|CHAP 4.1: Dark

42 10 0
                                    

» [Art of Silence] «
0:00 ─〇───── 4:14
⇄   ◃◃   ⅠⅠ   ▹▹   ↻
_ ______________________________

Tokyo, 18 Januari

.

.

.

Jepang berduka, kehilangan salah satu pelantun hebatnya.

Malam yang genap menepati dua minggu kini tak lagi ia gubris. Bukan hanya sedih, jelas mereka kaget, marah, dan kecewa. Tentang bagaimana sahabat karib, idola yang mereka sayangi pergi dengan cara memilukan hati. Tak ada ampun, polisi pun mulai bergerak dalam penyelidikan.

Jangankan bukti, bahkan jejak, barang satu titik pun tak mereka dapati. Terkecuali milik mendiang Kenta itu sendiri.

Shota mendengus, berdiri memandangi langit malam dari balkon rumahnya. Sebagai saksi mata yang menemukan jasad pertama kali dengan Taka, harus berapa lama ia berlarut dalam kesedihan? Bahkan langit tetap menyombongkan sinar bintang dan rembulan meski beberapa hari lalu hujan turun dengan derasnya. Yeah, bahkan alam pun ikut berduka.

'Catatan kecil untuk malam ini... '

Suara derit pintu ruangan dibuka, Shota lantas membalik badan dan masuk ke dalam. Padahal hampir tengah malam, ia tak menyangka temannya akan bertamu di jam-jam larut seperti ini.

"Aku haus. Tolong buatkan minum, Shota-kun."

Terkesan kurang ajar dan tak beretika, memang. Namun bagaimana pun itu sudah menjadi tabiat kawanya sejak lama. Bahkan dengan ringan langkah Shota berjalan ke dapur untuk memenuhinya.

Alunan melodi terlontar dari radio tua yang terletak tak jauh dari sofa ruang tamu. Meski hanya sebuah instrumen tak berkata, namun intonasinya yang sederhana dapat memacu adrenalin bagi para pendengarnya, walau di malam hari sekali pun.

Tak berselang lama Shota kembali dengan dua gelas air putih, untuk dirinya dengan si kawan. Ada alasan tersendiri baginya untuk menyuguhi benda cair tersebut, apa lagi kalau bukan karena sifat over protective terhadap masalah kesehatan, terutama wajah dan kulitnya yang harus selalu terawat dan berseri. Yeah, sebuah keberuntungan bagi Shota karena ia tak perlu repot memilih sajian yang baik baginya, hanya segelas air putih mineral pun cukup. Bahkan Taka pernah berasumsi jika sifat dan kebiasaannya yang berlebihan itu dalam beberapa tahun akan membuat wajah si kawan bening. Ya, bahkan kau bisa bercermin di sana.

Ah, rasanya tak enak jika terus menyebutnya dengan 'si tamu' atau 'si kawan'. Mari kita permudah dengan sebutan 'Zeta'.

"Bagaimana keadaanmu?" Shota membuka percakapan di antara mereka.

Ia tau jawaban dari pertanyaan itu bermaksud lain. Bukannya menjawab, "Aku baik." atau, "Aku sehat." Alih-alih Zeta justru mengucapkan, "Aku turut merasa sedih. Masih, bahkan sampai saat ini."

Jeda yang tercipta seolah membuktikan pada afeksi masing-masing, bahwa bagaimana pun kematian Kenta benar-benar mengguncang perasaan keduanya. Shota tersenyum lemah, "Yeah, aku juga."

Masih terdiam. "Aku tak akan..." Zeta memejamkan matanya dengan erat. Bibirnya terbuka dan bergetar, namun sulit baginya sepatah kata pun yang terlontar dari indra berfisik merah mudanya yang ranum. "... Memaafkan pelakunya-"

Seketika lampu rumahnya mati. Bukan hanya itu, alat pengatur suhu ruangan, radio, dan sejenisnya pun turut lumpuh dalam sekejap. Shota bangkit dari duduknya, hendak memeriksa keadaan di luar. Namun penerangan yang hanya bersumber dari rembulan dan sang kerabat yang masuk melalui jendela membuat Shota mengurungkan niatnya.

TING!

.

.

.

-|ʀᴀᴋᴛᴀ✶ˊˎ-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang