Chapter 7.1: Helene

21 2 0
                                    

Aku... tidak tahu lagi, harus berbuat apa.

Tidak ada lagi yang percaya denganku....

Suara-suara itu terus bergeming tatkala aku sedang fokus merawat seekor kucing yang terbaring di hadapanku. Pahanya sobek karena pecahan beling... "Sedikit lagi...," kataku kepadanya yang terus memejamkan mata dan bergetar kesakitan. "Lihatlah daun-daun yang ada di pohon itu," saranku sebelum aku menjahit lukanya.

Mengikuti saranku, kucing berbulu putih itu perlahan membuka matanya. Namun ia melihat sekeliling... melihatku yang sedang duduk di susuran jendela, dan melihat seekor burung gereja yang menemaniku merawat lukanya. Tubuhnya masih bergetar.

"Kau kuat," kataku kepadanya. "Ayolah, perhatikan saja daun-daun hijau yang ada di pohon itu, coba untuk... hiraukan rasa sakitnya... ya?" lanjutku sambil mengelus pipi kucing itu.

Namun, ketika aku hendak mulai menjahit, ada suara nyaring yang memanggil namaku. "HELENE!" aku langsung mengenal suara itu. Suara salah satu perawat yang menjaga asrama ini, namanya kak Christine.

Aku... adalah seorang yatim. Ayahku meninggal ketika aku masih dalam kandungan, dan ibuku... meninggal ketika melahirkanku. Kak Christine-lah yang kemudian membawaku kemari. Katanya... ibuku adalah seorang wanita yang sangat cantik dan berhati mulia, ia rajin berkunjung dan memberikan kontribusi besar untuk asrama ini.

Sayang sekali, aku tidak memiliki kesempatan untuk mengenalnya. Satu-satunya yang dapat kulakukan adalah dengan mengikuti teladan ibuku. Salah satunya... adalah dengan membalas budi asrama ini, yang telah berjasa membuatku tumbuh besar dan mengajariku nilai-nilai hidup. Ya, mengikuti jejak kak Christine, aku memutuskan untuk menjadi seorang pengurus asrama.

Aku sontak menoleh, menatapnya yang kini berjalan kearahku dengan muka terlipat. "Aku sudah berkali-kali memanggil namamu!" katanya kesal. "Ada temanmu di bawah!"

Fion.

"Aku... tidak ingin menemuinya," kataku. "Sampaikan saja kalau aku baik-baik saja,"

Christine mendengus paham. "Ah, kau merepotkan saja!" keluhnya sebelum pergi meninggalkanku.

Aku pun menarik napas panjang, meyakinkan pikiranku untuk kembali fokus kepada si kucing. "Aku mulai, ya?" kataku kepadanya.

"Cepatlah, aku dari tadi sudah menyiapkan mental!"

Sambil tersenyum geli namun juga prihatin, aku pun langsung menancapkan jarum dan mulai menjahit. Sesuai dugaanku, kucing itu kini meraung-raung kesakitan, sangat berisik. "Boleh berteriak sekencang-kencangnya, tapi jangan menggerakkan pahamu, ya?"

"Aku benci kamu, Helene!" jeritnya sambil berteriak-teriak tak terkendali.

Mendengar ucapan kucing itu, burung gereja yang hinggap di susuran jendela pun angkat bicara. "Hey! Seharusnya kau bersyukur Helene mau merawatmu!"

Aku hanya tertawa geli. "Tenanglah Cittu, dia tidak bermaksud, kok," balasku kepada burung gereja berwarna abu-abu gelap yang kuberi nama Cittu.

Aku kembali mengambil napas panjang, namun kini untuk bersyukur. Ditengah-tengah situasi yang aku hadapi, aku masih mempunyai mereka... aku bersyukur... atas anugerah yang diberikan sang Maha Kuasa kepadaku. Aku... dapat mendengar dan berbicara dengan hewan.

"Sori, Hel," celoteh kucing itu.

"Dimaafkan," aku langsung membalasnya.

Gempa ini... merugikan banyak pihak. Selain aku dapat mendengar keluh kesah para warga kota, aku pun sesekali menangkap suara tangisan para tupai yang juga menjadi korban. Ada juga... rintihan sakit kuda-kuda pedagang yang tertimpa oleh puing dan barang dagangan, serta suara isak anjing yang kehilangan majikannya. Semuanya terdengar begitu berisik, kadangkala aku ingin sekali untuk tidak menangkap semua suara itu, namun tentu saja itu bukan kuasaku untuk menentukan.

Ancient's Realm: The FolksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang