26. Don't Leave Me Alone

189 21 6
                                    

Mark hari ini pulang ke Toronto, dengan alasan tahun baru, dan merayakan natal di rumah. Membayangkannya saja sudah membuat hati terasa tenang.

Dasha harusnya ikut pulang ke Toronto jika saja jadwalnya dengan pemotretan majalah tidak bertabrakan.

Agensi sudah memperbolehkannya, karena jadwal yang mulai longgar. Tiket pun sudah di dapatkan, tapi di sisi lain Dasha cemas bukan main.

Saat ini sendiri, Dasha membantu Mark mengemasi beberapa barang di rumahnya siang siang begini. Tapi mau bagaimana rasanya juga, perasaan anak itu tidak tenang. Ia terus-terusan melamun dan sulit untuk mendapatkan fokus.

"Are you okay?" tanya Mark tiba-tiba, membuatnya sedikit terkejut meski tak disampaikan lewat gerakan.

Dasha terus-terusan menghela nafas dan menyisir rambut dengan tangan. Ia gelisah, entah ada apa dengannya dan hari ini, dengan lantang ia ungkapkan lagi pada dirinya sendiri, perasaan ini sedari tadi benar-benar tidak enak.

"Dasha, kau dengar aku?"

"Dasha?"

"Dasha!"

Dasha langsung menoleh ke arah Mark yang sudah memegangi pundaknya agak kasar, "Kenapa?" tanya dia lirih. Kini giliran Mark yang menghela nafas, sambil berkacak pinggang.

"Kau yang kenapa. Ada apa?" ucapnya serius, dengan mata yang menatap temannya, juga alis yang agak naik. Dasha memainkan kuku jari, "Aku ingin bilang bahwa aku tidak tahu mengapa aku seperti ini, tapi aku punya satu permintaan,"

Mark menaikkan dagunya seolah bertanya 'ada apa?'

Kira-kira begitu, Dasha pun ragu dan tidak punya kata-kata yang pas untuk bicara.

"Tapi ... bisa tidak kau jangan pergi hari ini?"

Kalimat praktis yang membuat alis Mark tak lagi tinggi dan lagi-lagi ia mendesah gelisah, "Mark, aku tahu ini tidak mudah untuk mendapatkan semua kesempatan, tapi kau bisa menundanya setidaknya sampai besok saja." Tutur Dasha penuh kejujuran.

Mark masih belum menyahut.

"Aku benar, kan? seharusnya kau masih bisa berangkat besok. Kalaupun kau berangkat hari ini, tak mungkin pulang ke Korea besok," tegas Dasha. Mark lagi-lagi tak ikut berbicara, ia masih membisu. Ia raih tangan yang kini lebih besar dari miliknya dan menggegam hangat saat seperti di cafe waktu tempat mereka bertemu setelah sekian lama.

"Ku mohon, aku akan membantumu dalam segala hal jika kau menundanya. Perasaanku bilang ada yang tidak beres dengan kau dan hari ini." Dasha menyandarkan tubuhnya yang duduk di lantai ke tembok apartmen Mark, Mark juga melakukan hal yang sama.

Setelah selang beberapa menit mereka tak saling menutur, Mark dengan suara beratnya bilang, "Bukan masalah izin lagi, Dasha." Suaranya lemas, ini membuat Dasha tambah khawatir.

"Lantas?" ia dengan antusias menunggu jawabannya. Mark melepas topinya, "Ibumu, lusa peringatan dua tahun ia meninggal."

Deg.

"Perjalanan dari Seoul ke Toronto setidaknya memerlukan waktu lima belas jam. Aku akan kelelahan, kau tahu, kan?"

Mendengarnya, Dasha langsung membuang muka. Anak itu masih belum mengerti.

Ibu.

Ibunya meninggal.

"Kenapa?" tanya Dssha berusaha mati-matian menahan tangis. Mark menatapnya prihatin, penuh kepahitan, tak lagi melakukan kontak fisik, genggaman Dasha di tangannya mulai lepas.

Dasha berusaha tersenyum walau tak dapat dipungkiri, ia sangat cemas. "Mark, Ibu baik-baik saja. Kau bercanda, bukan?"

"Aku sungguh minta maaf," Mark menundukkan kepalanya, wajahnya kusut, sangat kusut. Sedangkan Dasha, kini air mata ada di seluruh penjuru wajahnya, setiap ia mengusapnya, benda itu akan datang lagi membawa yang baru. Ini begitu menyakitkan.

"Kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal? kenapa, Mark?" Dasha mengatakan semuanya penuh tekanan. Ia benar-benar tidak mengetahui bagaimana kabar orang-orang di sana, Dasha tak lagi terhubung dengan siapapun dan orang ini, Mark Lee ... dia sungguh membuatnya kecewa.

Dasha belum sempat mengucapkan kata-kata manis, setidaknya berterimakasih atas semua kasih sayangnya selama ini. Ini jahat, bahkan Ibunya telah berpulang dua tahun lalu. Dan Dasha sama sekali tidak mengetahui sedikitpun tentang itu.

Membeku saat itu juga. Mulutnya terkunci tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Untuk sekarang ia benar-benar ingin marah pada siapa saja.

Dasha menangis tersedu-sedu, tangisan paling menyedihkan yang pernah dilakukannya selama ini. Suaranya makin parau, hatinya bagai pecah berkeping-keping.

"Kau bukan Mark Lee yang aku kenal."

"Kau bukan temanku yang dulu, kau bukan."

Dasha menutup mulut menahan teriakkan, menggelengkan kepala tak percaya lalu berdiri meninggalkan Mark dengan sejuta rasa bersalah. Ia selama itu terus memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Memikirkan semua hal-hal buruk yang akan Mark alami, juga memikirkan apa yang terjadi sebenarnya pada Ibunya.

Dasha menangis sekencang-kencangnya di sana, tak peduli bagaimana orang berpikir dan bertanya-tanya ada masalah apa dengan anak itu, yang Dasha inginkan saat itu juga hanyalah menangis.

Di tengah segala langkah besarnya menyusuri koridor apartmen, kakinya melemas begitu saja.

Dasha meremat rok panjangnya, menunduk tak berdaya sambil terus memikirkan wanita paling berharga yang hadir di hidupnya. Ia harus pulang, ia ingin, tapi ia tidak bisa!

"Ibu ... maafkan aku,"

Bahkan kekuatannya untuk sekedar menghapus air mata tak lagi ada, semuanya hilang begitu saja.

Tiba-tiba ia rasakan kedua lengan yang dikenalnya melingkari tubuh itu dengan kehangatan. Mark ... Lee.

"Aku sungguh minta maaf," ucapnya penuh penyesalan. Dasha sebenarnya sangat ingin memukul wajahnya saat itu juga.

"Tapi ini pesan Ibumu untukku. Untuk tetap merahasiakannya, kau pasti akan terganggu. Kau sibuk, Ibumu khawatir akan semua kecemasanmu yang kemungkinan akan datang. Jadi aku diam. Maaf ... "

"TAPI KENAPA?!" teriak Dasha langsung di depannya.

Mark diam, menggeleng pelan, "Aku tidak akan pernah tahu."

Tangisnya semakin pecah, dada itu begitu sesak mendengar semua penuturan dan semua permintaan maafnya.

Dasha seperti tak lagi punya semangat hidup.

"Kau kira untuk apa aku di sini? kau kira untuk apa aku rela mati-matian meninggalkan cita-cita ku sebagai seorang penulis? untukmu, untuk Ibumu, untuk melindungimu. Mereka sayang padamu, aku sayang padamu." Jelas Mark. Dasha menghela nafas ... dejavu.

Kini hanya ada sesegukan lirih dari Dasha, ia perlahan mulai bisa menenangkan diri sendiri. Pelukan Mark makin nyata terasa, membuatnya secara tak sadar menenggelamkan wajah penuh air mata ini di dadanya yang hangat.

"Kau bisa menenangkan dirimu lebih dulu," katanya sambil berbisik, Dasha masih terdiam, "Maafkan aku jika tadi menyakitimu." Jawab Dasha penuh makna.

Mark tidak menggubrisnya, ia lebih memilih untuk mengusap kepala sahabatnya, menenangkannya saat itu. "Aku mengerti apa yang kau rasakan, ku harap rasa sakit ini tak berlama-lama kau rasakan. Tenanglah."

Kini yang bisa didengar hanyalah deru nafas juga detak jantung masing-masing. Kini yang bisa dirasakan hanyalah kehangatan.

Berpelukan di lantai koridor, menyuruh setiap orang yang lewat untuk tetap tenang ...

Kau indah sekali, Mark.

capitulate.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang