Chapter 7.3: Selune

17 2 0
                                    

Kecantikan kami, adalah senjata kami.

Sudah bertahun-tahun, kalau diingat... sejak kami pergi merantau meninggalkan pulau sekitar lima tahun yang lalu. Ya, kami memutuskan hidup mandiri sejak kami berusia dua belas tahun. Pemberani, bukan? Itu semua demi masa depan yang lebih baik, demi masa depan ayah, ibu, serta para tetangga di pulau. Kami bertekad untuk pulang dengan dagu terangkat ke atas, membawa serta harta untuk dibagi bersama. Bagaimana caranya? Tentunya adalah dengan menjadi pasukan kerajaan.

Memang, kekuatan fisik bukan menjadi keahlian utama kami. Oleh karenanya kami memilih untuk mendaftar di pasukan milik jenderal Nazarella. Kami lebih unggul dalam hal memanipulasi, yah mau bagaimana lagi, sejak kami meninggalkan pulau, itulah yang kami lakukan. Tiada hari tanpa memanipulasi.

Setelah kami lulus dan secara resmi diangkat menjadi anggota pasukan, barulah kami akan memikirkan rencana selanjutnya. Dengar-dengar, mereka pun akan kembali mengalokasikan kami berdasarkan kemampuan terbaik kami. Siapa tahu, kami berdua bisa menjadi aset terpenting untuk kerajaan, misalnya jadi negosiator atau semacamnya.

"Mau kue?" tanya kakakku, Serena, yang bangkit berdiri untuk mengambil tambahan makanan yang disediakan di bawah pohon trembesi yang ada di lapangan pelatihan.

"Tidak, aku kenyang," jawabku kepadanya. Ia membalasku dengan senyuman manis sebelum pergi meninggalkan tempat.

Kakakku... adalah pahlawanku. Tanpanya, kita mungkin tidak bisa sampai sejauh ini.

Bisa dibilang, dialah otak dari semua aksi kami. Serena lah yang mencari aset, menyusun cerita serta naskah pintar untuk kemudian kita laksanakan demi keuntungan yang dapat membantu kita meraih tujuan. Tentu... tidak semuanya berujung mulus, kerap kali... ada yang merugikan kami bahkan membahayakan kami. Tapi, Serena jugalah yang selalu membereskannya, aku tidak dibiarkannya ikut campur. Bahkan, ia pun rela melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor yang ia berusaha sembunyikan daripadaku. Dan lagi, semuanya itu ia lakukan demi kami berdua.

Peranku hanyalah mengikuti irama musik dari kakakku.

Umumnya, setelah kami memperoleh keuntungan yang cukup, kami akan langsung mencari cara untuk 'memisahkan diri' dari mereka yang kami sebut dengan aset. Namun... aku yakin kali ini kakakku tidak akan melakukan hal itu, apalagi setelah Fion menyelamatkan nyawanya.

Kenapa aku bisa tahu? Pertama, karena barang-barang yang dibelikan Fion sama sekali tidak disentuh. Biasanya setelah kami menyelesaikan sebuah misi sukses, kakak akan langsung antusias menggunakan barang-barang yang didapatkannya. Kami berdua malah kerap kali membanggakan diri untuk memamerkannya kepada orang-orang disekitar kami. Namun sampai sekarang, kakak tidak lagi mengungkit kejadian kemarin bahkan kepadaku.

Kedua, kakak menjadi lebih pendiam. Padahal, ia suka sekali bergosip kesana kemari, apalagi... jika ada gempa sebesar kemarin, dirinya yang dulu akan segera keluyuran untuk bertukar opini tentang guncangan-guncangan yang katanya berasal dari Republik Leilati Utara ini. Dirinya yang diam secara tak langsung mengatakan kalau ia sedang memikirkan sesuatu, atau seseorang.

Dugaanku tentang itu juga semakin kuat dengan alasan ketiga, yaitu ketika ia menangis di pelukan Fion. Seumur hidupku aku belum pernah melihatnya memeluk seseorang seperti itu. Aku sempat berpikir bahwa ini karena dirinya hampir kehilangan nyawa... tapi tidak, ia adalah wanita tangguh sama sepertiku. Sudah berulang-ulang kali nyawanya terancam tapi tidak pernah sekalipun ia gentar.

Satu-satunya kemungkinan adalah...,

"Kau jatuh cinta dengan Fion, iya kan?" tanyaku langsung kepadanya setelah ia datang dengan membawa dua buah kue cokelat.

