***
Jiyong malu, tapi Lisa jadi lebih malu lagi karena kesalahpahaman itu. Namun karena rasa malu yang sama itu juga, kini mereka berdua mulai berkendara. Awalnya Lisa memang ingin pergi sendirian karena ia terlalu malu mendengar cibiran beberapa orang di pantai. Tapi mengingat Jiyong yang tidak punya kendaraan apapun, mengingat kalau Jiyong pasti akan kesulitan untuk pulang tanpanya, Lisa berusaha keras untuk menahan dirinya, menekan rasa malunya dan menawarkan satu kursi di mobilnya untuk Jiyong.
Malam itu, bahkan tanpa sempat berpamitan dengan siapa pun, Lisa mengemudikan mobilnya meninggalkan kawasan pantai yang sepi itu. Gadis itu mengemudikan mobilnya di jalur pengunungan yang sepi, sedang Jiyong yang masih kesal berbaring di ranjang, di ruang sempit bagian belakang mobil. Mereka seperti dua orang yang sedang saling merajuk sekarang. Enggan melihat satu sama lain dan tidak sudi berinteraksi kalau memang tidak benar-benar penting.
Jalur pegunungan itu gelap, dan jadi semakin gelap karena malam jadi semakin larut. Beberapa kali Jiyong merasakan kalau Lisa terus menginjak rem secara tiba-tiba. Gadis itu tidak terbiasa mengemudi di malam hari, tapi ia harus melarikan diri dari rasa malu, dari gunjingan tetangga tanpa sempat membersihkan namanya. Kesal karena mobil kemah itu terus berguncang, Jiyong akhirnya bangun.
"Ya! Menepi! Aku saja yang menyetir! Kau ingin membunuh kita berdua di sini?!" kesal Jiyong, setelah dua kali kepalanya terbentur dinding mobil.
Tentu Lisa kesal karena ia dibentak seperti itu. Tapi gadis itu masih berusaha menahan dirinya. Ia sudah salah paham karena ucapan Jiyong tadi. Ia sudah mempermalukan Jiyong juga dirinya sendiri karena kesalahpahaman tadi. Jadi, sembari berusaha untuk tetap sabar, gadis itu menepikan mobil kemahnya.
Sama seperti sebelumnya, mereka masih saling menghindari. Tapi kini, Lisa yang pergi ke ranjangnya, sementara Jiyong mengemudi sendirian di jalanan gelap yang amat sepi itu. Kira-kira pukul sebelas mereka akhirnya keluar dari jalanan pegunungan dan masuk ke jalan raya yang lebih ramai. Saat itu hujan turun dengan begitu derasnya. Jiyong hanya perlu mengemudi beberapa menit lagi untuk sampai ke dermaga– tempat mereka bisa naik kapal untuk pergi ke Jeju.
Walau hanya perlu beberapa menit, tapi rasanya sangat berat bagi Jiyong untuk melawan kantuknya. Pria itu melirik dari kaca spionnya, namun ia tidak bisa melihat Lisa yang berbaring di belakang. Entah gadis itu hanya berbaring atau benar-benar tidur, Jiyong tidak bisa mendengar dan melihat apapun. Sudah beberapa kali Jiyong menguap, sampai ia tidak tahan lagi kemudian menepikan mobilnya di dekat sebuah minimarket.
Begitu selesai memarkir mobilnya di sebelah beberapa bus wisata, pria itu berjalan menghampiri Lisa. Tanpa suara, ia melihat Lisa yang sedang terlelap, benar-benar tidur namun tidak terlihat nyenyak. Gadis itu terlihat gelisah dalam tidurnya. Tangannya mengepal dan nafasnya tidak beraturan. Ia pasti sedang mimpi buruk– duga Jiyong.
Dalam tidurnya, Lisa melihat dirinya sendiri. Gadis itu melihat dirinya ketika ia masih kecil, tengah mengepak dalam air berusaha meraih apapun untuk digapai. Dalam mimpinya, Lisa melihat dirinya tenggelam dalam air sembari berusaha memohon bantuan. Tapi semakin keras ia berusaha, semakin banyak air yang masuk ke dalam mulutnya. Semakin keras ia mencoba untuk berteriak meminta bantuan, justru semakin sesak dadanya. Bahkan, walaupun itu hanya mimpi, Lisa benar-benar sesak karenanya.
"Lisa? Bangunlah," tegur Jiyong, yang dengan hati-hati menyentuh bahu Lisa dan membuat gadis itu langsung membuka matanya, begitu terkejut. "Aku tidak bermaksud melecehkanmu. Aku hanya membangunkanmu. Bangun lah... Kita harus makan malam," ucap Jiyong sementara Lisa masih terengah-engah karena mimpinya sendiri.
Jiyong menunggu Lisa sampai gadis itu benar-benar bangun. Setelahnya, alih-alih mengajak wanita itu untuk keluar dan makan bersama di minimarket, Jiyong justru menyuruh Lisa untuk keluar sendirian. Jiyong bilang ia terlalu lelah untuk berjalan di bawah hujan dan ia menyuruh Lisa untuk membelikannya makanan di luar– padahal mereka punya beberapa makanan di mobil.
"Belikan aku rokok," suruh Jiyong kemudian, mengatakan alasan sebenarnya ia menyuruh Lisa untuk pergi ke minimarket di depan mereka. Jaraknya memang hanya beberapa meter, mereka bisa melihat pintu dan meja kasir minimarket itu dari mobil, tapi di luar masih hujan dan Jiyong tidak ingin terkena air hujan barang sedikit pun.
"Kenapa oppa harus selalu menghisap rokok? Apa ada penghisap debu di paru-parumu?" kesal Lisa, yang sebenarnya sedikit bersyukur karena baru saja terbebas dari mimpi buruknya. Ia hanya tidak menyukai cara Jiyong menyuruhnya, yang sepintas terdengar seperti sebuah perintah. Seolah ia hanya seorang staff sedangkan pria itu adalah artis yang harus dilayaninya.
Lisa mendesak Jiyong di lorong sempit mobil kemahnya. Tubuh keduanya benar-benar saling bersentuhan dengan ketat saat itu. Gadis itu melewati Jiyong dan untuk beberapa detik setelahnya, ia menyesal karena dadanya sudah menyentuh dada Jiyong, sementara punggung mereka membentur dinding kayu di kanan dan kiri lorong. Kalau berat badan keduanya naik beberapa kilogram, mungkin mereka akan terperangkap di sana, terjepit dan tidak bisa melepaskan diri.
"Augh menyebalkan sekali," gerutu Lisa, menyembunyikan rasa malunya, juga sedikit penyesalannya. Ia masih punya beberapa rasa bersalah atas sikapnya seharian ini. Hari yang terasa sangat panjang ini rasanya terlalu berantakan untuk bisa langsung dibereskan.
Jiyong masih berdiri di lorong, memperhatikan Lisa yang sedang berjinjit untuk mencari payung di salah satu bagasi kabin mobilnya. Sepintas Jiyong melihat bercak merah di celana pendek yang Lisa kenakan. Celana itu memang tertutup oleh baju tuniknya, tapi kalau Lisa benar-benar datang bulan, hujan akan membuat bercak merah itu jadi mudah menyebar.
"Aku saja yang pergi," ucap Jiyong, meraih payung lipat yang baru saja Lisa temukan. "Kau mandi saja-"
"Oppa yang harus mandi!" keluh Lisa, memotong perintah Jiyong dengan ketus. "Sudah berapa hari oppa tidak mandi? Augh menjijikan! Apa oppa sedang datang bulan? Kenapa kau terus bersikap menyebalkan sejak sore tadi?" gerutu Lisa, membuat Jiyong kemudian bisa menarik sebuah kesimpulan. Mungkin karena datang bulan, gadis itu jadi sangat menyebalkan seharian ini. Mungkin karena datang bulan, suasana hati Lisa sangat berantakan hari ini. Setidaknya, datang bulan bisa menjadi satu alasan untuk memaklumi Lisa dan suasana hatinya yang super mengganggu itu.
"Kau yang datang bulan," tenang Jiyong, membuat Lisa langsung menarik ke atas tunik hijau yang dipakainya, ia ingin melihat dan memastikan sendiri ucapan Jiyong. "Mandi lalu periksa tempat tidurnya. Pastikan kau tidak meninggalkan sedikit pun jejak menstruasimu di sana. Kau punya pembalut kan?" tanya Jiyong, sudah berencana untuk membuka kunci mobil itu.
"Tunggu sebentar," tahan Lisa yang kini harus membuka kabinet lain dalam mobilnya, mencari pembalut yang bulan lalu ia beli. "Aku hanya punya dua, bisa oppa membelikanku yang sama seperti ini?" tanya Lisa, mengulurkan satu pembalutnya pada Jiyong. Dengan sopan gadis itu memberikan satu pembalutnya pada Jiyong, meminta Jiyong untuk membelikan pembalut yang sama persis dengan miliknya.
"Hanya pembalut? Kau tidak butuh yang lain? Mungkin obat?" tawar Jiyong, yang dengan santai mengantongi pembalut itu. Lisa sempat heran karena sikap itu, namun ia kemudian ingat kalau Jiyong punya seorang kakak perempuan yang mungkin sering memintanya membeli pembalut.
"Tidak," jawab Lisa, yang memang hampir tidak pernah merasakan sakit di perutnya saat datang bulan. Hanya hormonnya saja yang sering kali membuat suasana hatinya bermasalah saat datang bulan. "Terimakasih sebelumnya, padahal aku sudah sangat menyebalkan hari ini," gumam Lisa, yang langsung tersentuh hanya karena pembalut.
"Syukurlah kalau kau sadar," balas pria yang kini benar-benar membuka pintu dan keluar dengan payungnya– tanpa jaket, hoodie maupun topinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Memories
FanfictionKetika jalan ini berakhir, kita harus berpisah. Aku akan merindukanmu, kau pun mungkin akan begitu, tapi tidak apa-apa, selama tidak ada seorang pun yang terluka.