Part 1 : Awal

292 34 50
                                    

"Aku Raven, seseorang yang mungkin telah menyelesaikan kisahnya beberapa waktu lalu. Jangan tanya mengapa kisah indah itu berakhir, aku saja tidak tau. Malah, aku tidak mau. Siapa, sih, sebenarnya aku? Seseorang yang harus berdiri lagi dari patah hati yang sehebat itu? "

***

7 Januari 2021


Untuk aku, terjebak dalam bayangan seseorang yang sangat berharga di masa lalu sangat menyusahkan diriku sendiri. Rasanya, hidupku berubah sangat drastis setelah kehilangannya.
Terbelenggu, tidak bisa lepas dari kenangan yang pernah mengisi hidupku seindah itu.

"Wey! Kantin, yok?" ajak Tian yang tiba-tiba mengagetkanku yang tengah melamun sambil mengoret-oret di bagian belakang buku tulis. Hari pertama sekolah di semester 2 sedikit membosankan. Mungkin karena diriku masih mengingat tahun lalu di SMP, kenangan-kenangan indah bersama seseorang yang kini sudah pergi.

"Hah, kantin? Ya--ayoo," celetukku spontan menjawab ajakan Tian. Aku beranjak dari bangku. Suasana kelas sangat sepi, hanya aku yang ada di dalam kelas sebelum Tian datang mengajakku. Rupanya bocah tinggi itu teman yang sangat baik untukku.

"Tumben? Biasanya istirahat gini keluar, basketan, rame sendiri? Sekarang jadi anak nolep gini. Kaya bukan Raven hahah," ujar Tian.

"Masih mikirin Jane, ya?" sambung Tian yang sedikit membuatku kesal. Bukannya apa, aku saja berusaha melupakan, dia malah menanyakan itu.

"Heem," jawabku jutek tanpa menatap ke arahnya.

Satu semester sudah di SMA, memang sudah sangat jarang bertemu dengan Jane, mantanku di SMP. Namun masih berat melupakan cinta pertama yang pernah menemaniku lebih dari setahun. Jadi beginilah aku, berada di fase rumit yang memaksaku untuk tetap kuat.

Aku harus percaya, ini hanya sementara. Kata orang, sakit itu proses pendewasaan. Ya, tinggal nunggu saja giliranku untuk bahagia. Pasti datang, kok. Semoga...

"Ey, Raven!" Suara tak asing memanggilku dari arah pojok kantin. Aku menoleh. Rupanya Nolan, teman SMP-ku yang satu SMA denganku juga. Tidak seperti Tian, aku tidak terlalu dekat dengan Nolan.

"Ha?" jawabku singkat.
"Pinjem duit, dong.. ga bawa duit, nih, gue. Dua ribu ajaa, gue lupa bawa duit.." ujarnya memelas.

Aku hanya memberikannya tanpa berucap apapun.

"Makasiii, Ravenn," sambungnya sambil tersenyum sungkan.

Tian membeli soto dan langsung terduduk di meja panjang berwarna biru. Aku tidak membeli apa-apa, aku hanya ikut duduk di sebelah Tian.

Di sana aku hanya menunggu Tian sambil merenung. Aku tidak nafsu makan sama sekali.

"Uy, nama lu sapa?" tanya anak yang duduk tepat di sebelahku. Anak perempuan berkacamata, cantik sekali, yang sepertinya setinggi aku. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya.
Aku menoleh, "Raven." jawabku lagi-lagi singkat. Jutek sekali, ya, aku. Memang aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun untuk saat ini.

"Jutek amat sih lo" celetuknya membuatku geram. Aku meliriknya sinis, "sksd banget ni anak," batinku kesal.
"Emang lu sapa?" cela Tian yang baru saja selesai makan. Tian memang begitu, frontal dan blak-blakan kalau berbicara, apalagi menanggapi orang yang mengganggu seperti itu. Ini masih belum seberapa, dia masih sangat halus karena perempuan itu baru ia kenal dan sangat cantik. Ya, Tian memang orang yang sedikit genit dengan perempuan, tapi dia setia kalau sudah berpacaran.

"Udah, Ti ..." ujarku menyela, berusaha menenangkan suasana. Aku tidak ingin terganggu dengan hal yang tidak penting.

"Yaudaah, gue pergi dulu, ya, Ravenn" geram gadis itu. Aku tidak menjawab apa-apa. Bukannya sombong, tapi aku memang sedang tidak enak hati. Rasanya tidak mau berbicara dengan orang lain, apalagi orang yang tidak kukenal. Saat gadis itu berjalan keluar kantin, banyak anak yang heran dan menatapnya. Sepertinya memang tidak ada yang mengenal gadis berkacamata itu.

Setelah Tian usai membayar, kami keluar dari kantin. Di perjalanan aku menyesali perbuatanku. Menurutku, yang kulakukan barusan sangat tidak baik, seakan tidak menghargai orang. Terlebih, aku kaget melihat gadis secantik itu tiba-tiba menanyakan namaku.