"Kenapa kau bisa berpikir begitu?" tanyanya balik sembari duduk di atas rumput.

"Aku adalah kembaranmu, tidak usahlah kau mengelak,"

Ia tersenyum. "Aku tidak mengelak... aku hanya tidak yakin tentang apa yang kurasakan saat ini,"

Aku memutuskan untuk diam, memberikannya kesempatan untuk bicara.

"Aku tidak yakin perasaanku ini nyata... maksudku, aku hidup penuh dengan kebohongan, bagaimana jika ini...." ia memberi jeda sejenak. "Selune, Fion adalah orang yang baik, aku... tidak ingin menghancurkannya, tidak lagi,"

"Tidak," aku memeluknya. "Kau akan membahagiakannya. Kau akan selalu ada di sampingnya, hidup dan berjuang bersama dengannya."

Serena kini menatapku haru, mungkin juga sedikit terkejut mendengar perkataanku.

"Sudah cukup," kataku. "Kita sudah sangat dekat, kak..., kita pun punya tempat tinggal nyaman dan makanan berlimpah. Hanya sedikit lagi, kita hanya perlu berjuang untuk dapat lulus dari milisi. Kita tidak harus berburu aset lagi, kak..., kau tidak perlu melakukannya lagi."

Ucapanku membuat Serena berlinang air mata. Ia hanya tersenyum kepadaku, dan aku seketika tahu bahwa ia menyetujui betul semua saranku.

"HEY ADA YANG NANGIS!" Seketika suara Merrick yang parau tiba-tiba terdengar.

Aku dan kakakku serentak menoleh, menatapnya yang tertawa di sebelah Abel, kawan kerdilnya. "KALAU CENGENG TIDAK USAH JADI PRAJURIT!" lanjutnya sambil tertawa cekikikan.

Kakakku sontak hendak bangkit berdiri namun aku mendahuluinya.

Kali ini, aku yang akan beri pelajaran!

Aku menatap tajam Merrick dan Abel yang kini juga menatapku balik. Setelah aku berdiri di hadapannya aku langsung menghantam wajahnya yang tengil.

Semua orang yang ada di lapangan pelatihan menatapku, aku tahu. Tapi biarkan, biarkan semuanya melihat! Biarkan ini jadi pelajaran bagi mereka semua untuk tidak main-main dengan kami!

Setelah menghantam wajahnya, aku langsung melanjutkan untuk meninju perutnya dengan kepalan tanganku yang lain. Abel yang berdiri disebelahnya hanya dapat terpaku dan terbelalak.

Merrick meraung kesakitan namun aku masih sempat untuk menendang pahanya dan menjatuhkannya ke atas tanah. "JANGAN KAU BERANI GANGGU KAMI LAGI!" teriakanku yang keras seketika membungkam Merrick yang menatapku takut.

Ketika aku memutar badan, aku melihat Serena yang tersenyum bangga.

Ya, inilah saatku mengambil peran yang lain.

Saat aku berjalan balik, aku sempat melihat para prajurit berseragam biru tua yang menatapku sembari tersenyum, aku tidak tahu apa maksud senyuman itu namun aku lega melihat mereka yang hanya berdiam diri, tidak mempersoalkan tindakanku.

Aku pun sempat mendengar Abel yang mencoba menghibur Merrick, dan aku juga dengar celotehan parau Merrick terhadapnya. Dasar, mereka berdua hanyalah orang-orang pencari sensasi!

"Lihatlah adik siapa ini!" sambut Serena kepadaku, masih tersenyum lebar.

Sambil duduk, aku membalasnya, "Biarlah itu menjadi simbol untuk kehidupan kita yang baru,"

Serena tertawa. "Kau sangat optimis,"

"Kau yang mengajariku," aku langsung menjawab. "Banyak hal yang aku dapat pelajari darimu. Sekarang... aku sudah kenyang, dan aku sudah siap untuk mandiri," lanjutku. "Jadi, kau tidak perlu khawatir lagi. Inilah saatnya bagimu untuk memulai babak yang baru,"

Serena lagi-lagi berkaca-kaca.

"Bagaimana kalau kita mulai dengan... pergi ke rumah Fion saat hari liburnya nanti?" godaku kepadanya yang sontak tak kuasa membendung air mata dan langsung memelukku dengan muka gembira.

~~~~~

"Chapter 8.1: The Trip", akan terbit pada tanggal 15 Agustus 2020.

Ancient's Realm: The FolksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang