Malam ini aku terjebak di tengah-tengah kerusuhan yang sedang terjadi. Seharusnya aku sudah sampai di rumah, andai saja Bona tidak memaksaku melakukan kencan dengan lelaki yang dia anggap sangat bertanggung jawab dan sangat serasa denganku. Sekarang ke mana lelaki bertanggung jawab itu di tengah-tengah kerusuhan ini. Bukannya melindungiku dia malah berlari menyelamatkan dirinya sendiri.
"Lelaki sialan!" murkaku sembari melindungi diri dari kericuhan.
Aku bagaikan anak ayam yang mengikuti induknya, ke mana pun orang-orang itu berlari aku akan mengikuti. Pokoknya aku harus berada di sekumpulan orang jika ingin pulang dengan selamat.
Beberapa pihak polisi sudah mencoba membubarkan masa dengan menyemprotkan sesuatu yang tidak ku ketahui namanya. Tapi mampu membuat mata siapa pun perih, sepertiku saat ini.
Mata yang terasa perih serta banyaknya kepulan asap membuat penglihatanku tidak begitu baik. Aku bahkan sampai tertinggal sekumpulan orang itu karena terlalu serius mengusap mata.
Setelah dirasa lebih baik, aku menatap sekeliling dan terkejut begitu menyadari aku sedang berdiri di antara kepolisian dan sekelompok mahasiswa yang mengajukan protes. Astaga, bagaimana bisa.
"Sialan!"
Mataku melebar seketika begitu melihat seorang mahasiswa melempar bom molotov ke arah polisi. Lemparan yang tidak begitu kuat membuat bom itu malah jatuh tepat di depan kakiku.
Melihat asap yang keluar membuat lututku lemas seketika. Seluruh sendiku tak bisa di gerakan. Aku terlalu terpaku dengan bom itu. Apa yang akan terjadi jika bom itu meledai tepat di depanku? Apakah aku akan mati? Atau hidup dengan bekas luka bakar memenuhi tubuh? Jika diberi pilihan tentu saja aku memilih opsi pertama.
"Ayah, ibu, semoga kita bertemu di alam sa-" ucapanku terpotong begitu seseorang menarik tubuhku menjauh dari bom yang akan meledak itu.
"Kau gila! Bukannya berlari menjauh malah berdiri diam seperti itu! Kalau ingin bunuh diri jangan begitu, sini kuajarkan."
Aku yang masih terkejut dengan apa yang terjadi hanya bisa diam. Aku masih bingung apa yang sedang kualami ini. Semua terjadi begitu cepat. Andai saja dia tak menarikku menjauh mungkin saat ini tubuhku akan terkena percikan api.
"Aku ... aku selamat?" tanyaku dengan tatapan kosong.
"Ya," jawab seseorang itu, "sekarang lebih baik kau kuantar pulang. Kondisi di sini sudah semakin tak terkendali," lanjutnya.
Jika biasanya aku akan menolak diantar pulang oleh orang tak dikenal, tapi pengecualian hari ini. Aku terlalu takut pulang sendiri.
"Ayo, berdiri."
Setelah kuamati, sepertinya aku pernah bertemu dengan orang yang menyelamatkanku tadi, tapi aku bingung di mana. Salahkan saja ingatanku yang tak begitu tajam.
"Kita pernah bertemu?" Aku bertanya di sela-sela perjalanan pulang. Saat ini kami telah berada cukup jauh dari tempat kekacauan, ntah bagaimana caranya membawaku ke sini.
"Kau lupa?" Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah balik bertanya, menyebalkan. Tidakkah dia tinggal menjawab ya atau tidak.
"Bukankah saat itu aku telah menyuruhmu mengingat namaku baik-baik?" lanjutnya.
Menelengkan kepala, aku menoleh ke samping dan mencoba mengenali wajahnya, tapi sampai menit ke satu tetap saja aku tak dapat mengingatnya. Di mana kami bertemu dan kapan. Aku benar-benar tak bisa merabanya.
"Kau benar-benar lupa?" tanyanya sekali lagi.
Aku mengangguk tidak yakin. Aku memang seperti mengenali wajahnya, tapi tidak yakin apakah kami memang benar-benar bertemu atau hanya pemikiranku saja. "Ya."
Lelaki itu menarik nafas pelan dan menghentikan langkah yang otomatis kuikuti. "Ada apa?"
"Tidak ada, ayok."
Setelah mengatakan itu kami tidak lagi terlibat percakapan. Aku yang tadinya ingin membuka suara, tetapi tertahan begitu melihat wajahnya yang tampak tidak enak dilihat. Aku tidak berbohong, sungguh. Wajahnya benar-benar tidak enak dilihat.
Daripada melihat wajahnya, aku lebih baik memilih melihat jalanan saja. Setidaknya jalanan tidak mengeluarkan aura permusuhan yang begitu kuat.
"Sampai," ucapnya kembali buka suara. Aku yang sejak tadi jalan menunduk, kini mendongak dan baru menyadari bahwa kami telah sampai di rumahku.
Aku menatapnya bingung, bagaimana bisa dia mengetahui rumahku tanpa diberi tahu. "Kau tahu rumahku?"
Bukannya menjawab dia malah menatapku datar dan mengeluarkan sesuatu dari saku jeans-nya. "Ini." Dia menyerahkan kotak kecil ke tanganku yang kosong.
"Buka saja. Kuharap setelah itu kau dapat mengingatku."
"Tapi ini apa?" tanyaku. Tidak mungkin bukan dia memberiku cincin, bukan?
"Aku pergi dulu." Pamitnya tanpa bisa dicegah.
Mengendikkan bahu, aku membalikkan badan begitu punggung tegap lelaki itu telah hilang di persimpangan jalan. Masuk ke dalam rumah, aku menghidupkan lampu rumah sebelum membersihkan diri. Setelah selesai aku mengambil kotak kecil pemberian lelaki itu.
"Fortune cookies?" tanyaku pada diri sendiri. Untuk apa dia memberikanku ini, apakah ada hubungannya dengan pertemuan kami yang telah kulupakan?
Aku mencoba menggali kembali ingatan yang terdahulu, tapi sampai saat ini belum juga dapat mengingatnya. "Fortune cookies," gumamku sekali lagi.
Mataku membola begitu dapat mengingatnya kembali. Rupanya lelaki itu adalah orang yang saat itu menarikku keluar antrean dan berkata tidak jelas. Bagaimana bisa kami kembali bertemu dan yang paling penting-sejujurnya aku hampir melupakan ini-bagaimana dia tahu letak rumahku.
Lelaki itu sepertinya berbahaya. Aku harus mengambil jarak dengannya.
-tbc-
_____________________
Ini kayanya lima sampai empat part baru selesai, nggak papa, 'kan? Tanganku udah gatel mau update. Lagian kalau dijadi satu aku takut kalian kelamaan nunggu.
Oh ya, kalian tau bom molotov kaya gimana, 'kan? Kalau nggak tau bisa lihat di google, ya.
Fyi. Buat bom molotov itu gampang guys, bahan-bahannya juga banyak di sekitar kita 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Vsoo(One Shoot)
Historia CortaOne shoot/two shoot Update tergantung mood yaa Cover // ig babiessi