Setelah mengucapkan terimakasih pada segenap panitia, akhirnya datang juga waktu yang Dasha tunggu. Yaitu pulang ke dorm pada jam satu malam. Tentu saja dengan Joy.
Sudah tradisi, pasti tubuhnya mau lepas.
Dasha sudah pasti mengeluh, "Ahh, coba saja bisa lepas pasang seperti mainan lego, pasti sudah hilang rasa sakitnnya."
"Ah, mau makan ayam dulu?" Tawar Joy tiba-tiba, Dasha menatap nya lesu. "Tidak, aku lelah, kalau kau ingin, tidak apa-apa, tinggalkan aku di sini." Dasha membentuk kata 'ok' dengan jari. Joy mendesah pelan merasakan anak kecil sepertinya.
"Haishh, mana bisaa. Bocah sepertimu harus dikawal sampai rebahan di kasur. Ayo, cepat jalannya, nanti kau tidak bisa istirahat cukup," lalu ia mendorong-dorong punggung Dasha, anak itu yang makin tertekan berdecak kesal,"Iya, iya, sabarrr."
Dasha berjalan dengan setengah tenaga nya, sisa sisa hari ini harus di cukup-cukup kan. Tentu saja setengahnya lagi dari Joy yang mendorong. Heran, kenapa tenaganya unlimited sekali?
Dorm mereka tidak jauh, tinggal naik lift saja sebenarnya, tapi lorongnya itu seperti tidak ada habisnya.
Dasha bersenandung pelan untuk memghilangkan rasa kantuk, sambil sesekali memainkan rambut yang sudah kusut. Di tengah-tengah lift, ia mulai membuka percakapan, "Sebentar lagi rambut kita akan berganti warna, ya? aku belum pernah mewarnai rambut. Sejauh ini selama comeback, rambutku selalu hitam."
Joy menatap Dasha heran, "kau masih di bawah umur—eh, tidak tahu juga, ya. Banyak, kok yang sudah mewarnai rambut. Tapi aku bersumpah, itu menyiksa. Rasanya sakit sekali," kata Joy sambil menekan setiap kata.
Dasha lalu berdecak sebal mendengar nya, "Jangan menakut-nakuti. Aku sudah takut dengan melihatnya wajahmu, jangan begitu, dong!" Marah anak itu, kemudian Joy tertawa lepas diantara keheningan gedung. "Siapa yang menakut-nakuti, hm? aku hanya berbicara fakta. Lagipula tenang saja, kau setelah itu akan cantik."
Sedih. Dipikir-pikir memang benar, cantik itu harus berani sakit. Dengan operasi plastik atau treatment ekstrim misalnya. Ah, makannya, jangan mau jadi cantik.
Tak terasa, langkah kaki cepat keduanya membawa di depan pintu putih tempat mereka menulis kegiatan. Dasha masuk ke dalam, lalu memandang sang kakak.
"Sudah sampai. Di dalam ada Wendy, kau tidur dulu dengannya, aku ingin beli ayam," tuturnya sambil mendorong punggung Dasha agar masuk lebih dalam.
"Tunggu dulu. Malam-malam begini? bukannya itu aneh? di jalan banyak orang mabuk, tahu," kata Dasja sambil memasang wajah cemas. Joy berdecak, sambil mengipaskan tangan menghiraukan, "Ah, itukan menurut mu aneh. Tenang, hanya di depan sana. Zaman sudah canggih, D, aku tidak benar-benar turun ke jalanan." Ucapnya sambil berlalu tanpa menatap Dasha.
Dasha mendesah pasrah, melepas sepatu dan menutup pintu dari dalam. Rasanya sunyi sekali. Sepertinya semua orang sudah tidur. Tubuhnya langsung disambut rasa hangat di dalam dorm. Anak itu kemudian melepas mantel tebal nya, lalu menggantung di belakang pintu, seperti biasanya.
Sudah jam satu lewat sepuluh dini hari. Jujur, tubuh nya sakit namun tidak mengantuk. Aneh, rasanya seperti ada sesuatu yang di lewatkan hari ini. Tapi ... apa?
"Hai, Dasha. Sudah pulang, ya?"
Sambutan selanjutnya adalah Irene. Dia pemimpin grup, yang paling tua dan yang paling peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
capitulate.
Fanfiction[ lengkap, segera terbit ] ft. 마크 리; mark lee ❩❩ jikalau yang akrab engkau sebut masa depan itu adalah keberadaan kita dibumi dibawah rintiknya hujan, maka kau butuh sebuah penghapus, usap kertasmu dan katakan selamat tinggal, sampai jumpa di kehidu...