"Zahra mau makan yang ini?" tawar Aminah pada anaknya itu.
Zahra menggeleng. "Zahra gak suka ikan asin itu, Zahra mau yang ini aja!" Zahra lekas mengambil ayam goreng yang ada di piring Fatimah.
Fatimah tercengang melihat. "Itu punya Kakak, Zahra!"
"Gak mau! Ini punya Zahra sekarang!"
Aminah menarik napas panjang. "Fatimah coba makan yang ini," tawarnya sembari meletakkan lauk asin itu ke piring Fatimah.
"Tapi ini gak enak, Bu! Itu ayam goreng, kan, Fatimah yang beli. Udah mahal lagi."
"Fatimah gak boleh gitu. Syukuri apa yang ada, coba liat orang-orang yang ada di bawah kita, lebih gak enak hidupnya. Ada yang gak makan lagi."
Fatimah mendengus kesal. "Yaudah, deh."
Aminah tersenyum kecil. Ia menatap Zahra yang sedari tadi mengolok si Fatimah. "Zahra juga jangan gitu. Kalo mau mengambil punya orang itu harus minta izin dulu, jangan langsung ambil lalu memakannya."
Zahra terkekeh. Ia menatap Fatimah. "Zahra minta ayamnya, ya!"
"Hng!"
***
Hari sudah sore. Zahra juga sudah melaksanakan salat asar. Kini Zahra berada di tepi pantai. Ia bersama Humaira dan teman lelakinya.
Humaira hanya duduk menonton Zahra yang asik main bola bersama teman lelakinya itu.
Lagi-lagi sore ini Zahra tidak memakai kerudung. Ia hanya mengikat rambutnya saja.
Permainan bola sudah berakhir. Kini Zahra dan teman lelakinya itu menghampiri Humaira.
"Maira ikut main juga, yuk!" ajak Zahra.
Humaira menggeleng. "Aku di sini aja."
Zahra manggut-manggut. Ia duduk di samping Humaira. "Kalian bertiga kalo mau pulang aja," ucapnya pada ketiga teman lelakinya itu. Ilham, Rafa, dan Ahmad.
"Hm, kalo gitu kami duluan. Dahh," ucap Ahmad.
Setelah kepergian teman lelakinya itu, kini hanya ada mereka berdua. Zahra dan Humaira.
Zahra menatap Humaira yang fokus memandang pantai. "Maira gak malu, kan, punya teman yang gak pakai kerudung?"
Humaira lekas menatap Zahra. "Zahra bukan teman aku. Tapi kamu adalah sahabat aku. Kakak aku," tuturnya, "aku sama sekali gak malu punya sahabat kayak kamu. Aku malah senang bisa punya sahabat baik kayak Zahra."
Zahra tersenyum. "Sahabat!"
Humaira dan Zahra kembali memandang pantai sore hari. Pemandangannya terlihat sangat indah. Angin-angin menerpa diri mereka, dan terasa segar jika berada di sana.
Zahra bakal gak bosan diam di dekat pantai. Bahkan jika ia berada di pantai, mau sampai besok pagi pun ia juga mau.
Zahra menatap Humaira lagi. "Maira, gimana caranya agar aku bisa berkerudung?"
"Caranya dengan hati kamu," jawabnya.
"Hati?"
"Seandainya hati perempuan yang tidak berjilbab itu penuh dengan rasa cinta kepada Allah, maka ia akan segera melaksanakan perintah-Nya. Seandainya hati perempuan yang tidak berhijab itu cinta kepada Rasulullah dan menyukai perintahnya, maka ia akan segera memakai hijab. Seandainya hati perempuan yang tidak berjilbab dipenuhi dengan rasa cinta kepada wanita salehah, tentu ia akan mengikuti mereka dan memakai jilbab."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerudung Zahra
SpiritualIni tentang kekeluargaan, persahabatan, pertemanan, pertemuan, dan juga perpisahan. Sebuah kisah remaja yang kerjanya hanya suka membantah, keras kepala, tepatnya ... sifatnya yang jauh dari kata baik. Pada suatu hari, Zahra beserta keluarganya berk...