Part 13 : Cerita di Hari Itu

37 11 37
                                    

Entah bagaimana aku tidak tahu dengan kejadian yang kata orang-orang sangat menggemparkan seisi sekolah. Apa aku terlalu berdiam diri di kelas selama dua minggu terakhir ini? Sehingga, berita se-gempar itu pun tidak terdengar di telingaku. Untung, Viola menceritakannya padaku.

"Masa lu gak tau?" bisik Viola lirih pada diriku yang tengah terheran dengan pertanyaan Viola, Pertanyaan Viola itu muncul setelah Clara pergi meninggalkan kelasku seusai mengembalikan bulpoin ke Kahfi.

"Tau apa?" ujarku penasaran.

"Ya, itu ... tiga hari setelah Clara pindah ke sini, dia mulai terkenal." jawab Viola,

"Itu gara-gara dia langsung jadi murid favorit Bu Susan." sambungnya lagi yang sontak membuat kedua alisku terangkat. Bagaimana tidak, orang yang ia sebutkan itu merupakan seorang guru yang sangat menyeramkan, Bu Susan terkenal dengan ketegasannya.

"hah?" tanggapku heran diselimuti ekspresi tidak percaya.

"Iya, masa gak tau?" tanya Viola

"Gak ... emang tau dari mana dia jadi siswi kesayangan guru serem itu?" ujarku seperti membantah.

"Iya weh, waktu itu Clara ngumpulin tugasnya Bu Susan duluan. Udah gitu nilainya sempurna lagi. Keren gak si?" jawab Viola lagi.

Aku masih merasa aneh dengan fakta itu. Namun ternyata, hal itu yang menjadi pemicu Clara bisa terkenal di sekolah. Setelah berita itu tersebar, semua siswa mencari tau siapa sebenarnya anak baru yang langsung menjadi siswi kesayangan Bu Susan itu. Setelah tahu akan kecantikannya dan kepintarannya, para siswa bahkan kakak kelas langsung nge-fans dengan dirinya. 

Apalah daya diriku yang tidak pernah tahu akan cerita itu. Aku juga mengenal Clara karena aku tidak sengaja bertemu di kantin kala itu. Bodohnya, aku langsung terkagum dengan sikap baiknya padaku. Toh, dia begitu bukan cuma ke aku.

"Lah, lu sendiri gimana kok bisa sahabatan sama dia?" tanyaku lagi.

"Itu, sih, karena rumah baru dia ada di sebelah gue. Jadi, gue tetanggaan sama dia ..." jawab Viola menjelaskan.

Beberapa jam kemudian, bel pulang berbunyi. Seperti biasa, hari ini datar-datar saja. Malah, rasa ketidakpercayadirian  seringkali perlahan menyakitiku. Aku sendiri sering merasa sedih karena kekhawatiran akan sesuatu yang bahkan hanya sebuah asumsi di kepala. Orang yang aku cintai benar-benar idola banyak laki-laki. Lalu, kenapa aku harus mencintainya? Bodoh sekali diriku.

"Ravenn!" Lamunanku lenyap setelah perempuan di belakangku memanggil. Aku yang tengah berjalan menuju halte, harus menoleh mendengar panggilan itu. Apalagi, aku sangat kenal dengan suaranya. Langkahku terhenti, menanggapi panggilan itu sambil menoleh ke arah sumber suara.

"Hah? C--Clara?" ujarku terkejut. Benar saja, pantas saja suaranya terdengar tidak asing di telingaku.

"Iya lah, masa satpam," ucap Clara.

"K--kenapa Clar?" tanyaku bingung bercampur kaget.

"Lu kenapa, sih, kok kaya ngejauh dari gue akhir-akhir ini?" ujar Clara dengan raut muka penasaran bercampur kesal. Ditanya seperti itu, tentu membuatku bingung.  Apalagi, ia tiba-tiba datang dan langsung melontarkan pertanyaan itu.

"Hah? Ngejauh?" Aku tak tahu harus menjawab bagaimana. Aku memang menjauh setelah tau bahwa dia ternyata sangat terkenal bahkan dikagumi banyak orang. Aku menjauh karena aku merasa tidak percaya diri. Malah, aku merasa bersalah telah jatuh hati pada gadis berkacamata itu.

"Gue---gak menjauh, kok ... hehe," jawabku sembari tersenyum palsu karena salah tingkah ditanyai seperti itu.

"Oohhh ... mungkin perasaan gue aja kali, ya?" pungkas Clara membuatku sedikit lega.

