Jae memasang muka tidak suka sepanjang perjalanan. Langkah demi langkah diambilnya dengan sedikit entakan. Masih berputar di dalam kepalanya kata-kata sang manajer sebelum acara fansign Sabtu kemarin dimulai, bahwa mereka mendapatkan jatah dua minggu kosong untuk memperingati tahun baru setelah menjalani bulan-bulan promosi yang hampir setiap hari selalu ada jadwal. Younghyun, Wonpil, dan Dowoon bahkan tak mampu menyembunyikan antusiasme mereka hingga acara berakhir. Sungjin juga tampak lega. Jae bisa melihat dia mati-matian menjaga sikapnya agar tidak terlampau senang. Ia sendiri pun bersyukur akan datangnya hari-hari libur karena dengan begitu, ia bisa main sepuasnya.
Namun, tentu bukan itu yang membuat Jae berwajah masam saat ini.
"Aku bingung mau beli apa saja nanti," gumam Wonpil sambil mengeratkan genggamannya pada lengan Jae.
Jae meringis. Ia hendak mendorong Wonpil, memaksanya melepas pelukan, tetapi pasti akan sia-sia. Lelaki itu justru semakin tak ingin melepasnya, seperti sekarang.
"Makanya catat dulu sebelum pergi."
"Aku lupa." Wonpil nyengir. "Nanti kalau aku catat dulu, kamu keburu pergi duluan."
Jae hanya memutar bola mata. Keduanya beriringan menapak masuk supermarket. Wonpil akhirnya berhenti menggelendot. Dia lekas menuju rak makanan ringan. Jae mengekor di belakangnya, ikut melihat-lihat bila ada yang tiba-tiba diinginkannya. Seperempat dari keranjang sang keyboardist telah dipenuhi oleh makanan ringan. Katanya untuk bekal selama perjalanan menuju Incheon.
"Aku sudah selesai nih." Wonpil mendengus puas. "Kamu mau beli apa, Jae-ya?"
Jae melihat sekelilingnya dengan menggumam pelan. "Hmm, aku beli ayam sekalian deh."
"Hah? Kamu mau makan sesamamu?"
"Diem."
Wonpil tertawa geli. "Kalau begitu, aku juga mau, ah."
"Apa belikan sekalian buat yang di rumah, ya?" gumam Jae, mengecek uang tunai yang mereka bawa, takut-takut bila mesin penggesek kartu tak berfungsi sementara. Tentu Jae tak mau repot berlari mencari ATM terdekat untuk menarik tunai dan kembali ke tempat Wonpil berdiri.
Wonpil mengangguk untuk konfirmasi.
Dan lima bungkus ayam panggang sudah ada dalam genggaman.
"Kau tidak sekalian pulang kampung?" tanya Wonpil.
Jae menggeleng. Tanpa mengalihkan pandangnya dari setiap langkahnya di atas lapisan aspal, ia lanjut menjawab, "Entahlah."
"Keluargamu masih di LA?"
"Masih, tapi mereka akan pulang ke sini selama sebulan untuk menengok saudara, jadi mungkin aku akan menginap di tempat mereka."
Wonpil manggut-manggut. "Kalau begitu, kasihan Younghyunie-hyung, dong."
Jae menoleh, memiringkan kepala. Tanpa perlu menyuarakan tanda tanyanya, Wonpil sudah mampu menangkap maksud pria tersebut.
"Kau tahu kan, orang tua Younghyunie-hyung masih tinggal di Kanada? Dua minggu liburan di Kanada pasti tidak akan cukup buat melepas kangen," jelasnya, samar-samar mulai menangkap gedung apartemen mereka. "Karena itu, selama liburan ini, dia memutuskan untuk tinggal sendirian di sini."
Dengan salju yang mulai turun begitu lembut, uap putih mengepul dari napas Jae seiring dengusan dan sahutan yang ia lontarkan.
"Dia sudah biasa hidup sendirian sebelum debut. Tak usah khawatir."
"Aku tahu, Hyung. Tapi, akhir-akhir ini, sepertinya kondisinya sedang tidak enak."
"Maksudmu?"
Akhirnya tatap mereka bertemu. Wonpil sempat berjengit karena bola mata mungil itu menghunjam ke arahnya terlalu tiba-tiba.
"Kata Dowoonie, akhir-akhir ini, dia bertingkah aneh. Napasnya suka tersengal-sengal. Matanya memejam terlampau erat seperti sedang menahan sesuatu." Jarak gedung apartemen semakin tereliminasi. Keduanya menapak masuk lift begitu sampai. "Aku pernah melihatnya secara langsung. Kepalanya mendongak di sandaran sofa, kakinya membuka lebar dan tangan di atas paha. Di antara sela napasnya yang sesak, dia seperti mau menyebut--"
"Kata-kata terakhir?"
"Ih, bukan! Sembarangan aja kalau ngomong." Wonpil merengut tak suka.
Jae terkekeh. Ia menggesturkan untuk Wonpil melanjutkan ceritanya. Namun, sang pemain keyboard tak mau lagi. Dia memungkaskan kalimat sampai,
"Pokoknya, waktu itu aku mau memintakan obat ke Sungjin-hyung. Tapi dia menolak."
Lift berhenti, mendengungkan ding dengan lembut. Keduanya menapak keluar, berjalan meniti lorong beriringan sampai di salah satu pintu.
"Kalau mau tahu lebih lanjutnya, tanya saja ke Dowoonie."
Jae tidak membalas apapun. Masih merekap kata-kata Wonpil dalam ingatannya, pintu membuka. Dua pemuda tersebut melangkah masuk dan melepas alas kaki. Aroma ayam panggang yang ditenteng Jae mengundang tiga pasang mata lekas menaruh atensi lebih. Sungjin yang tengah berbenah untuk persiapan ke Busan rela meninggalkan barang-barangnya yang masih berantakan demi mengantar ayam panggang ke arah dapur. Younghyun juga ikut mendekati Jae, menyambar satu kantung dengan air liur di sudut bibirnya. Mulutnya langsung mengambil satu gigitan, meresapi bumbu gurih mendominasi indra perasanya dengan senyum terpatri, seolah baru merasakan kenikmatan ayam panggang.
Jae mendengus. Apanya yang aneh. Dia kelihatan normal, kok. Dasar Kim Wonpil suka mengada-ngada.
"Idenya siapa tadi beli ayam?" tanya Dowoon sambil melangkah keluar dari kamar, terpancing akan aromanya.
"Jaehyungie-hyung. Dia lagi mau makan ayam tadi," jawab Wonpil seraya meletakkan belanjaan di dekat kopernya.
Younghyun langsung menengok ke arah Jae. Matanya penuh binar kebahagiaan dan kedua pipi menggembung.
"Tahu saja, Hyung, kalau aku lagi kelaparan." Senyum terpatri di bibir berlumur saus barbekyu, tak kalah cerah dengan kelap-kelip di bola matanya. "Kalau jadi pacarnya Jaehyung-hyung enak kali, ya. Saking pekanya dia, tak perlu bilang-bilang kalau lapar. Pasti bakal langsung dibelikan makanan terus."
Wonpil tergelak. "Cari pacar apa baby sitter, Hyung?"
"Diem ah."
"Kau berlebihan, Kang Bra." Sungjin mendengus.
"Cemburu bilang, Hyung." Younghyun menjulurkan lidah.
"Kalau begitu pacaran saja sama Jaehyungie-hyung," sahut Dowoon, tak sadar bahwa kata-katanya sempat menghentikan degup jantung Jae untuk sepersekian detik.
Younghyun hanya membalas dengan cengiran. Tanpa kata-kata terulur keluar, ia kembali menikmati ayam panggangnya di depan drama yang sedang terputar. Reaksi tersebut membuat Jae mengernyit.
Sambil menempati salah satu kursi makan, Jae melempar pandangan skeptis pada surai gelap Younghyun. Dia membalas sahutan Sungjin dan Wonpil, tetapi tidak kepada Dowoon. Benaknya penuh akan dugaan, entah Younghyun terlalu canggung untuk menanggapinya atau tak peduli karena Dowoon suka asal ceplos. Kalaupun memang sudah ada respons yang sempat terlintas, Jae yakin Younghyun tak akan bisa mengucapkannya. "Ya sudah" dan "tak mau ah" bagai buah simalakama bagi sang bassist. Keduanya pasti membawa perubahan yang berputar 180 derajat.
Namun, Jae enggan menampik bahwa ia ingin mendengar jawaban Younghyun.
[>>>]
.
Yeay, akhirnya bisa up juga~ entah kenapa awalnya agak ragu mau up :')
Bri udah ngasih tipe idamannya: harus peka. Biar kalo Brian laper tapi males ngomong, pacarnya langsung ngasi dia makan.
Oh iya aku mau survey mendadak. Kalian lebih suka happy ending, sad ending, atau gantung ending?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cloud Nine [Jaehyungparkian] ✓
FanfictionSeirama. Senada. Namun sensasi yang Younghyun rasakan sedikit berbeda. - fluff tapi agak tidak fluff - [DAY6] [WARN: BXB]