerah untuk mendapatkan tanggapan atas ceritanya tadi.
"Kau ingin punya ayah tiri sepertiku?" tanya Jiyong, sedikit terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. "Tapi tidak. Terimakasih untuk tawarannya, aku tidak cukup percaya diri untuk melakukannya," ucap Jiyong, yang setelahnya menolak untuk memberikan penjelasan lebih jauh lagi atas alasannya itu. Jiyong selalu mengakhiri pembicaraan mereka dengan menolak untuk bicara lebih banyak. Jiyong selalu menutup pembicaraan di antara mereka hingga Lisa kesal karena ia tidak punya lagi bahan pembicaraan. "Apa kau harus selalu bicara?" tanya Jiyong kemudian, karena Lisa mengeluh kalau mereka kehabisan topik pembicaraan lagi.
"Aku merasa sangat sesak kalau diam saja," balas Lisa, menjawab pertanyaan jahat yang Jiyong ajukan. Pertanyaan yang terdengar seperti sindiran menyebalkan itu.
"Beritahu aku semua yang membuatmu sesak, aku akan mendengarkannya," susul Jiyong yang setelahnya justru melarang Lisa untuk bertanya. "Hanya beritahu aku semua yang menganggumu, tapi aku tidak akan memberimu solusi apapun. Jujur saja... bahkan hidupku sendiri berantakan, aku tidak cukup percaya diri untuk bisa memberimu saran apalagi solusi," tambah Jiyong sebelum Lisa mulai mendebatnya dan pembicaraan itu hanya akan jadi debat kusir tanpa ujung seperti pagi tadi.
Lisa membenci ayahnya. Apapun yang orang lain bicarakan tentang kewajiban seorang anak, tentang definisi anak durhaka bahkan rasa syukur karena masih punya seorang ayah, Lisa tetap membenci ayahnya. Lisa tidak mengerti, kenapa ia harus bersyukur di atas penderitaan mereka yang tidak memiliki ayah. Lisa juga yakin, kalau ada di posisinya, tidak punya ayah pasti terasa lebih mudah. Ada ratusan lagu menyentuh untuk seorang ayah, tapi Lisa tidak pernah memahami perasaan yang ada di dalamnya. Lisa bisa menangis ratusan kali karena sebuah lagu romantis untuk ibu, tapi kalau lagu itu untuk ayah, Lisa mati rasa.
"Semua orang bisa menjadi anak, tapi tidak semua orang bisa menjadi orangtua. Semua orang bisa menikah, tapi tidak semua orang bisa jadi orangtua. Semua orang bisa bersetubuh dan melahirkan seorang anak, tapi tidak semua orang bisa jadi orangtua. Aku bersyukur kalau kau punya orangtua yang memang mampu jadi orangtua, kau harus menghormati dan menyayangi mereka. Tapi kalau orangtuamu seperti appaku, yang tidak mampu jadi seorang ayah, apa yang harus ku syukuri? Kenapa aku di sebut durhaka karena membenci seseorang yang bahkan tidak pantas jadi seorang ayah?" kesal Lisa, tapi kali ini ia banyak menahan dirinya. Ia tidak meledak seperti pagi tadi. Intonasinya jauh lebih tenang sekarang, membuktikan kalau ia sudah punya kendali penuh atas emosinya– bukan Lisa yang dikendalikan oleh emosi seperti tadi.
"Oppa mau tahu apa yang sudah appaku lakukan selama hidupnya?" tanya Lisa dan Jiyong meresponnya dengan sebuah anggukan kecil. Walau rasanya ia pernah tahu dosa apa saja yang Kim Taehoon lakukan. "Dia sudah menikah dan hidup bersama istrinya. Tapi dia berpura-pura lajang lalu mendekati eommaku. Katanya mereka jatuh cinta, katanya mereka saling mencintai, katanya eommaku membuatnya luar biasa bahagia. Karena semua cinta itu, eommaku memberikan segalanya. Orang-orang menyebut eommaku pelacur karena tidur dengannya, tapi sebenarnya apa yang jadi salah eommaku? Eommaku mau tidur dengannya, karena dia mencintainya, karena dia pikir pria itu tidak akan mengkhianatinya. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata eommaku hamil? Kalau ternyata pria itu mengkhianatinya? Eommaku... Dia hanya jatuh cinta, tanpa menduga kalau ia akan diperlakukan seperti ini. Bukankah justru dia korbannya? Appa yang sudah menipunya," cerita Lisa dan kali ini Jiyong menyetujuinya.
"Aku pernah membaca sebuah novel," gumam Jiyong kemudian. Kini ia menanggapi cerita Lisa, tidak hanya diam seperti sebelumnya. "Kata-katanya memang sedikit kasar... Semua wanita itu pelacur, sebab seorang istri baik-baik pun menjual kemaluannya demi mas kawin atau uang belanja, dan cinta kalau itu memang ada. Kali pertama aku membawanya, aku mengutuk penulisnya. Dia terdengar seperti sedang melecehkan wanita. Tapi saat aku membaca kalimat itu untuk kedua kalinya, kurasa dia hampir benar. Semua orang pelacur– menurutku. Entah itu wanita atau pria, mereka menjual kemaluannya untuk mendapatkan sesuatu. Entah itu uang atau cinta, apa yang membedakannya? Menjual kemaluan demi cinta lebih mulia daripada menjualnya untuk uang? Bersetubuh untuk melayani suami lebih mulia daripada bersetubuh untuk bertahan hidup? Menurutku semuanya sama saja, kalau ada kesepakatan mau sama mau di sana, kalau keduanya tahu resiko yang akan mereka temui setelah selesai bercinta nanti, kalau keduanya tahu apa harga yang harus mereka bayar dan sudi membayarnya."
"Apa harga yang harus dibayar hanya untuk bersetubuh?"
"Kau bertanya karena tidak tahu? Dosa, kalau kau umat beragama. Hinaan, tatapan jijik dari orang-orang di sekitarmu, celaan, hamil dan punya anak, penyakit, lalu bla bla bla."
"Aku tidak pernah mendapatkan pelajaran ini dari appaku," gumam Lisa kemudian, tersenyum sembari menyesap minuman di pangkuannya. "Eomma juga tidak pernah memberitahuku. Rasanya, oppa bisa jadi appa-"
"Aku bukan appamu, aku tidak akan pernah jadi appamu," potong Jiyong. "Aku hanya pria yang kebetulan lebih tua darimu, hanya orang asing yang kebetulan bicara padamu, tidak lebih," tegas pria itu, membuat Lisa bertanya-tanya sebenarnya bagaimana cara Yumi menolak Jiyong sampai pria itu mampu menggambar garis setegas itu di antara mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Memories
FanfictionKetika jalan ini berakhir, kita harus berpisah. Aku akan merindukanmu, kau pun mungkin akan begitu, tapi tidak apa-apa, selama tidak ada seorang pun yang terluka.