Saat hampir sampai kelas, aku terkejut melihat ke arah kursi di kelas X MIPA 5, kelas sebelahku. Aku melihat gadis itu lagi!

"Hah? Dia dari kelas sebelah? Kok, gue ga pernah liat dia, ya?" batinku. Saat aku mendapati ia duduk di koridor kelas sebelah, gadis berkacamata itu tiba-tiba melihat ke arahku seakan sadar sedang ditatap. Ia sempat menoleh, lalu memalingkan pandangannya lagi.

Aku yang merasa bersalah, langsung meninggalkan Tian yang langsung masuk ke kelas. Aku mendekat dan berniat meminta maaf padanya soal kejadian di kantin tadi.

"Eh--lu, m--maaf, ya, yang tadi ... Tadi gue lagi badmood aja, hehe" ujarku gugup. Entah, saat aku berbicara dengannya, rasanya tegang dan sejenak lupa akan kesedihanku.

"Iyee ... Eh, tapi jangan geer, ya. Gue gini soalnya gue anak baru di SMA Bimasakti ini. Jadi, mau nambah banyak temen aja.. Lu tadi kebetulan duduk di deket gue." jawabnya membuatku kaget. Sebelumnya aku berfikir ia akan marah dan ilfeel padaku atas apa yang kulakukan di kantin tadi, tapi ternyata tidak! Dia baik sekali...

"Raven, kan? Gue Clara." sambungnya. Aku hanya terpaku menatapnya, seakan speechless dengan sikap gadis itu padaku.

"Eh ... i--iya salam kenal, ya ... Clara ..." celetukku tergugup. Aku mulai mencari topik agar tidak canggung. Aku menyambung,

"Oh ... makanya gue ga pernah lihat lu di sekolah. Anak baru ternyata. Pindahan dari man--"Belum selesai aku berbicara, bel sekolah sudah dibunyikan.

"Loh! Udah bel?! Cepet banget astagaaaa... Udah dulu, ya, Raven. Gue belum nyelesein tugas gue anjir ..." ucapnya panik.

Aku hanya mengangguk kecil melihat dia yang langsung bergegas masuk kelas. Entah mengapa, berbicara sebentar dengannya rasanya aneh sekali. Aku masih heran dengan tanggapan dia terhadap apa yang sudah kulakukan di kantin tadi. Dia menyapaku, aku malah menjawab dengan jutek, ditambah Tian yang memperburuk suasana. Jika aku jadi Clara, mungkin aku sudah tak mau berbicara dengan orang seperti itu.

Aku masuk kelas, rupanya sekarang jam pelajaran wali kelasku, Bu Ana. Aku sedikit lega, itu karena pelajaran Bahasa Indonesia terasa sangat santai ketika Bu Ana yang mengajar. Sehingga, diriku yang sedang setres ini tidak bertambah setres dengan tekanan pembelajaran.

"Selamat siang anak-anakku kelas X MIPA 4! Akhirnya kita berkumpul lagi di SMA Bimasakti yang kita cintai ini," salam Bu Ana.

"Selamat siang Buu ..." sahut kami. Bu Ana mendapati 3 anak yang masih belum hadir padahal bel masuk sudah berbunyi dari tadi.

"Raven Jaeger! Kamu itu ketua kelas! Sudah bel dari tadi, ada beberapa temanmu yang masih di luar dan kamu tidak merasa bersalah?!" ujar Bu Ana menatapku geram.

Tiba-tiba Dicky, Kahfi, dan Marcel masuk dengan muka tidak bersalah.

"HEH KALIAN! DARI MANA SAJA KALIAN?!" sentak Bu Ana mengejutkan 3 anak itu.

"Eh? Maaf, Bu.. Kami tadi dipanggil Pak Chiel disuruh bantuin ngambilin buku di perpus." jawab Marcel.

"Maaf, ya, Bu ..." sambung Dicky dan Kahfi. Amarah Bu Ana memudar, Bu Ana mentoleransi alasan anak-anak itu untuk masuk kelas terlambat. Aku ikut lega. Hampir saja aku yang kena marah, bagaimana lagi? Aku ketua kelas.

Selama pembelajaran hingga bel pulang, aku sering kali merasa bosan, bahkan mengantuk. Aku masih teringat tahun lalu, hari pertama semester 2 di SMP, di mana saat itu Jane memberiku coklat saat istirahat. Hal-hal kecil tentang dia sangat berkesan untukku, apalagi aku tidak pernah merasakan hal-hal indah itu lagi setelah kepergiannya.

Ya, itu yang masih menggangguku. Kehilangan seseorang yang pernah membuatku merasa sebahagia itu. Hari pertamaku di semester 2 ini terasa membosankan. Namun aku tiba-tiba teringat dengan kejadian waktu istirahat tadi. Aku bertemu dengan Clara, anak baru yang cantik dan sangat baik padaku walau aku sudah membuatnya tersinggung di kantin tadi.

~Bersambung ke part 2~

Nirmala Fiksi-ku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang