"Humaira kenapa harus tinggalin aku!"
"Aku masih mau sama Maira!"
"Humaira masih harus bahagia!"
"Humaira jangan tinggalin aku! Kita itu sahabat!"
"Sahabat sejati tak akan pernah pergi!"
"Humaira kenapa harus pergi!"
"Maira!!"
"Hiks ...."
Kini Zahrah, keluarganya, ayah angkat Humaira, dan warga sekitar berada di pemakaman.
Seperti yang disebut Zahra tadi, Humaira meninggal.
"Mairaa ...."
Terlihat wajah semua orang bersedih. Humaira, gadis yatim piatu yang selalu terlihat ceria, gadis yang selalu memperlihatkan senyum manisnya pada semua orang, dan gadis yang selalu menyembunyikan kesedihannya pada semua orang kini sudah tak ada lagi.
"Kak Maira harus tenang di sana, ya! Hana sayang Kak Maira selamanya!" isak Hana.
Pak Somat terus menangis. Ia memeluk batu nisan anaknya itu. "Ayah sangat sayang kamu, Nak," isaknya.
Abdul Aziz, atau ayahnya Zahra itu berjalan menghampiri pak Somat. Ia memegang bahu pak Somat, mencoba untuk menenangkannya. "Maut bisa datang tiba-tiba, kepada siapa saja, tanpa pandang usia dan jenis kelamin. Tidak ada manusia yang hidup kekal di bumi ini. Semuanya akan mati, termasuk kita. Humaira, dia sudah tenang di sana. Ia sudah pergi menghampiri orang tuanya. Dan kita ... kita hanya bisa mendoakannya."
Pak Somat mengangguk. Matanya masih penuh dengan air mata. Sulit rasanya untuk meninggalkan orang yang kita sayang. Humaira, ia sudah merawatnya selama 10 tahun lamanya dengan penuh kasih sayang. Bahkan ia sudah menganggapnya sebagai anak kandung sendiri. Dan sekarang, Humaira pergi mendahuluinya.
Pak Somat menatap sendu Zahra yang masih menangis karena melihat sahabatnya itu telah pergi.
"Sebenarnya ... Humaira mengalami kanker."
Zahra tersentak kaget mendengarnya. Termasuk orang-orang yang ada di pemakaman.
Kanker? Humaira kena penyakit kanker? Bahkan sekarang Zahra tak percaya mendengar ungkapan sang ayah Humaira itu. Kenapa harus Humaira? Setaunya, Humaira terlihat biasa-biasa saja. Jadi, apakah selama ini Humaira menyembunyikan penyakitnya dari Zahra dan semua orang?
Zahra tak percaya. Bisa-bisanya ia menahan rasa sakitnya itu ... bahkan sewaktu ia bersama Humaira, ia tak pernah melihat atau mendengar Humaira mengeluh atapun mengerang kesakitan.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un ..." ucap Aminah pelan.
Pak Somat menunduk sembari menatap batu nisan anaknya itu.
"Humaira mengalami kanker stadium akhir. Penyakitnya sudah lama semenjak ia berusia 9 tahun," lirihnya, "kami tidak punya banyak uang, kata Humaira, ia tidak ingin berobat. Ia ingin cepat bertemu dengan orang tuanya. Dan ia hanya ingin menunggu waktu yang tepat. Jika penyakitnya sembuh, ia juga akan sangat bersyukur."
Pak Somat menatap Zahra yang terdiam mematung. "Kemarin malam Humaira membuat surat ini untuk Zahra." Pak Somat memberikannya pada Zahra.
Zahra lekas menerimanya. Lalu ia pun membacanya.
Untuk Zahra
Sahabat selamanyaAssalamualaikum, Zahra. Apa kabar?
Sepertinya kamu sudah mengetahui penyakitku sekarang.
Hehe, maafkan aku, ya.
Maira tidak ingin buat Zahra khawatir.
Zahra jangan nangis kalau Maira udah pergi.
Maira masih ada kok, Maira akan selau ada di hati Zahra!
Sekali lagi Humaira minta maaf, ya.
Jangan marah, nanti cepet tua.
Jangan nangis, nanti tambah jelek.
Jangan rindu, nanti Maira sedih!
Jangan kecewa, nanti Maira pukul!
Hehe ....
Sampaikan salam juga, ya, untuk orang tua Zahra, kak Aisyah, kak Fatimah, dan Hana.
Maira sayang kalian.
Jangan sedih, ya!
Jangan nangis juga!
Sampai jumpa, sekali lagi Humaira minta maaf.
Humaira sayang kalian:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerudung Zahra
EspiritualIni tentang kekeluargaan, persahabatan, pertemanan, pertemuan, dan juga perpisahan. Sebuah kisah remaja yang kerjanya hanya suka membantah, keras kepala, tepatnya ... sifatnya yang jauh dari kata baik. Pada suatu hari, Zahra beserta keluarganya berk...