» [M.A.D] «
0:00 ─〇───── 03:51
⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻
_ ______________________.
.
.
Mengumpulkan seluruh kesadarannya yang sempat hilang dalam sepersekian menit. Kenta mencoba mengerjabkan matanya beberapa kali, berfikir jika pandangannya sedang buram, namun ternyata yang ia dapati adalah kegelapan yang memenuhi retinanya. Matanya ditutup.Rasa pening yang sedari tadi menyerang tak kian kunjung hilang. Instingnya menyatakan untuk segera kabur. Hanya saja ia merasakan kedua pergelangan tangan dan kakinya yang tertahan oleh sesuatu--bisa disimpulkan bahwa saat ini Kenta diikat menggunakan tali atau kain perca yang diikat secara berlawanan.
Ia menggeram dan bergerak meronta secara agresif. Berharap ada kesempatan untuk melarikan diri. Persetan jika pergelangan tangan dan kakinya menjadi lecet, yang terpenting ia dapat menyelamatkan diri sesegera mungkin dari tempat berhawa dingin yang kian mengikisi kulitnya ini.
Namun Kenta kelimpungan kala mendengar suara derit pintu yang dibuka, juga bersamaan dengan satu hal yang baru ia sadari.
He is naked...
Kenta merasakan dinginnya lantai bangunan yang ia tempati melalui punggung. Yep, he is.
"Aku tidak percaya kita melakukan ini," ucap seseorang setelah menutup pintu. Ia mengekori dua orang yang berjalan di depannya. Yang satu bertubuh tinggi dan berpundak lebar, yang satunya lagi berpinggang ramping. Sedangkan ia sendiri merasa tubuhnya paling bagus diantara yang dua orang itu. Terserah.
Layar monitor dinyalakan, menampilkan paparan cahaya radiasi yang dalam sepersekian detik menyilaukan mata. Begitu kursor mulai berpindahan dari satu titik ke titik lain, sebuah notifikasi panggilan video masuk. Untuk beberapa alasan, tiga komplotan manusia itu meneguk ludah bersamaan, dari mulut masing-masing tentunya.
Sekitar satu menit kemudian, seseorang manampilkan tubuhnya dari balik layar. 'Master', tulisan itulah yang terpampang di atasnya. Ia membuka suara. Tak begitu jelas, namun Kenta yang sedari tadi mematung dapat mendengar satu kata yang terlontar keluar.
"Buka kain penutup matanya."
Dan benar, Kenta merasakan benda itu menghilang dari jangkauan area retinanya. Mengerjab, pandangannya menjadi buram untuk beberapa saat, namun bola matanya segera difokuskan dan lantas menyadari berbagai tatapan menuju padanya.
"Let's we play... "
Para komplotan itu berjalan mendekat, salah satunya menarik dan menjambak rambut ikal milik Kenta, membuat posisinya yang terbaring menjadi semi-duduk karena mengikuti arah genggaman dan tarikan kuat dari tangan yang kasar.
Dan saat itulah teriakan serta jeritan nyaring terdengar kala kulit jari-jari tangannya diiris menggunakan cutter.
Ingin segera melepaskan diri dan berlari secepat pacuan cheetah, namun kenyataan menghantam harga diri lelakinya dengan keras. Yeah, sebuah tongkat pemukul kasti, juga menghantam dada bidangnya secara bertubi-tubi.
Sakit, perih, bahkan kenta bisa merasakan bagian tubuhnya lecet dan memanas.
"Injak kemaluannya."
Si 'Master' mulai melontarkan berbagai perintahnya. Kemudian si 'tubuh bagus'--sebut saja begitu, agar sang empu merasa senang-- mempraktekan hal tersebut dengan sepatu futsal yang kebetulan ia pakai.
Teriakan itu kian nyaring dan menggelegar. Apakah tidak ada keringanan untuknya? atau celah untuk Kenta melarikan diri? Minimal secercah rasa empati, rasanya sangat mustahil. Yeah, begitulah.
"Sekarang, penggal lehernya."
Kenta meronta-ronta ingin melarikan diri, namun sekuat apapun usahanya hanya akan berakhir dengan memperparah luka di pergelangannya yang terikat.
"Tidak, tunggu dulu..."
Ketiga komplotan itu saling melempar tatapan. Bukan karena instruksi yang diberikan melebihi ekspetasi, tapi saling memperkuat prediksi satu sama lain untuk mengisyaratkan mereka akan baik-baik saja.
Sementara itu pernapasan Kenta menjadi sedikit teratur. Walau masih dalam balutan selimut kegelisahan dan rasa takut, setidaknya ia masih dapat dibiarkan hidup dalam beberapa detik kedepan.
"... Cungkil matanya."
Si pinggang ramping menatap tajam layar monitor. Mimiknya memang tak dapat dibaca dan diuraikan secara terperinci, namun yang jelas ia tak terima dengan keputusan orang di seberang sana.
Ini gila, benar-benar sudah hilang sifat manusiawinya. "Apa kau tida--"
"Ingin membantah? Saat kau menerima tawaran ini, itu sama saja dengan menjadi relawan untuk melakukannya sendiri. Silahkan."
Si pinggang ramping meneguk ludah secara terbata. Diliriknya kedua rekan yang sama-sama terkejut. Yeah, apa boleh buat, mereka hanya dapat membeo dengan pergi menjauh dari sana. Berjaga di area pintu masuk, berharap tidak ada orang yang datang atau justu para polisi pemakan gaji buta.
"Apa kau gila?!" si pinggang ramping mulai berperotes. Memejamkan mata, ia terbelenggu dengan keputusannya sendiri. Akal sehatnya mencoba untuk memilih opsi putih dan hitam, namun tetap saja meragu dan larut dengan kelamnya kelabu.
"Kita semua gila. Kau tahu itu, bukan?"
Mengusap wajah dengan gusar. Ada secercah penyesalan di dalam sana. Namun yang ia pilih dan lakukan ini akan menentukan segala nasib dan takdir.
Semoga saja.
Sebab hanya Tuhan yang tahu seperti apa jeritan pilu Kenta begitu ruhnya tak lagi berada di sana.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
-|ʀᴀᴋᴛᴀ✶ˊˎ-
FanfictionDi tengah sudut Kota Tokyo, pemuda yang terlahir di Kota ini terbangun dari mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mencoba memutar kembali film yang dihadirkan dalam mimpinya selama sepersekian menit tadi, namun tak berhasil. Ketika s...