Drrrrttt...
Drrrrrttttt....Suara alarm di hp-ku tak membuatku terbangun, mungkin karena kemarin malam aku membisukan dering dan hanya mengaktifkan mode getar. Sekarang sudah pukul 5, diriku yang seharusnya bangun malah masih nyaman tertidur dengan selimut menjadi partnerku.
"RAVEN!!" teriak Mama membuat mataku sontak terbanting yang awalnya terpejam. Panik membuat nyawaku langsung ter-sinkron dengan cepat. Tak berpikir panjang, aku berdiri dan berlari ke kamar mandi.
Jam yang sudah menunjukkan pukul 06.15 membuatku berlari meninggalkan segala aktivitas yang seharusnya aku kerjakan, seperti sarapan. Papa menungguku di atas motor depan pagar dengan pakaian kerjanya yang lengkap. Aku sangat gelisah, terlebih Papa terlihat sangat santai mengemudikan motornya.
"Pa, cepet dikit napa ... Upacara, nih," pintaku ke Papa dengan wajah memelas. Jika tidak, Papa akan berkata bahwa aku harus menerima konsekuensi-ku atas bangun kesiangan. Akhirnya aku berhasil membujuk Papa untuk mempercepat laju motor yang kami kendarai itu.
Sampai juga di sekolah. Aku terlambat 3 menit, pagar sudah tertutup rapat dengan Bu Susan di sisinya. Banyak anak yang terlambat dan harus berdiri di luar pagar sambil menunggu selesainya upacara. Dengan pasrah aku berjalan ke barisan siswa-siswi terlambat itu, dan membuat perhatian Bu Susan mengarah padaku.
"MASIH ADA SAJA YANG BARU DATANG?!" bentak Bu Susan menghadap padaku. Bentakan beliau pun mengundang tatapan anak-anak yang berbaris di luar pagar ke arahku. Pura-pura tak tahu, aku menundukkan pandanganku menahan malu. Sedikit demi sedikit aku mengangkat kepalaku, melihat berapa banyak yang terlambat.
Beberapa detik kemudian aku baru menyadari hadirnya seseorang yang aku kenal di barisan siswa terlambat itu. Gadis manis berkacamata yang selama ini menjadi topik overthinking-ku, Clara.
"Clara?" bisikku memanggilnya. Ia menoleh sambil tersenyum, dan perlahan mendekat ke arahku.
"Hai Rav, hihihi," ujarnya membisik sambil tertawa kecil menertawakan dirinya yang terlambat juga sepertiku.
"Telat juga, nih?" tanyaku padanya.
"Iya, duh. Tumben banget dari pagi rumah sakit udah antri panjang aja," jawab Clara mengundang pertanyaan lagi,
"Rumah sakit? Lu dari rumah sakit?" tanyaku heran.
"Iyaa, gue k--" Belum tuntas jawaban dari Clara, Bu Susan yang sedari tadi berdiri di dekat pagar melayangkan teguran, menghancurkan percakapan kecil kami. Pandangannya gusar, kesal mendapati kami berbicara seakan tidak merasa bersalah. Kami langsung terdiam seraya membenarkan posisi sikap sempurna saat berbaris.
"UDAH TERLAMBAT, MASIH NGOBROL SEENAKNYA!" Suaranya membuat semua siswa kembali menatap ke arah kami. Terdengar tawa kecil salah seorang siswa menertawakan kami yang dimarahi akibat berbicara sendiri.
"JANGAN ADA YANG TERTAWA!" sambung Bu Susan memarahi seisi barisan. Sepertinya pendengaran beliau melebihi kelelawar dengan kemampuan ultrasonik-nya yang membuatnya mampu mendengar suara-suara kecil kami.
Upacara berakhir, kami perlahan memasukki lobi sekolah, mendapat ceramah dari Bu Susan, dan mengisi buku pelanggaran atas keterlambatan kami. Para murid yang berjalan kembali ke kelas setelah upacara beberapa ada yang melewati lobi, sehingga mereka dapat melihat kami diberi sanksi oleh Bu Susan. Duh, malu.
"Duluan, ya, Rav," ucap Clara padaku yang telah selesai menulis namanya di buku pelanggaran. Tak lama, giliranku pun tiba. Setelah menulis, aku kembali ke kelas dengan kepala tertunduk malu.
"Akhirnya karma-nya dateng jugaa! HAHAHAHAH!!" teriak Marcel bangga setelah tahu aku usai dimarahi habis-habisan oleh Bu Susan.
"Tuh, mampus, yang kemarin sombong," celetuk Tian menyambung mengejekku. Seisi kelas seakan lega melihat raut muka memelasku setelah dimarahi oleh Bu Susan. Aku tak berucap sepatah kata-pun, langsung terduduk pasrah ke bangku.
Pak Albus, guru Matematika yang akan mengisi jam pertama masih belum datang. Seperti biasa, ketika upacara baru saja selesai, para guru akan beristirahat sejenak di ruang guru karena lelah usai berdiri cukup lama saat upacara. Tiba-tiba terlintas pertanyaan di benakku dan sepertinya ingin kutanyakan pada seseorang yang berada di dalam ruangan ini.
"Ei, Tian!" panggilku pada Tian yang tengah bernyanyi-nyanyi sambil memukul-mukul meja bersama anak lainnya, atau sering disebut klotekkan.
"Ha?" Panggilanku membuyarkan keasikkannya berdendang bersama anak-anak. Ia menghampiriku ketika paham dengan raut mukaku yang terlihat menyimpan pertanyaan.
"Apaan, dah? Ganggu orang lagi nyanyi," ujar Tian.
"Lu sebenernya ada hubungan apa, sih, sama Clara?" tanyaku langsung to the point.
Tian tertawa mendengar aku menanyakan pertanyaan yang tidak ada habisnya untuk ditanyakan itu.
"Nanya itu lagi? Hadeh ... Gue, tuh, gaada apa-apa sama dia. Gue kemarin bercanda, anjirr," jawab Tian dengan mimik wajah menahan tawa. Rupanya ia jujur, aku sangat hafal gesturnya ketika ia mengatakan hal yang tidak benar.
"Hm?" ujarku berusaha untuk memintanya menjelaskan lebih spesifik.
"Beneran, jir, gue ga bohong. Kalo ga percaya coba lu tanya Viola, kelas sebelah. Dia mayan deket sama Clara, tuh!" sambung Tian menjelaskan.
"Iya-iya gue percaya. Eh, iya, terus kenapa lu ngasih cokelat ke dia waktu rapat kemarin?" tanyaku lagi.
"Itu mah cuma dare!" jawab Tian santai.
"Lu suka, ya, sama Clara?" Tian menambahi pertanyaan yang kian membuatku kaget. Kenapa bisa dia berpikir seperti itu?
"Hah? Mana mungkin!" jawabku gugup. Aku sendiri tidak tahu, kenapa terlontarnya pertanyaan itu membuatku bingung sendiri.
Tian hanya menatapku dengan lirikan, menandakan bahwa ia tidak percaya dengan jawaban yang aku berikan. Namun ia bukan orang yang mudah kepo, meskipun terhadap sahabatnya sekalipun. Ia langsung meninggalkanku tanpa mendesakku untuk menjawab dengan jujur atas pertanyaannya tadi.
Pak Albus masih tidak datang setelah beberapa lama. Aku mengajak Tian ke kantin daripada bosan di kelas yang sedang jamkos. Seperti biasa, Tian ayo-ayo saja, teman baik mah asik.
Di tengah jalan menuju kantin aku bertemu Nolan, dengan seragam futsalnya lengkap.
"Mau latihan, Lan?" tanyaku.
"Ho'oh, mau ke kantin dulu tapi, belom sarapan." ujarnya menjawabku. Nolan ikut berjalan bersama kami menuju kantin.
Di sana aku dan Tian membeli soto, sambil berbincang-bincang mengenai pertandingan NBA kemarin. Nolan masih mengaduk minumannya. Ternyata di sana ada Viola yang sedang membeli cimol dan beberapa jajanan lainnya bersama beberapa teman kelasnya
"Bakal terjadi ke-uwu-an," ucap Tian menyindir setelah melihat Viola berjalan melewati Nolan.
Dan benar saja, tiba-tiba Viola menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Nolan.
"Semangat latihan futsalnya, jangan terlalu forsir tenaganya, mau ulangan, kan? Nih, air putih, penting tuh buat kestabilan staminamu," ujar Viola sembari memberikan sebotol air mineral pada Nolan.
"Makasiii, dokterku emang," jawab Nolan tersenyum.
Viola akan melanjutkan langkahnya, tapi aku ingat aku ingin menanyakan sesuatu padanya perihal Clara, aku langsung memanggilnya.
"Eh, Viola!" panggilku seraya menghampirinya.
"Raven? Kenapa, Rav?" tanyanya bingung.
"Lu deket sama Clara, katanya?" tanyaku langsung.
"Iyaa, lumayan ... Dia sebangku sama gue. Kenapa, Rav?" pungkas Viola.
"Gapapa, tadi dia telat terus sempet ngobrol sama gue. Katanya rumah sakit antri, gak kaya biasanya. Maksudnya apa, ya?" tanyaku penasaran.
"Oalaah, iyaa, makanya tadi dia terlambat. Jadi, Clara itu ...."
~Bersambung ke Part 8~
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirmala Fiksi-ku [END]
RomanceNirmala itu artinya indah, sempurna. Seperti aku memandang dirinya yang berada jauh di luar jangkauanku. Tak tercapai, tak tergapai. Mencintai dalam diam? Mungkin sebagai lelaki, aku tidak seharusnya menjadi sepecundang itu, tapi mau bagaimana lagi...