"Iya, kali." sambungku agar dia semakin yakin dengan keraguannya itu.

"Oh, iya. Gue turut bahagia ya, akhirnya lu pulang juga dari rumah sakit." ujarku menyampaikan pesan yang sedari tadi ingin kuucapkan.

"Makasiih! Gue juga udah tau, kok, kalo lu kemarin jenguk hahahah," kata Clara.

"Hmmm ... yaudah, deh. Kalo gitu gue pulang dulu. Bye Rav!" sambung Clara menutup obrolan yang sedikit canggung itu. Kemudian, Clara berjalan menuju mobilnya yang sudah ditunggu oleh sang ayah di bangku kemudi. Aku tersenyum kecil karena telah mengobrol dengannya setelah beberapa hari tidak bertemu dengannya.

"Hai, Marcel!" Suara Clara menyapa Marcel sebelum ia masuk ke mobilnya. Hampir saja aku merasa senang akan perbincangan singkat tadi. Nyatanya, Clara memang benar-benar ramah ke semua orang. Ga boleh merayakan terlalu cepat.

Aku berjalan menuju halte. Di sana ada anak-anak seperti biasanya. Namun hari ini berbeda, berhubung Clara berjalan ke arah halte karena berbicara denganku tadi, anak-anak jadi melihat Clara dan kini menjadi bahan bicara mereka.

"Tumbeh Clara lewat sini?" ujar Harry.

"Iya, ya ... Manis banget gilaaa," sahut Peter.

"Jadi itu Clara Clara itu? Ternyata gitu muka anak baru yang dibicarain anak-anak. Beneran cantik, euy!" celetuk Miles.

"Kayak lihat artis aja kalian!" sahut Malfoy ke mereka sambil berjalan di belakangku yang berusaha menyamai langkahku.

"Emang artis kali," celetukku dengan menoleh ke arahnya seraya tertawa kecil.

Langkah Malfoy kini benar-benar sama denganku. Ia berjalan di sebelahku lalu menepuk pundak kananku.

"Ga nungguin gue lu tadi," keluh Malfoy kesal karena aku meninggalkannya setelah bel pulang berdering.

"Lah lu piket." tanggapku singkat.

"Hmmm," jawab Malfoy karena malas berdebat.

Angkot berwarna kuning yang kami nanti-nanti akhirnya datang juga. Sudah hampir setengah jam kami menunggu. Kini setelah datang, semua anak di halte langsung berebut naik. 

Dalam perjalanan, kami mengobrol ramai-ramai seperti biasanya. Hingga, aku melihat mobil Clara baru keluar dari rumah sakit yang baru saja dilewati oleh angkot yang aku tumpangi. Hal itu tentu membuatku iba dan prihatin mengingat kondisi Clara yang tengah mengidap penyakit.

"Habis kontrol, ya?" tanyaku di chat.

 Pesan yang aku kirimkan hanya bercentang satu. Yang artinya, pesan itu belum diterima olehnya. 

Beberapa menit kemudian, angkot akhirnya sampai ke perumahanku. Usai membayar, aku berjalan sampai rumah seperti biasanya. Kini aku tidak lagi menoleh setiap berjalan melewati gang rumah Jane, mantanku. Semenjak bertemu Clara, aku merasa telah bertemu dengan seseorang yang jauh lebih baik yang bisa mewarnai keseharianku. Walau, ia masih belum menjadi siapa-siapaku.

"Eh mbb ... Kok, tau?" balas Clara setelah dua jam sejak aku mengirim pesan di angkot tadi.

"Iya, gue tadi naik angkot lewat rumah sakit, terus keliatan mobil lu baru keluar dari situ." jawabku,

"Oohh. Iya ... gue aja barusan bangun tidur. Tadi habis kontrol disuruh istirahat sama papa." balasnya lagi. 

"Ooww,"

Aku tak tahu harus menjawab apa. Dibilang semoga cepat sembuh, pun, takut ia tersinggung seperti saat itu. Cukup do'aku saja yang bisa membantunya. Sepertinya mencintainya juga hanya bisa dalam diam. Aku sendiri tidak bisa memaksa hatiku untuk berhenti jatuh cinta. Jadi, aku harus bertahan untuk mengagumi seseorang diam-diam seperti ini. Sakit, tapi aku rasa aku nyaman di posisi ini. Mencintai tidak harus memiliki, kan? 

~Bersambung ke Part 14~

Nirmala Fiksi-ku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang