Aku Raven. Orang yang selalu mencintai sesosok gadis berkacamata yang membuatku tak pernah bisa berpaling dari keindahannya. Aku bertemu dengannya di hari pertama dia masuk di SMA-ku, SMA Bimasakti. Tepatnya di kantin. Kala aku tengah meratapi kehilangan seseorang yang berharga di hidupku, dia menyapa dengan ekspresi ramahnya. Ya, periang adalah kesan pertamaku padanya.
Senyumnya tak hanya selalu tertancap di wajahnya, tapi juga di kepalaku, selalu dan tak akan pernah bisa pudar. Siapa sangka, di balik senyum manisnya itu, dia mengidap penyakit Anemia yang sangat mengancam nyawanya. Namun, hal itu tak membuatnya berhenti menjadi sosok orang baik dengan sifatnya yang selalu ceria. Perempuan kuat yang membuatku bisa semakin menghargai arti hidup ini. Dia adalah Clara, si Nirmala Fiksi-ku.
"Rav ... gue--kena Anemia Aplastik." Suara Clara di telepon yang sontak membuatku terdiam tak percaya. Aku pernah belajar sedikit tentang penyakit itu di sekolah. Anemia Aplastik adalah penyakit langka di mana tubuh berhenti memproduksi cukup sel darah baru. Kondisi ini adalah kondisi paling berbahaya dari penyakit Anemia.
"T--terus ... gimana, Clar??" tanyaku dengan suara terbata-bata karena panik.
"Engga tau juga, ini masih harus nginap di rumah sakit lagi," ucapnya membuatku heran karena ia nampak tenang,
"Rav ..." imbuhnya memanggilku lirih.
"Gue ... takut kalo gue gue harus ... mati." ujar Clara. Tak usah tanya bagaimana ekspresiku mendengar ucapannya barusan. Tentu saja, aku terkaget dan tak tahu harus mengatakan apa. Itu kalimat paling dalam yang pernah aku dengar sepanjang aku hidup.
"Clara,"
"Lu, pasti bisa." ucapku memberikan semangat yang mungkin tak cukup membantunya. Aku sungguh ingin membantu tapi aku benar-benar tak tahu harus apa.
"Makasih, ya Rav. Makasih juga udah dateng ke rumah sakit tadi. Maaf ya, gue gak bisa nyambut kedatangan lu," Ucapannya membuatku terkejut. Kenapa dia harus meminta maaf?
"Makasih, Rav. Udah dulu ya, udah malem. Maaf ganggu waktu lu malem-malem. Hehe," sambung Clara yang kemudian menutup panggilannya tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab.
Malam ini terasa sangat berbeda. Rasanya, malam ini terlalu indah sekaligus terlalu menyedihkan. Tidur? Aku mencobanya, tapi tidak bisa. Aku menghabiskan malam ini dengan renungan yang tak ada ujungnya. Setiap topik dalam renunganku, selalu ada Clara. Pasti ada Clara. Aku terdiam dalam gelap kamarku ini. Berusaha mencari jawaban dari rasa khawatirku. Rasanya, ini adalah malam terakhir aku bisa berbicara dengan Clara.
Aku lelah, malam ini aku memutuskan untuk tidur walau sulit. Syukurlah, aku berhasil.
***
Aku terbangun dengan mata sayu. Pagi ini terasa sangat berbeda, aku bahkan tidak tahu harus senang atau sedih.
Aku terkaget saat membuka hp-ku dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 06.21. Tanpa pikir panjang, aku berlari dari kamar menuju kamar mandi. Sarapan kubawa di dalam tas, dan langsung berlari keluar mencari angkot untuk segera berangkat ke sekolah. Bodohnya, hp-ku tertinggal di rumah. Tentu tidak ada cukup waktu untuk kembali. Selama perjalanan, wajahku terlihat gamang. Aku tidak membayangkan jika aku harus terlambat lagi, bagaimana bisa aku menahan bentakkan Bu Susan di depan pagar sekolah? Belum lagi, jika aku harus menulis surat pernyataan pelanggaran. Haduh, merepotkan sekali.
Syukurlah, aku berhasil sampai pukul 07.00, tepat ketika pagar tengah ditutup oleh Bu Susan.
"Cepet masuk! Jam segini baru datang!" geram Bu Susan melihatku berlari menuju pagar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nirmala Fiksi-ku [END]
RomansaNirmala itu artinya indah, sempurna. Seperti aku memandang dirinya yang berada jauh di luar jangkauanku. Tak tercapai, tak tergapai. Mencintai dalam diam? Mungkin sebagai lelaki, aku tidak seharusnya menjadi sepecundang itu, tapi mau bagaimana lagi...