"You okay?"
Dasha mengangguk lemas. Sudah berkali-kali Mark menanyakan hal yang sama, padahal jawabannya pun akan sama pula. "Aku tidak apa-apa,"
Jisung di samping Mark menelan ludah, atmosfernya begitu canggung, bahkan tidak ada yang berniat tersenyum sedikitpun. Jisung menatap Dasha prihatin, ia sedang memandangi lemari usang di depannya tanpa ekspresi.
"Aku benci diriku sendiri," lirih Dasha tetap pada tujuan mata yang sama, membuat Jisung dan Mark mengerutkan kening.
"Aku benci diriku sendiri yang terlalu terobsesi dengan perkataan orang lain. Mereka bilang aku harus mati, kan? jadi aku-"
"Harus tetap hidup," tegas Mark. "Mau sampai kapan, Dasha? mau sampai kapan kau akan terus terkurung di dalam situasi buruk seperti ini? kau harus bangkit."
Jisung mulai buka suara membela Mark. "Nuna, jika mereka bisa membicarakanmu yang tidak-tidak, kenapa kau tidak bisa?"
Dasha menggeleng lemah, "Jangan, jika aku membalas semuanya itu artinya aku sama buruknya dengan mereka. Aku tidak akan melakukan hal bodoh itu."
"Jadi cara berpikir Nuna seperti itu, ya? lalu apa kau berpikir bunuh diri adalah tindakan yang tepat?"
Mark terkejut, "Jisung, berhenti ... "
"Hyung kenapa? aku benar, bukan? jika kau bunuh diri, mereka akan sangat puas dan bahagia. Jika kau menderita, mereka akan terus melakukan hal-hal buruk itu padamu. Nuna senang kalah? apakah ini Dasha Nuna yang aku kenal dulu?"
Bukan Dasha yang tersentuh, di sini malah Mark. Namun Dasha menoleh ke arah mereka berdua perlahan, lalu tertawa kecil sambil memandangi tubuhnya di cermin, "Aku juga tidak kenal siapa ini."
"Dasha, Jisung benar. Apa kau ingin berhenti disini saja? apakah semangatmu benar-benar lenyap?"
Hal yang barusan hanya Dasha angguki saja. Tidak tahu akan ia turuti atau tidak, yang jelas akan sangat dipertimbangkan. Mereka berdua benar, khususnya Jisung.
Dasha mengerti meski cara bicaranya sedikit kasar dan agak kekanakan, ia sebenarnya peduli. Hampir sama dengan Wendy, tapi Jisung lebih asal bicara.
"Kalian ... tidak mau pulang saja? aku ingin tidur," ujar Dasha kemudian menatap mata mereka bergantian.
Mark dan Jisung akhirnya sepakat setelah berpamitan sebentar. Mereka mengerti bagaimana perasaan Dasha saat itu, jadi mau tidak mau, kan?
Kepergian mereka kembali membawa sepi kedalam jiwa Dasha. Ia ingat, tidak ada kabar sama sekali tentang penjualan album mereka. Fansign juga tidak ada pemberitahuan.
"Benar-benar tidak lagi gara-gara skandal ini? tch. Nasibmu buruk sekali, hahah."
Dasha's Diary.
Hari ini rasanya biru sekali, tapi terimakasih banyak untuk Kim Jisung yang sudah menyelamatkanku sampai aku masih bernafas sekarang. Aku sadar akan sesuatu sekarang, dunia masih berjalan dan ini bukanlah giliranku untuk meninggalkan bumi.
Meski wajahku masih murung, tapi hatiku rasanya jauh lebih baik dari sebelumnya.
Semuanya,
Ini bukan tentang seberapa besar cinta yang kita dapat, tapi tentang seberapa sering kita bersyukur.***
"Hyung, kau baik-baik saja?" tanya Jisung yang merasa curiga karena wajah Mark sangat kusut semenjak kepulangan mereka dari apartemen Dasha.
"Aku hanya merasa bersalah. Harusnya aku juga ada disaat dia sedih seperti itu,"
Jisung tersenyum simpul lalu menepuk pundak Kakaknya, "Hyung, tidak apa-apa. Harusnya kau belajar dari sini, kemana saja kau saat Mina Nuna membutuhkanmu selama ini? kalian belum putus, bukan?"
Mark menelan ludah, benar ucap Jisung. Ia sudah melupakan Mina semenjak hari ulangtahunnya itu, Dasha menggeser posisi Mina meski hubungan mereka jelas-jelas berbeda.
"Jadi ... aku harus menemuinya sekarang?" tanya Mark sambil memasukan kedua tangannya di jaket, sedangkan Jisung masih terfokuskan dengan suasana malam yang lumayan cerah "Tentu saja." Jawabnya singkat.
"Kalau begitu, kau pulang saja terlebih dahulu, aku akan menemui Min-"
"Tidak perlu, Mark."
Mark menoleh kebelakang, dunianya seakan runtuh saat Mina menatapnya dengan wajah yang penuh dengan air mata dan plester di wajahnya.
Tas merah muda yang selalu ia bawa saat kursus, Mina ... tetaplah orang yang sama.
"Mina, wajahmu kenapa?" Mark mencoba mendekati kekasihnya perlahan, namun naas, tangan Mina dengan cepat mendorong bahu Mark agar lelaki itu seger menjauh.
"Jangan tanya ini kenapa. Sekarang jawab aku, kau anggap aku ini apa?" suara Mina dengan volume kecil, degup jantungnya sangat cepat. Mark tidak mampu menjawabnya, ia masih terdiam.
"Aku percaya Mark jika kau dan Dasha hanyalah seorang sahabat. Tapi kau mencintainya, kan? kau mencintainya tapi kau tidak ingin meninggalkanku begitu saja, bukan?" Mina kembali menangis di hadapan Mark, untuk kedua kalinya.
"Kehilangan sahabat masa kecil, bukanlah sesuatu yang kecil ... tapi kehilangan rasa cinta dari orang terkasih jauh lebih besar rasanya. Saat kau mulai menemuinya, semuanya berubah. Kau tidak pernah mengirimiku pesan lagi walau kau sedang libur. Padahal kau selalu melakukannya setiap hari bukan, dulu?" lanjut Mina, Mark masih terdiam, memilih untuk menyimak dengan kepala tertunduk.
"Mark, aku sibuk, aku sibuk! Kita ini seorang idol! Jika kau berhenti melakukan kebiasaanmu yang membuatku tersenyum itu adalah karena bukan aku yang memulainya duluan, jawabanku karena aku sibuk! Kau ... apa?" Mina menatap Mark dengan wajah penuh amarah.
Mark mencoba meraih tangan kanan Mina, tangan yang selalu ia genggam dulu. "Dengar, aku-"
"Aku tidak mau mendengar apapun, aku tidak mau. Kita berhenti sampai disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
capitulate.
Fanfiction[ lengkap, segera terbit ] ft. 마크 리; mark lee ❩❩ jikalau yang akrab engkau sebut masa depan itu adalah keberadaan kita dibumi dibawah rintiknya hujan, maka kau butuh sebuah penghapus, usap kertasmu dan katakan selamat tinggal, sampai jumpa di kehidu...