Di tengah sudut Kota Tokyo, pemuda yang terlahir di Kota ini terbangun dari mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mencoba memutar kembali film yang dihadirkan dalam mimpinya selama sepersekian menit tadi, namun tak berhasil.
Ketika s...
Bintang-bintang bertabur indah di angkasa. Menggantikan sang surya yang kini sudah kembali pada peraduannya. Udara malam ia hirup dalam-dalam, seperti akan terbuang cuma-cuma jika ia tak melakukannya.
Ia tersenyum entah pada siapa. Yang jelas, ia menikmati hembusan angin yang memainkan anak rambutnya. Terasa begitu segar nan asri, sebab kini ia berada di hamparan padang bunga yang luas.
Lagi-lagi lelaki itu tersenyum, kali ini pada objek yang ia kenal baik.
Seorang balita perempuan tengah tertawa, menatap ke arahnya. Gigi-gigi kecilnya yang kurang dari angka genap, ia pamerkan tanpa ada sebesitpun rasa keraguan. Begitu juga suara gelak tawanya yang nyaring, membuat siapapun yang melihat ikut melebarkan kurva pada bibir.
Namun senyumannya langsung memudar, lantaran sebuah pisau tipe drop point meluncur telak melewati pipi sang balita. Membentuk sebuah goresan horizontal. Balita itu lantas jatuh terlentang, dengan darah segar yang berangsur mengalir, kedua tangannya yang mungil menggapai-gapai udara, mencari sesuatu yang dapat ia jadikan pegangan.
"Papa! Towong, akit!" Balita itu berteriak, diiringi suara tangisannya yang tak kalah memilukan. Namun naas, sebuah palu godam dengan bobot 10 kg menghantam perutnya.
Nafas lelaki itu tercekat, menyaksikan secara langsung bagaimana isi perut sang balita yang keluar. Darah berceceran dimana-mana. Tidak ada lagi teriakan yang nyaring. Perlahan-lahan suara tangis mengalun lemah, juga gerakan agresif memintai pertolongan terhenti begitu saja.
Lelaki itu membelalak tak percaya. Tidakkah ada hati nurani dari sang pelaku? Membunuh anak malang yang bahkan tak tahu apa dosa dan kesalahannya. Ia menggeram, berteriak sejadinya. Menatap tajam sang pelaku yang bersembunyi dibalik kilas siluet hitam.
Berlari menghampiri dengan tergesa-gesa walau dengan tangan kosong, lelaki itu berharap setidaknya ia dapat memberikan ganjaran untuk sang pelaku biadab, minimal sebuah pukulan yang dapat mengoyakan lambung beserta mengeluarkan seluruh isinya juga.
Namun sayangnya langkah terhenti begitu saja, sebab sebuah kepala menggelinding ke arah kakinya, dan terhenti tepat di sana. Kepala yang terpisah dari badan sang balita, tergeletak dengan noda darah hampir melapis di setiap incinya. Seolah menyalahkan diri sang lelaki yang tak menghentikan aksi bringas tersebut, alih-alih gemetaran dan menjerit sekencangnya seolah teriakannya dapat menembus alam sana, segera menyusul--tidak, menggantikan arwah balita yang tak berdosa itu.
Layaknya seorang yang haus akan pertumpahan darah, siluet itu berajalan mendekat. Sang lelaki refleks melangkah mundur. Kepanikan mulai menggerogoti seluruh indra tubuhnya. Berusaha memanggil siapapun, tapi faktanya hanya ada dirinya dan siluet-- juga organ tubuh balita yang sudah terpisah dimana-mana.
Lelaki itu membelalak.
"Nii-chan... "
Lagi-lagi berteriak histeris, bukan karena ada goresan luka yang melukis indah di tubuhnya. Melainkan sebuah kepala minions menyembul tepat di depan wajahnya yang kini ternodai oleh air liur sendiri.
"Iuhh...." si empu pemilik boneka makhluk kuning tersebut, meringis dengan wajah datar, melihat betapa joroknya kelakuan sang kakak. "Kau terlalu sibuk dengan karir, ya? Lupa cara membuat keturunan, sampai-sampai mengigaui anak Ryu-nii." Menghela nafas, "Kau pedhofil? Sayang sekali, padahal aku sangat mendukungmu dengan Aimer-san-"
"Tutup mulutmu, dasar impoten!"
Hiroki berseru heboh, tak terima jikalau dirinya disebut impoten. Namun sedetik kemudian ia ingat dengan tujuannya, "Cepat keluar dari apartmenku. Tadi Kenta-san menelpon, ia bilang ingin membicarakan project single tahun baru denganmu."
Terjadi jeda untuk beberapa saat. Detik berikutnya ia lari terbirit-birit ke dalam kamar mandi.
Keran shower diputar, sepintas ia merasa tak nyaman dengan suatu hal--yang bahkan tak ia ketahui penyebabnya. Namun ia patut bersyukur, karena apa yang tadi ia lihat hanyalah sebuah mimpi.