Setitik Air pada Gurun Pasir

356 23 1
                                    

Salat Isya kali ini terasa berbeda karena Ayah yang bertindak langsung sebagai imam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Salat Isya kali ini terasa berbeda karena Ayah yang bertindak langsung sebagai imam. Sudah sangat lama rasanya aku tidak mendengar suara merdu lelaki paruh baya itu dalam melantunkan Al-Quran. Suara merdunya begitu aku rindukan.

Usai salat dilaksanakan, aku merasa sakit pada perut. Ah, mungkin hanya kontraksi palsu. Sudah beberapa kali aku merasakan sakit seperti ini. Dokter sudah mengatakan, bahwa hal ini wajar dialami oleh ibu hamil yang memasuki fase trimester ketiga.

Kami beranjak ke ruang tengah. Suasana hangat tercipta dengan sempurna di sini. Berbalut indah dengan setiap cinta yang Ayah dan Ibu berikan.

Kenapa malah semakin sakit? Sudah sejam aku tahan, tapi tak kunjung mereda. Rasa sakit ini semakin kuat. Kuusap perut sambil mengambil napas panjang berulang kali untuk menenangkan diri.

"Kamu kenapa, Aya?" tanya Ayah.

"Sakit, Yah," ucapku lirih seraya mengganggam erat tangan Ayah.

"Sakit kepala lagi?"

Aku menggeleng. "Perutku sangat sakit."

🥀🥀🥀🥀

Aku berbaring di atas ranjang rumah sakit, seraya menahan rasa sakit yang mendera. Kontraksi yang berlangsung semakin panjang, dan lebih menyakitkan. Selain kontraksi intens, aku juga merasa sangat sakit pada bagian punggung dan pangkal paha.

"Allahu Akbar," ucapku lirih sambil meringis kesakitan. Bibirku bergetar. Air mata juga sudah tak dapat kubendung. Rasa sakit ini betul-betul menyiksa.

"Ambil napasnya lagi, dan mulai dorong, ya, Bu!" suruh seorang perawat.

Meskipun terasa sangat sakit. Namun, dorongan untuk melakukan yang diperintahkannya begitu besar. Aku ambil lagi napas panjang dan mulai mendorong dengan sekuat tenaga.

"Allah!" teriakku sambil berusaha mendorong.

Terdengar suara tangisan bayi setelahnya. Aku langsung membuang napas kasar dan terbaring lemas. Dokter mengangkat anakku, sehingga aku dapat melihat wujud si bayi kecil yang masih bersimbah darah.

Ya Allah, tangisan bayi itu langsung menghapus rasa sakit yang baru saja aku rasakan.

Rasa haru menyeruak dari dalam hati. Air mata karena rasa sakit, kini berubah menjadi air mata haru dan bahagia. Anakku telah lahir. Dia adalah obat dari segala rasa sakitku.

"Anaknya perempuan," ucap salah seorang perawat.

🥀🥀🥀

Usai diberi ASI, putri kecilku langsung tertidur pulas dalam gendongan. Kuusap lembut wajahnya yang masih begitu lembut. Parasnya sangat cantik, dihiasi dengan hidung mancung, bibir dan pipinya juga merah bagai buah ceri di musim semi.

Sejenak aku teringat pada ayah anak ini. Kalau saja Rey ada di sini, mungkin dia adalah orang yang paling bahagia atas kehadiran putri kecil kami ini. Ah, air mata kembali turun kalau mengingat tentangnya.

Dalam DekapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang