Chapter 3.1: Albatross I

22 3 0
                                    

"TOLONG! TOLONG! AMPUNILAH AKU!" seru seorang pria bermantel mewah yang terikat oleh rantai. Enam sosok berjubah hitam tampak sedang menariknya dengan paksa, menyeret tubuh pria itu di atas lantai-lantai berbatu. "AKU MOHON!" pria itu kembali berteriak sambil terisak. Suaranya bergema kencang, menggetarkan batu-batuan stalaktit yang menggantung di langit-langit. "SESEORANG, TOLONG AKU!"

"Berteriaklah sesukamu," balas salah satu sosok berjubah hitam yang tengah menariknya. "Tak akan ada yang dapat mendengarmu, kematianmu sudah pasti." lanjutnya sambil menengok ke belakang, menatap pria itu dengan dingin. Wajahnya yang hanya berwujud tulang tengkorak semakin membuat tangisan pria itu menjadi-jadi, ia terus meratap penuh penyesalan, kuku-kukunya terlepas oleh sebab usahanya yang sia-sia ketika mencoba menggapai batu-batu stalagmit yang tumbuh di lantai.

Mereka berada di dalam sebuah goa yang lembab. Terdengar suara gemericik air entah darimana datangnya. Sesekali, terlihat beberapa suluh yang ditempel pada dinding-dinding berbatu, cahayanya sudah meredup.

Dengan tubuh menggigil, pria itu dibawa semakin ke dalam, dimana mulai terlihat semakin banyak suluh yang kini meletup-letup kencang, dan semakin banyak pula sosok berjubah hitam yang tengah berdiri menanti kehadirannya. Tak lama, dihadapkan-nyalah pria itu kepada sebuah tempat misterius yang sangat lapang, ada sebuah perkumpulan yang ada di tengah-tengah ruang, perkumpulan para sosok berjubah hitam yang duduk secara melingkar. Mereka mengelilingi sebuah ukiran asing berbentuk radial yang menyala-nyala di atas lantai goa. Ketika pria itu melihat ke kiri dan ke kanan, ia menyaksikan mayat-mayat dengan mulut menganga yang telah dikuliti dibiarkan tergeletak di pinggiran. Bau darah sangat menyengat, pria itu sekali lagi berteriak minta ampun ketika para sosok yang berkerumun di tengah-tengah ruangan secara serentak menoleh ke arahnya. Masing-masing diantara mereka memegang sebuah belati berwarna putih.

Keenam sosok berjubah hitam yang tengah menarik pria itu seketika berhenti. Mereka secara serentak melepaskan rantai yang mereka genggam dan berjalan meninggalkan pria yang tak berdaya itu terbaring di atas lantai. Melihat adanya kesempatan, pria itu mencoba melarikan diri dengan merangkak menjauh sebelum bangkit berdiri dan hendak beranjak pergi. Namun angan-angannya kandas setelah ia melihat jauh sesosok makhluk berambut panjang yang berjalan bak seekor laba-laba dengan dadanya yang menghadap langit menghalangi jalannya.

Tak ada harapan lagi, pria yang terlihat putus asa itu hanya menjatuhkan dirinya ke atas tanah, ia lalu menengok ke belakang menghadap sosok-sosok berjubah hitam yang terus menatapnya dan berteriak, "KALIAN MENJANJIKANKU KEABADIAN!"

Seketika, keluh kesah pria itu kemudian dibalas oleh sebuah suara yang datang dari belakang makhluk berambut panjang yang tengah berjaga-jaga. "Kau akan memperoleh keabadian," sebuah suara kering namun terkesan lembut.

Pria itu kembali menoleh kebelakang, menyaksikan sosok berjubah hitam yang datang mendekat, cahaya suluh menerangi wajahnya yang juga hanya tersisa tulang tengkorak, namun ia memiliki beberapa helai rambut berwarna putih yang terurai panjang sampai ke batas pinggang. "Keabadian di alam seberang," sosok itu melanjutkan perkataannya.

Mendengar kalimat itu, pria itu sekali lagi menangis dan berserah atas nasib yang akan menimpanya. Dengan tubuhnya yang gemetar kuat, ia hanya mencoba untuk berdoa sambil meringkuk tak berdaya di atas tanah.

"Kalian bisa memulainya." perintah sosok berambut putih itu kepada para rekannya sebelum kembali membalikkan badan dan berjalan menjauh meninggalkan tempat.

Berjalan menyusuri lorong-lorong yang sangat minim oleh cahaya, sosok itu kemudian terhentikan oleh sebuah suara yang memanggilnya. "Elise,"

Menoleh ke sumber suara, sosok berambut putih yang bernama Elise itu pun segera melihat rekannya yang lain, berjalan mendekatinya. "Nam," katanya yang langsung mengenali sosok Namlea yang mengenakan jubah panjang berwarna kelabu.

"Bagaimana?" tanya Namlea kepadanya.

"Masih belum cukup," jawab Elise sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yang satu ini sangat haus darah,"

Namlea tidak menjawab. Ia terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk berpaling.

"Nam, kita harus mengambil lebih banyak lagi!" Elise segera menyahut begitu dirinya melihat Namlea yang hendak beranjak pergi.

Namlea kembali membalikkan badan dan bertanya, "Sudah berapa banyak untuk bulan ini?"

"Delapan,"

"Itu terlalu banyak."

"Dua diantaranya orang Leilati dan satu yang lain orang Goff!" seru Elise. "Ayolah, kita membuang waktu untuk ini!"

"Oh, Elise...," Namlea semakin mendekatinya. "Aku memakan waktu berpuluh-puluh tahun untuk dapat membebaskan kalian,"

Elise tidak bisa membalasnya. Ia hanya terpaku melihat Namlea yang terlihat kesal, datang kepadanya dan kemudian menatapnya tajam dengan jarak yang sangat dekat.

"Lihatlah dimana kita sekarang," lanjut Namlea. "KESABARAN adalah kebajikan."

"Maafkan aku," ungkap Elise sambil menundukkan kepalanya.

Namlea menghela napas sebelum pergi menjauh dan kembali bertanya, "Apakah kau sudah pastikan mereka bekerja sesuai protokol?"

Elise mengangguk. "Sesuai instruksi yang kau berikan,"

Sedikit memberi jeda, Namlea kemudian menyampaikan nasihat, "Dengar Elise, lima masih terlalu banyak. Kita tidak boleh anggap remeh kerajaan ini. Mereka adalah orang-orang yang sangat waspada."

Elise masih mendengarkannya.

"Aturlah paling banyak dua orang, terutama di kerajaan Varamith," Namlea melanjutkan perkataannya. "Ingatlah untuk tetap sabar, biarkanlah proses ini berjalan sebagaimana mestinya,"

"Aku mengerti." jawab Elise.

"Kita memanggil sesuatu yang baru di sini. Sesuatu yang dapat hidup tanpa adanya bejana," kata Namlea sambil berpaling dan pergi menjauhi Elise. "Sampai hari itu tiba, kita harus menahan diri."

***

"Chapter 3.2: Albatross II", akan terbit pada tanggal 9 Mei 2020.

Ancient's Realm: The FolksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang