Tokyo, 19 Januari
Pagi itu, udara mengantarkan sejuk bagi para penghuni Kota Tokyo. Kicauan burung adalah paduan suara fajar yang terdengar nyaring, harum bunga memanjakan indra penciuman dan juga koloni serangga pencari nektar sebagai pelengkap atmosfer pagi hari yang cerah. Masih dalam hitungan bulan menuju musim semi, namun sepertinya alam tak perlu lagi mematuhi siklus itu. Bebas. Seperti makna dalam album Dawn yang telah ia rilis, tak ingin melewatkan pagi ini dengan begitu saja maka ia menunjukan rasa bahagianya untuk menyambut pagi ini.Seorang gadis dengan mantel polo berwarna putih berjalan meninggalkan coffee shop yang beberapa waktu lalu ia singgahi, sekedar membeli sarapan dan segelas kopi cappuccino hangat. Tentu saja untuk memulai aktivitas diperlukan tenaga yang cukup dan mood yang baik.
Tujuannya sekarang adalah apartement milik salah satu rekan kerjanya, sebut saja mereka sahabat. Selagi tangan kiri membenarkan kacamatanya yang melorot, tangan sebelah kanan terulur menghentikan sebuah taksi yang lewat di hadapannya.
"Tolong ke Chiyoda, Bangunan Ascott Marunouchi," ucapanya tanpa menoleh pada sang supir. Dering ponsel lantas menyita perhatiannya: 'Aimer, terima kasih sudah mau mengantarkan titipanku untuk Shota. Maaf sudah merepotkanmu. Aku tidak tahu jika ada rapat mendadak di studio'. Begitulah isi pesan yang ia terima dari rekan duet bermarga Moriuchi.
Tanpa berlama-lama, Aimer membalas pesan tersebut: 'Tidak apa-apa, Taka. Lagipula aku ingin memastikan keadaannya. Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju apartement Shouta.'
'Baiklah, hati-hati. Kabari aku jika sudah sampai. Sekali lagi terima kasih banyak.' Pesan terakhir dari Takahiro Moriuchi yang Aimer baca. Memalingkan wajah ke sisi kiri, melihat pemandangan jalan raya yang ramai lalu tersenyum. Bibir ranumnya terbuka untuk mengucapkan untaian gumam, "Selamat pagi semua, semoga hari kalian menyenangkan."
─┅┅┄┄*ೃ:.✧˚
Di tempat lain, Hiroki Moriuchi sedang mengantarkan bento lengkap buatan sang mama kepada salah satu rekan bandnya. "Tumben sekali kau mau turun dari kasur empukmu dengan senang hati," ujar lelaki pemegang gelar lead guitar tersebut.
Berdecak sebal, Hiroki mencebikkan bibirnya. "Ini karena mama yang menyuruhku. Lagipula aku bosan di kamar terus, kasihan juga kasur mahalku jika rusak karena terus kutiduri."
"Bocah sialan."
Sedangkan yang dirutuki hanya tertawa renyah. Tak lama setelah mereka berbincang, Hiroki memutuskan untuk segera pulang. Memang benar, tempat ternyaman untuk saat ini hanyalah kamar dan kasur. Musim dingin benar-benar mengurung raganya.
"Kenapa? Sudah rindu lagi dengan kasur mahalmu itu?" ucap lelaki gondrong bernama Teruki itu. "Ah, kau semakin kaya, Hiroki. Aku yakin investasi pulaumu sudah sangat banyak," sambungnya lebih mengejek dengan intonasi yang ditekan.
"Ya ya ya, seperti yang kau katakan. Aku sudah banyak memiliki pulau, nanti akan kuinvestasikan pulaunya di tempat tidurmu dalam waktu dekat."
"Wah kebetulan sekali, produksi air liurku tak sebanyak dirimu, Hiro."
Si bungsu Moriuchi itu menukikkan alisnya, "Teru sialan! Lihat saja, nanti akan kubuatkan pulau buatanku!" Dan setelahnya terjadi peristiwa saling lempar-melemparkan bantal sofa.
"Tolong sampaikan terima kasihku pada ibumu, makanannya sangat enak," ucap Teruki.
"Ya, nanti kusampaikan," Hiroki memakai mantelnya kemudian berpamitan untuk pulang. Menyusuri lobi hotel tanpa memperhatikan sekitar, hingga atensinya disadarkan oleh suara seorang perempuan.
"Hiroki, kau disini juga? Sedang apa?"
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
-|ʀᴀᴋᴛᴀ✶ˊˎ-
FanfictionDi tengah sudut Kota Tokyo, pemuda yang terlahir di Kota ini terbangun dari mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mencoba memutar kembali film yang dihadirkan dalam mimpinya selama sepersekian menit tadi, namun tak berhasil. Ketika s...