Sepanjang perjalanan dari studio musik ke dorm Dream, Jisung terus memikirkan Dasha. Selama pendengarannya masih berfungsi dengan baik, ia mampu menangkap beberapa pembicaraan Mark dan managernya tadi tentang beberapa tekanan yang diberikan oleh semua orang.
Jisung jadi ingat, duluuu sekali, saat masa-masa collab, mereka sering menghabiskan waktu bersama, Dasha pernah bilang bahwa ... rasanya semua perkataan orang yang dilontarkan padanya sangat berpengaruh.
Kemarin juga sempat membaca beberapa komentar masuk ke postingannya, terdengar begitu jahat. Jisung sendiri pun tidak yakin, kalau ia yang ada di posisi Dasha akan bisa bersikap bodoamat.
Jika di titik sekarang, bersikap bodoamat bukanlah hal yang mudah seperti mengedipkan sebelah mata.
Tinggal satu langkah lagi ia berbelok ke jalan dorm Dreamies, tapi langkahnya terhenti begitu saja. Seperti ada sinyal negatif yang menyengat dalam tubuhnya. Jisung membalikkan badannya dan berlari ke arah yang berlawanan, menuju halte untuk pergi ke apartemen Dasha.
"Nuna, kau baik-baik saja, bukan?" gumam Jisung.
***
Sesampainya di halte, hatinya terus gelisah. Bis tak kunjung datang, sementara cuaca mulai mendung. Jisung menghentakkan kakinya perlahan sambil terus-terusan melihat ke jam tangan.
Kedua wanita di sampingnya terus sibuk dengan ponsel mereka, syukurlah mereka tidak mengetahui fakta bahwa yang berdiri di sampingnya itu adalah Jisung.
"Kau tahu, kan berita tentang Dasha dari Revee?" tanya salah satu yang berbadan lebih besar dari yang satunya memecah keheningan. "Tentu saja, si dia. Aku dengar-dengar, ia juga pernah dekat dengan Taeyong. Apa dia mau cari perhatian? wanita gatal." Sahut yang lain membuat Jisung yang mendengarnya mengerutkan kening.
"Tentu saja, cari perhatian. Aku kurang suka degan cara bicara dan penampilannya. Dia make up-nya terlalu dewasa dan terlihat tua, badannya juga gemuk untuk ukuran idol Korea. Yahh, kau tahu, kan?"
Temannya yang satu lagi mengangguk antusias, "Bajunya terlalu terbuka, harusnya dia sekalian telanjang hahahahahahah. Dasha itu sampah, menjijikkan."
Jisung menunduk, memandangi kedua sepatunya sambil terus menguping pembinaan dua orang gila di dekatnya. Ia jadi membayangkan bagaimana sakitnya ia bila mendengar semua ocehan tidak berguna ini.
Setidaknya sebelum Jisung memasuki bis yang lewat setelah sangat lama, ia menoleh menatap dua gadis yang sibuk menertawakan Dasha. Menertawakan orang yang lebih baik dari mereka.
"Kalau kalian jadi Dasha Nuna, kalian jauh dari sampah. Jauhh menjijikkan. Camkan itu," tegas Jisung seraya mengacungkan jari telunjuknya.
Mereka diam di tempat, setelah Jisung duduk di salah satu bangku, salah seorang mereka berbisik. "I-itu tadi Kim Jisung ENCT? s-serius? kita sudah bicara yang tidak-tidak-"
"Cih, mana mungkin Jisung naik kendaraan umum ... "
***
"NUNA! APAKAH KA-tunggu, pintunya tidak dikunci?" Jisung merendahkan not suaranya saat ia mendapati pintu terbuka sempurna saat ia mendorongnya.
Chat Jisung tidak dibalas, bahkan tidak terkirim. Sekarang pintunya tidak dikunci sama sekali?
Jisung melangkah perlahan, ruang tengah yang biasanya terasa hidup dengan alunan lagu jazz dan cahaya terang dari gorden yang dibuka terasa semu. Hanya gulita yang ia temu. Jisung berjalan sedikit lamat. Bau wine menyengat sekali.
Memeriksa seluruh ruangan yang tampak layu, Jisung mendengar suara isakan dari satu kamar yang sedikit terbuka pintunya. Seseorang terduduk dilantai dengan tertunduk. Dari suaranya, bukankah itu Dasha?
"Dasha Nuna, kau di sana?" suara Jisung mencerminkan kecemasan, karena ia sadar bahwa sebuah tali tergeletak di lantai.
"Jisung-aa ... kau ... kenapa datang?"
Yang membuat Jisung seakan keram adalah wajah Dasha yang penuh air mata dan sebuah tali yang melingkar di lehernya. Jisung menutup mulut tak percaya, lalu dengan segala kekhawatirannya, ia langsung berlari mendekati Dasha dan menatapnya sedih.
"Nuna, apa yang kau lakukan?! Apa kau tidak tahu kalau ini sangat berbahaya eoh?!" Jisung berusaha untuk melepas ikatan di leher Dasha. Ia meringis pelan, kenapa itu sangatlah susah?
Dasha mulai menangis, terisak pelan, "Jisung, aku lelah ... aku sudah lelah mendengarkan semua perkataan mereka, tolong aku ... " suaranya bergetar, kedua tangan yang semakin kurus itu menyangga tubuhnya yang sudah lemah.
"Aku ... ingin pergi-"
"Jangan katakan itu," Jisung tanpa ragu merengkuh tubuh Dasha, mengusap pelan punggungnya, berharap perasaan tenang ikut memeluk.
Tanpa ragu, Dasha pun membalas pelukan Jisung, memejamkan mata dan menangis di sana. "Aku tidak ingin membuat mereka semua repot dan khawatir gara-gara aku ada. Jisung, aku harus apa?" suaranya memelan, tangisannya semakin menjadi.
Jisung terdiam, ia tidak bisa menjawab barang satu kata. Pikirannya terlalu cepat mejelajah, apa sebenarnya yang terjadi? apa Dasha benar-benar mencoba untuk bunuh diri?
"Semuanya akan baik-baik saja apabila aku tidak ada, bukan?"
"Jisung? aku benar, kan?"
"Jisung, jawab-"
"Semua akan lebih baik bila Nuna pergi, semua akan lebih baik bila Nuna pergi ... " beo Jisung, "apakah kau tidak pernah mengerti bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang sangat berarti di hidupmu? pikirkan para fans, semua sahabatmu, dan keluargamu di sana. Mereka menantimu, kami menantimu."
"Pasti kau akan mengerti bagaimana rasa sakitnya hatimu saat salah satu kesalahan yang kau buat tidak bisa dikembalikan lagi. Seperti sengaja membiarkan kapur barus melebur,"
"Meski meninggalkan bekas aroma yang wangi, namun raganya tak pernah bisa kau peluk lagi. Seperti satu bagiannya hilang, seperti salah satu member Revee hilang misalnya," Jisung terus bercerita.
Anak itu menghirup oksigen dalam-dalam, "Tidak akan ada lagi yang sama jika satu-satunya itu pergi. Nuna, kematian itu bukan sesuatu yang mudah, jadi tolong hiduplah lebih lama lagi. Untuk mereka semua, yang kau sayangi, dan yang menyayangi."
Dasha menghentikan tangisannya secara perlahan ... meremat pelan jaket Jisung sambil terus menunduk. "Tapi Jisung ... kenapa kau mengatakan ini padaku?"
"Karena aku salah satunya yang menyayangimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
capitulate.
Fanfiction[ lengkap, segera terbit ] ft. 마크 리; mark lee ❩❩ jikalau yang akrab engkau sebut masa depan itu adalah keberadaan kita dibumi dibawah rintiknya hujan, maka kau butuh sebuah penghapus, usap kertasmu dan katakan selamat tinggal, sampai jumpa di kehidu...