.
.
"Hiroki, kau disini juga? Sedang apa?"
Lelaki itu menoleh, "Ah, Aimer-san, kau mengagetkanku saja. Aku dari tempat temanku di lantai sepuluh, mengantarkan makanan dari Mama untuknya. Kau sendiri bagaimana?"
"Maaf," gadis itu tertawa renyah. "Oh begitu rupanya. Aku juga akan mengunjungi teman ku di lantai lima belas, Shota. Ada titipan juga untuk dia dari kakakmu," imbuhnya.
Hiroki berdeham mendengarnya, "Begitu, boleh aku temani? Sudah lama juga aku tidak bertemu dengannya."
Gadis berkacamata itu tersenyum dengan ramah nan manis, "Kenapa tidak?"
Di detik berikutnya, Hiroki dan Aimer melangkahkan kaki menuju kediaman Shota. Mereka membicarakan banyak hal sebagai pengisi keheningan yang menyeruak. "Tak kusangka akan bertemu denganmu disini," ucap Aimer. Senyumannya masih terlukis indah di sana.
"Ya, sepertinya kita berjodoh."
Yang digombali tertawa dengan renyah. Tak menyangka jika lelaki bungsu Moriuchi yang berusia 26 tahun ini lebih pandai dalam merayu wanita dibanding kakaknya yang berusia 32 tahun.
"Hanya dengan tiga kata itu kau tertawa? Ayolah Aimer-san, aku tidak sedang melucu."
Namun disela sela percakapan, langkah mereka terhenti kala mengetahui jika elevator sedang dalam perbaikan. Mau tidak mau mereka harus berjalan menyusuri tangga, Aimer berjalan di depan, menyisakan Hiroki yang mengekor di belakanganya. Dan lagi, Moriuchi bungsu ini masih berusaha dengan skill otodidaknya.
"Aimer-san, kalau tidak terbiasa menaiki tangga sebanyak ini pasti sangat melelahkan sekali, ya? Tapi tak apa. Ini adalah sebuah perjuangan untuk mencapai suatu tempat."
Aimer yang berjalan lebih depan hanya diam, memperhatikan perkataan yang baru saja Hiroki lontarkan. Masih menunggu apa kata selanjutnya yang akan ia ucapkan, lalu mensejajarkan langkah dengan Hiroki.
"Tapi ada yang lebih melelahkan daripada menaiki seribu anak tangga," katanya. "Yaitu berjuang mendapatkan hatimu."
Aimer mengernyit, heran dengan kelakuan Hiroki. Bagaimana bisa ia selancar ini dalam menggombali perempuan. "Aku menyesal telah menyimaknya dengan serius," Aimer kembali mengambil berjalan didepan Hiroki. "Kukira kau akan mengatakan apa."
Berjalan beriringan sambil terus mengobrol. Menghentikan langkah, tanpa sadar mereka sudah sampai di tempat tujuan. Aimer menoleh ke arah Hiroki, memberikan isyarat padanya.
"Eh?" lelaki bungsu Moriuch itu bingung. "Apa tidak masalah? Kupikir kau ingin membicarakan hal pribadi dengan Shota-san."
Gadis itu menggeleng, lantas Hiroki menekan bel. Lama tak mendapatkan respon, pintu berwarna gading itu--yang kebetulan atau tidak--tak terkunci, ia buka dengan perlahan. Menampilkan seisi unit apartment yang sepi nan kosong, namun cukup terbilang rapih untuk seorang lelaki dewasa yang lajang. Tak seperti Taka, pikir Aimer.
"Shota?" gadis itu memanggil, berjalan masuk ke dalam.
Paper bag besar ia taruh di atas meja dapur. Gadis pelantun lagu Kataomoi itu berjalan mengitari ruang tamu, menanggalkan mantelnya, kemudian menyibak gorden-gorden dan membuka pintu balkon agar ruangan itu tidak lembab.
Aimer merentangkan kedua tangannya ke udara, menghirup udara sejuk yang menyegarkannya. Menepis segala pemikiran serta argumen negatif yang sempat membebani fikirannya, gadis itu memejamkan mata, merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya.
Hiroki terdiam, mengamati satu-persatu barang milik Shota yang tersusun dengan rapih. Namun atensinya terfokuskan saat melihat secarik kertas yang berada di meja dekat sofa. Ia berjalan mendekat, meraih benda tersebut. Kertas itu berukuran kecil dengan satu simetri lipat, Hiroki membukanya. Ada sebuah tulisan di sana.
「
F5 SNXXD MVGA3
」
Hiroki berjengit, bersamaan dengan teriakan histeris Aimer yang menyapa gendang telinganya. Lelaki itu lantas mengantungi benda yang ia pegang, kemudian berjalan cepat ke balkon.
Belum sempat mulutnya bersua, pandangan Hiroki lantas terkunci pada keramaian di bawah sana.
Garis polisi menjadi pusat itaran orang-orang yang berada di sana, sesekali mendongak dan menunjuk ke balkon tempat ia berdiri. Mobil dari oknum medis dan segala tektek bengeknya sudah pergi menjauh sejak beberapa jam yang lalu, tapi keriuhan dari penduduk setempat masih saja menyeruak. Kaki Hiroki melemas, seolah ada tarikkan imajinatif yang membuatnya hampir jatuh terduduk.
Aimer? Tubuh gadis itu bergetar. Satu tangannya menutupi mulut, mencoba menahan diri untuk tidak menjerit sejadinya, walau bulir bening itu tak dapat lagi ia bendung.
Keduanya berharap. Dengan segenap utuh dari perasaan mereka yang terdalam, berharapa apa yang mereka lihat saat ini tak seperti apa yang ada di kepala keduanya. Juga berharap tak ada kena-mengenanya tentang kejadian tempo hari lalu. Berharap, benar-benar berharap. Dan beberapa saat setelahnya, keduanya digiring oleh pihak keamanan.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
-|ʀᴀᴋᴛᴀ✶ˊˎ-
FanfictionDi tengah sudut Kota Tokyo, pemuda yang terlahir di Kota ini terbangun dari mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mencoba memutar kembali film yang dihadirkan dalam mimpinya selama sepersekian menit tadi, namun tak berhasil. Ketika s...