"Paman, tolong... satu potong saja...," pinta seorang anak lelaki bertubuh kurus kering dan berpakaian compang-camping kepada sosok prajurit berseragam kulit. Badannya sangat kotor, rambutnya ikal, dan bertelanjang kaki.
Walaupun terus dipandang, prajurit itu tetap asyik mengobrol dengan salah satu rekannya yang duduk bersamanya di atas bangku di dekat taman kota yang gersang. Masing-masing dari prajurit itu menggenggam sebuah roti gandum yang masih dibungkus dengan daun pisang.
"Paman... aku lapar...," anak itu kembali memohon.
Tatkala prajurit itu tidak menanggapinya, anak itu pun memberanikan diri untuk menyentuh seragam kulitnya. "Paman-" dan seketika itu lah dirinya mendapat tendangan keras dari prajurit itu. Tubuhnya yang kecil terlempar lalu terkapar di pinggiran jalan.
"KURANG AJAR!" seru prajurit yang kini bangkit berdiri. "KAU TAK PANTAS MENYENTUH DIRIKU!" lanjutnya.
Dengan terisak, anak kecil itu mencoba bangkit berdiri. Darah mengalir dari pelipis matanya.
"CARI MAKANANMU SENDIRI!"
Setelah anak kecil itu berhasil bangkit, ia langsung lari sambil menangis.
Ia pergi melintasi kota yang penuh dengan asap dan debu, banyak bangunan yang roboh dan hangus terbakar. Di balik reruntuhan-reruntuhan bangunan, sesekali dapat terlihat segelintir warga yang bersembunyi dan duduk meringkuk.
Semakin lama anak itu berlari, semakin gelap pula suasana di sekitarnya. Kini, ia hanya mengandalkan cahaya bulan oleh sebab tak ada lagi suluh yang berkobar di sekitarnya. Pada akhirnya, ia tiba di kolong jembatan di pinggiran sungai, dimana terdapat banyak sekali warga yang kondisinya amat mengenaskan.
Ia berhenti berlari untuk berjalan mendekati seorang wanita yang tengah terduduk bersama dengan seorang anak gadis.
"M- makan?" tanya wanita itu kepada anak lelaki yang baru saja sampai.
Anak itu tak menjawab melainkan hanya menggelengkan kepalanya. "Maafkan aku, Ibu...,"
Wanita itu kemudian hanya tertunduk sayu. Ia menatap anak gadisnya yang kemudian merintih. "Ibu... perutku sakit...,"
Mendengar keluhan anak puterinya, wanita itu tak kuasa untuk membendung air mata. "Maafkan ibu nak..., maafkan ibu...,"
"Kepalaku pening...," lanjut anak gadis itu dengan suara terpatah-patah. "I- ibu... ibu dimana?"
Anak lelaki yang merupakan kakak dari gadis itu pun duduk dan menggenggam tangan adiknya yang juga kurus kering. "Ibu ada bersamamu... kami berdua bersamamu disini...,"
Ketika mereka semua tengah terpuruk dalam rasa duka, seorang pria yang duduk di seberang mereka pun angkat bicara. "Percuma nak, mereka semua orang-orang egois," perkataannya memancing perhatian anak lelaki yang sedang bersama ibu dan adiknya itu untuk menatapnya. "Jangankan makanan... bahkan pakaian dan tempat tinggal yang layak pun tidak akan mereka bagikan,"
Anak lelaki itu menghela napas panjang sebelum membuang muka untuk kembali menatap adiknya. Baginya, cerita seperti itu sudah biasa didengar dari banyak orang.
Kendati demikian, pria itu masih tetap bicara. "Padahal... kitalah, rakyat kecil, yang berjuang memberikan bahan-bahan pokok saat perang masih berlangsung...," Ia lalu tertawa sendiri. "Sekarang, saat ladang kita hancur..., apakah mereka peduli? Tidak, tidak, mereka seakan lupa jasa-jasa kita!"
Di saat pria itu masih bicara sendiri, kondisi adik perempuan dari anak lelaki itu justru semakin memburuk. Matanya seperti sedang mengantuk, hendak terpejam namun sesekali masih berupaya untuk tetap terjaga. "Ibu... kakak...," rintihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancient's Realm: The Folks
Fantasy=-=-=-=-= BUKU KEDUA DARI SERIAL "ANCIENT'S REALM" =-=-=-=-= * Silakan membaca seri pertama yang ada di profil atau melalui link (https://www.wattpad.com/story/191508942-ancient%27s-realm-stallions-serpents) sebelum membaca bagian ini. ~~~~~~~~~~~~~...