23. Age Becomes A Barrier

13.9K 1K 37
                                    

Berulang kali Izzy menghembuskan napasnya, meyakinkan dirinya jika keputusan yang akan diambilnya dengan mengungkapkan perasaanya pada Xander bukanlah hal yang salah. Izzy juga tidak peduli ketika ia harus mengungkapkan terlebih dulu, selagi ia merasa jika mengungkapkan akan membuat lega. Izzy juga sudah memikirkan tentang konsekuensinya. Sebuah penolakan, tidak apa. Izzy sudah mempersiapkan hatinya terluka untuk pertama kalinya. “Ada yang ingin aku bicarakan.” Izzy mulai membuka suara. Gadis itu menatap manik mata Xander.

Xander menunggunya, menatap manik mata Izzy dengan hangat. “Apa yang ingin kau katakan?”

“Aku ....” Izzy menghirup napasnya dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Aku mencintaimu,” lanjutnya masih menatap Xander.

Sedangkan Xander sendiri merasa terkejut, ia tidak menyangka Izzy akan mengatakan perasaannya. Bukan, yang lebih membuatnya terkejut adalah jika ternyata Izzy memiliki perasaan padanya. “Kau ... apa kau yakin dengan yang kau bicarakan?” tanya Xander pelan.

Izzy mengangguk yakin. “Aku tidak pernah bohong dengan perasaanku.”

Xander menghembuskan napasnya gusar. “Izzy, bisa jadi perasaan yang kau miliki akan bertahan sementara.”

“Apa kau menganggap perasaanku sebagai lelucon?” tanya Izzy berusaha baik-baik saja. “Kenapa berpikir jika perasaanku padamu hanya akan bertahan sebentar?” lanjutnya lagi. Kali ini Xander dapat mendengar suara Izzy yang bergetar.

“Tidak bukan begitu. Kau tau, kau masih muda. Kau pantas mendapatkannya yang lebih dariku. Masa depanmu masih panjang, jangan buang waktumu untuk pria sepertiku,” kata Xander mencoba menjelaskan.

Usia. Batin Izzy terkekeh miris. Lagi dan lagi, usia menjadi penghalang bagi seseorang. “Usia ya?” gumam Izzy,  gadis itu terkekeh pelan.

“Ya, usia juga menjadi alasanku mengapa kau harus memikirkannya lagi.” Tegas Xander. Usia mereka terpaut sangat jauh, Xander tidak akan membiarkan Izzy melewati masa mudanya dengan sia-sia.

“Tidak ada kesempatan?” tanya Izzy mulai melemah, menatap Xander berharap.

Xander mengangguk tegas. “Tidak. Dan aku berharap, kau menemukan pria yang tepat, Izzy.”

Izzy mengangguk lemah. “Baiklah,” katanya dengan putus asa.

Xander menatap Izzy dalam, sedangkan gadis itu menatap ke arah lain. Xander dapat melihat ada kekecewaan di manik mata gadis di depannya.

Xander akui, Izzy begitu berani untuk menyatakan rasa padanya. Tapi Xander tidak bisa menerimanya. Xander juga takut rasa yang ada di hatinya hanya akan bertahan sementara. Ia tidak ingin menyakiti Izzy yang tulus mencintainya.

“Aku pergi,” gumam Izzy berbalik dengan membawa sebuah luka di hatinya. Bersamaan dengan itu, air matanya terjatuh. Gadis itu menangis. Sedangkan Xander yang berdiri di tempatnya bergeming. Secara tidak langsung, ia sudah memberikan luka pada gadis itu.

Satu yang Izzy lupakan, jika Xander masih mencintai mendiang istrinya. Mengingat satu kata terakhir yang terucap dari bibir Xander ketika mereka melakukan sebuah dosa di tengah guyuran hujan kota New York. Entah itu bisa dikatakan sebuah percintaan atau tidak, Izzy tidak tau. Karena kejadian itu juga yang membuat Izzy semakin yakin pada perasaannya jika ia mencintai pria itu.

Izzy tidak mengerti kenapa Xander mempermasalahkan jarak umur mereka. Lagipula umur bukan juga suatu kesalahan. Jarak umur bukan suatu dosa di mata Tuhan. C'mon, ini menyebalkan dan Izzy sangat muak.

🍁

“Daddy!” seru Izzy berlari menghampiri Hans yang sedang berada di lapangan khusus untuk pacu koleksi kudanya.

Izzy memeluk pria paruh baya itu, tanpa bisa dicegan Izzy menangis membuat Hans terdiam. Memilih untuk membalas pelukan putrinya lalu mengusap punggungnya lembut. Hans memberikan Izzy waktu untuk meluapkan emosinya. Baru setelah itu Hans akan bertanya apa yang sebenarnya terjadi, atau jika tidak ia menunggu Izzy menceritakannya sendiri. “Dad,” panggil Izzy dengan suara seraknya.

“Hmmm?” gumam Hans menanggapi.

“Apa salah jika Izzy memiliki perasaan pada seseorang?” tanya Izzy.

Hans menggeleng, mulai mengerti ke mana arah pembicaraan putrinya. “Tidak, lagipula perasaan datang tanpa bisa kita cegah. Bagaimana bisa sebuah perasaan bisa dikatakan sebuah kesalahan?”

“Lalu, jika jarak umur menjadi penghalang, bagaimana? Apa itu tetap kesalahan?”

Hans terkekeh dalam hati ketika tau siapa pria yang dimaksud Izzy. Oh, astaga, Hans merasa putrinya sudah sangat dewasa karena mengalami fase di mana seseorang mulai tertarik dengan lawan jenis. Apalagi, pria yang telah mengambil hati putrinya adalah pria matang beranak lima. Seorang pria berstatus duda. Bukankah itu menggemaskan? Batin Hans dalam hati.

“Tidak juga. Tergantung bagaimana seseorang menilainya.”

“Apa pria itu Xander?” tebak Hans membuat Izzy mendongak, lalu mengangguk pelan.

“Izzy jujur dengan perasaan yang Izzy punya padanya.”

“Kau langsung berkata pada Xander?”

Izzy mengangguk lemah. “Lalu dia menolak Izzy. Dia berkata Izzy terlalu muda untuknya.”

Hans menghela napasnya, mengusap surai Izzy. “Bisa jadi, Xander memiliki alasan kuat mengapa menjadikan umur sebagai alasan untuk menolak sebuah perasaan,” kata Hans menepuk punggung Izzy, “Misalnya, dia tidak ingin di mata masyarakat Izzy menjadi jelek, paham maksud Dad?”

Izzy mengangguk mengerti, mendengarkan Hans kembali. “Nah, bisa jadi itu menjadi pertimbangannya. Atau mungkin, karena Xander berpikir Izzy memiliki masa depan yang cerah. Dia juga tidak ingin Izzy salah mengambil keputusan.”

“Kau tau, nak. Dad mengerti bagaimana perasaan Xander. Tentu sangat banyak yang harus dipertimbangkannya untuk memulai sebuah pernikahan lagi. Apalagi, membangun sebuah rumah tangga bersama gadis muda sepertimu.”

“Lalu apa kau tau perasaannya padamu?” tanya Hans, Izzy menggeleng.

“Sepertinya juga memang Xander tidak memiliki rasa pada Izzy. Makannya pria itu juga menolak. Izzy sadar, Izzy yang salah mengartikan perlakuannya.”




















Semarang, 28 Oktober 2020

Daddy Of 5 ✔ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang