Merindukan Hujan

320 29 1
                                    

Sebulan kemudian.

"Kak Aya!" panggil Bunga-adik sepupuku.

Aku melangkah mendekatinya. "Ada apa?"

"Yuk, kita makan! Bunga sudah lapar," ajaknya.

Aku menuruti ajakannya. Setelah membayar barang belanjaan dan memasukkan semuanya ke dalam mobil, kami pergi menuju restoran langganan.

Kami duduk di tempat yang tidak jauh dengan jendela. Kupandangi jalanan yang basah karena habis diguyur hujan dengan cukup lebat. Awan masih menyisakan rintik kecil. Sudah lama jalanan itu tidak terkena air. Pasti dia sudah sangat merindukan hujan untuk memberikan kesejukan kembali.

Aku menganalogikan kejadian itu dengan kehidupan saat ini, yang sangat merindukan kehadiran buah hati. Kalau saja Tuhan berkenan menitipkannya lagi, pasti akan aku jaga sepenuh raga dan jiwa. Tidak akan aku biarkan dia hilang lagi.

Bunga melangkah membawakan dua botol air mineral. Dia duduk di hadapanku dan mengikat rambut yang panjang sebahu itu dengan sebuah ikat rambut berwarna hitam. Wanita ini walau sudah cukup dewasa, tapi masih saja aku menganggapnya seperti anak-anak, diitambah lagi dengan sikap cerewetnya. Dia benar-benar membuatku gemas.

"Aku hari ini akan memperkenalkan Kakak dengan pacarku."

"Adikku ini sudah move on ternyata. Aku kira kau masih terjebak dengan cerita cinta masa lalu."

"Kak Aya, Bunga itu sudah lama move on." Sempat ada jeda. "Pacarku ini orangnya baik. Wajahnya juga sangat tampan."

"Benarkah? Sekarang dia dimana?"

"Tadi sudah Bunga chat, ternyata masih di jalan. Sebentar lagi juga akan sampai."
Sambil menunggu pacar Bunga yang akan datang, kami menghabiskan waktu dengan mengobrol dan menyantap makanan yang sudah tersedia di atas meja.

"Berapa lama Kak Rey di luar kota?" tanya Bunga.

"Rey akan bekerja di luar kota selama sebulan. Itu pun kalau semuanya memang sudah beres," jawabku.

"LDR dong sekarang. Kasihan," ucap Bunga. "Eh, itu dia sudah datang Kak." Bunga menunjuk ke arah pintu yang ada di belakangku.

"Kalian sudah lama?"

Aku membalikkan badan dan menatap laki-laki berpostur tinggi di belakangku. "Kau!" Kusipitkan mata setelah melihatnya.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Bunga.

"Teman semasa kuliah," jawab Riko.

Laki-laki itu mulai mengambil posisi duduk di sebelah Bunga. Kupandangi dia dengan tatapan penuh tanya dan jengkel.

"Aku tinggalkan dulu kalian. Aku mau ke toilet," ucap Bunga lantas beranjak berdiri dan melangkah pergi.

Kutatap punggung Bunga yang menjauh, lalu kualihkan pada Riko yang masih duduk dengan kaku.

"Sejak kapan kau berpacaran dengan Bunga?" tanyaku to the point.

"Kau ini tidak ada basa-basi sekali denganku. Kita itu sudah lama tidak bertemu, Aya," ucap Riko.

"Kau jangan berani menyakiti Bunga! Kalau kau berani melakukannya, maka kau akan berhadapan denganku."

"Kau ini benar-benar tidak berubah. Masih saja dingin seperti es," ucap Riko terkekeh. "Aya, apa kau kira aku masih sama seperti yang dulu?"

"Siapa yang bisa menjamin kau tidak akan melakukan hal yang sama?" Aku menatapnya dengan sinis.

Cukup lama tercipta keheningan di antara kami. Aku masih menatap wajahnya dengan tatapan tidak suka, sedangkan dia berusaha santai dengan tersenyum manis ke arahku.

Dalam DekapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang