sebuah Puisi berjudul,
Nirmala Fiksi-ku
Terdiam aksa menatap angkasa
Lagi lagi karena mu
Kesendirianku ditemani langit senja
Termenung diam ditahan raguAngin membisik
Aku tak pantas katanya
Kenyataan jahat sekali ya?
Menahanku untuk memiliki muKamu alasan kagumku
Bagai sebuah pelangi
Sempurna terlihat sangat terang
Namun hanya bisa dipandang mata
Tak mungkin tersentuh, kamu jauhIndah sekali, kamu
Menjadi warna untuk hari-hariku
Walau fana yang hanya hidup di angan
Tak berani untuk kukejar
Tak sampai untuk kugapaiIndah sekali, kamu
Halusi yang merasuk pikiran
Menjadi alasan untuk senyuman
Penikmat tawamu yang manis
Namun perlahan hatiku teririsIndah sekali, kamu
Bunga saja tak layak bersaing dengan pesona mu
Paras mengagumkan gemerlip seterang bintang
Biar aku saja yang menatap
Mungkin mampuku hanya sebatas berharapSiapa aku, diri yang tak layak
Mengagumi sosok dirimu walau dihempas keadaan
Tak bisa menjadi alasanmu bahagia
Hanya pengagum indah senyummuSi aku menampar dengan sangat keras
Dia bilang jangan
Berhenti menyakiti diri
Terjebak dalam bayangan dirimuKamu yang hanya ada dalam angan
Layaknya tokoh fiksi dalam karya tulisan
Yang kudoakan setiap malam
Aku mengagumimu dalam diamIndah sekali, kamu
Insan paling sempurna yang pernah aku tatap
Seorang nirmala yang hanya ada di fiksi imajinasi,
Dirimu lah Nirmala Fiksi-ku***
Aku baru saja menyelesaikan puisi yang telah kutulis sejak tiga hari yang lalu. Puisi yang berjudul Nirmala Fiksi-ku, tentang seseorang yang sangat indah yang hanya bisa dicintai dalam angan, seperti tokoh fiksi dengan aku sebagai penikmat ceritanya. Dia benar-benar layaknya tokoh fiksi protagonis yang bisa membuat alur dalam cerita menjadi menarik. Seseorang yang selalu menghias hari-hariku, yang membuatku sadar arti kebahagiaan. Seseorang yang mampu membuatku jatuh cinta padanya. Dia adalah Clara Granger, anak baru di sekolahku yang tiba-tiba mengajakku berkenalan ketika aku sedang tidak mau berbicara dengan siapapun. Tak disangka, pertemuan canggung itu menjadi sebuah sejarah indah yang membuatku akhirnya bisa kenal dengan perempuan itu.
1 tahun kemudian.
Kringggggggggggg......
Bel masuk telah berbunyi. Aku selalu kesal tiap makananku belum habis dan jam istirahat sudah berakhir. Mungkin ini salahku juga, yang menghabiskan setengah jam istirahat untuk mengobrol dengan Clara sebelum berangkat ke kantin tadi.
Sudah satu tahun berlalu. Aku kini sudah kelas 11, dan rasaku pada Clara tidak pernah pudar karena waktu. Bahkan, aku makin mencintainya. Entah, tapi selama ini memang hanya dia yang bisa membuatku tersenyum-senyum sendiri setiap memikirkannya.
"Masih belum habis juga? Udah bel itu lo, anjir!" keluh Tian kesal melihat aku yang masih makan dengan santai padahal anak-anak lainnya yang berada di kantin berlarian panik setelah mendengar suara bel masuk.
"Halah, santai dong. Toh, habis ini juga pelajarannya Bu Petra." jawabku santai. Aku berkata demikian karena Bu Petra memang guru paling sabar yang pernah aku kenal. Akhirnya, Tian hanya diam pasrah menungguku makan tanpa terlihat buru-buru sama sekali.
"Loh Raven? Tian?!" ujar seseorang yang baru masuk ke kantin dengan nada suara sedikit meninggi. Makanku terhenti saat itu juga. Tak hanya makanku, diriku ikut membeku setelah mendengar suara yang tak asing lagi di telingaku.
Ya! Itu adalah Bu Susan, guru BK paling killer se-sekolah. Entah kesialan apa yang membuat hal ini terjadi. Beliau tiba-tiba masuk ke kantin dan mendapatiku dengan Tian sendirian di kala semua siswa telah kembali ke kelasnya.
"Tau ini jam berapa, hah?!!" sambungnya dengan lantang, membuat suaranya bergema di kantin serta jantungku. Aku beranjak dari kursi tanpa mempedulikan makananku yang sedari tadi belum saja habis.
"I--iya, Bu Susan ...." ucap kami berdua lirih.
"Waktunya siapa kalian?!" tanya Bu Susan lagi.
"Bu Petra, Bu ...." imbuh kami. Untung saja, kesialan itu tidak berujung panjang. Kami diperbolehkan kembali tanpa harus mendengar ceramah panjang dari beliau. Jarang sekali ada siswa yang bisa selamat dari Bu Susan secepat kami barusan. Rupanya kami memang beruntung untuk kali ini.
Kemudian ali ke kelas. Benar saja, Bu Petra sudah di dalam walau belum memulai pembelajaran.
"Permisi, Bu," ujarku dengan Tian sambil berjalan menuju bangku kami masing-masing. Beliau tersenyum, dan tidak peduli walau kami terlambat masuk ke kelas. Benar-benar guru idaman.
"Psst," bisik Tian memanggilku dari bangkunya.
"Ha?" jawabku sembari menoleh ke sumber suara.
"Tadii, waktu kita balik dari kantin ke kelas, gue lihat ada adik kelas cantik anjirr," kata Tian sambil tersenyum.
"Hah iya? Lagian lu, mah, cewe mulu!" ujarku. Aku baru ingat kalau sekarang aku sudah punya adik kelas di SMA ini.
"Beneran cantik wehhh, lu ga liat apa, tadi lewat di deket lobi?" tambahnya yang masih berjuang membuatku penasaran dengan ceritanya. Aku merasa iba seakan tidak menghargai Tian berbicara, jadi aku sedikit berpura-pura tertarik dengan ceritanya.
"Kelihatan ga namanya? Atau bet kelasnya gitu?" tanyaku pada Tian.
"Keliatann, dari 10 MIPA 2! Nanti temenin gue lewat bentar di kelas itu, cuma pengen lihat adkel yang cantik tadi. Mau, ya, ya?" pinta Tian yang langsung aku iya-kan. Lagipula, aku merasa bersalah membuatnya ikut dimarahi Bu Susan karena menungguku tadi.
Jam istirahat kedua telah tiba. Sesuai rencana, Tian dan aku akan pura-pura berjalan melewati halaman kelas 10 MIPA 2 untuk melihat perempuan yang tadi Tian temui di dekat lobi sekolah. Hampir sampai di sana, perempuan yang dibicarakan Tian tadi sepertinya sudah berada di dekat kami.
"Eh, woi. Itu anjir!" ujar Tian seraya menarik-narik bajuku. Aku menoleh ke kanan kiri, berusaha mencari orang yang ditunjukkan oleh Tian.
"Ya inii woii, sebelah gue ini," bisik Tian dengan suara yang semakin mengecil. Tentu saja, gadis itu sedang lewat di sebeah kami yang membuat Tian kaget dan salah tingkah.
Aku menoleh ke gadis yang ia maksud. Berniat melihat wujud dari perempuan 'cantik' yang dibicarakan Tian sedari tadi. Saat aku melihat ke arahnya, benar saja. Adik kelas yang Tian ceritakan memang benar-benar cantik. Rupanya Tian tidak bohong.
"Hmm, bener lu, cantik juga." ujarku.
"Ajak kenalan, situ!" sambungku menyuruh Tian berkenalan dengan gadis itu. Tak banyak basa-basi, Tian setuju dan berlari ke arah adik kelas yang baru saja lewat di dekat kami itu. Gila, dia benar-benar mengajak bicara gadis itu. Sungguh Tian sekali, tidak pernah takut ketika berurusan dengan perihal perempuan.
Ya, adik kelas itu memang cantik. Akan tetapi aku tidak ada rasa tertarik sedikitpun untuk mengenalnya. Kalau dipikir-pikir, sepertinya alasannya karena Clara. Semenjak jatuh hati padanya, aku tidak bisa suka dengan perempuan lain selain dia. Atau bisa dibilang, buatku memang tidak ada perempuan sesempurna Clara. Kenapa, ya? Aku bahkan tidak tahu kenapa. Aku yang terlalu obsesif, atau Clara yang terlau indah?
~Bersambung ke Part 17~
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirmala Fiksi-ku [END]
Roman d'amourNirmala itu artinya indah, sempurna. Seperti aku memandang dirinya yang berada jauh di luar jangkauanku. Tak tercapai, tak tergapai. Mencintai dalam diam? Mungkin sebagai lelaki, aku tidak seharusnya menjadi sepecundang itu, tapi mau bagaimana lagi...