Kebahagiaanku Mulai Memudar

338 26 0
                                    

"Rey!" panggilku padanya yang tengah duduk di bangku taman yang terbuat dari besi. "Apa yang sedang kau lakukan?"

"Kau duduklah di sini!" Rey menepuk ruang bangku yang masih kosong di sebelahnya.

Aku melangkah mendekat, lantas ikut duduk di sebelahnya. Kupandangi langit malam yang sangat indah. Bulan tanpa malu menunjukkan wajahnya yang bulat sempurna tanpa terhalang kabut atau awan gelap. Bintang yang bertaburan di langit megah malam semakin menambah keindahan. Memang indah ciptaan Allah. Tidak ada yang bisa memungkiri itu.

Rey mengambil napas panjang lalu menunjuk sebuah bintang yang bersinar paling terang malam ini. "Lihat itu!" Aku ikut menengok ke arah yang ditunjuknya. "Aku sedang berbicara dengan ibumu," tambahnya.

Aku terkekeh. "Apa yang dikatakan ibuku padamu?" tanyaku iseng.

"Rahasia," jawab Rey dengan sigap.

Aku spontan mencubit perut Rey. Dia sempat meringis karena menahan cubitan itu.

"Aya!" panggil Rey.

"Hmm ... ada apa?"

"Apakah kau bahagia?" tanya Rey sambil menatap kedua netraku dengan lekat.

"Kenapa kau bertanya itu?" tanyaku heran.

"Aya, jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan!"

"Tentu saja aku bahagia," jawabku singkat. "Memangnya ada apa, Rey?"

"Kenapa akhir-akhir ini aku merasa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Apakah ada sesuatu, Aya?"

Jantungku langsung berdegup kencang. Aku berusaha untuk tetap santai dan memasang wajah semanis mungkin di hadapan Rey.

"Tidak ada apa-apa, Rey," ucapku sambil menggelengkan kepala. "Sekarang aku yang bertanya, apakah kau bahagia?"

Rey mengangguk pelan.

"Aku lihat kau sangat menyayangi Zian dan Dina. Apakah kau merasa-"

"Sebenarnya kau ingin membahas apa?" tukas Rey.

Aku bangun dari sandaran, mulai menegakkan punggung. Kupandangi tanah yang ditutupi rumput hijau dengan tatapan nanar. "Aku mendengar percakapanmu dengan ayahmu pada malam itu. Aku tahu apa yang sedang kalian bahas. Aku sadar Rey, aku bukan istri yang sempurna untukmu."

"Jangan bahas ini!"

"Aku ikhlas kalau kau ingin menikah lagi."

Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Rey sekarang. Sungguh aku tidak berani rasanya untuk memandang wajahnya.

🥀🥀🥀

Aku menyibukkan diri dengan mengurus taman setelah Dina dan Zian dapat tidur siang dengan lelap di kamar. Aku harus kerja keras kali ini karena beberapa lobelia mulai layu. Beberapa hari di rumah sakit membuat mereka menjadi tidak terurus. Sungguh sedih melihat mereka yang mulai menampakkan kemurungannya.

Bel rumah berbunyi. Dengan cepat kulepas gunting rumput, lantas berjalan ke arah pintu sambil bertanya, "Siapa?" Namun, tidak ada sahutan.

Usai kubuka pintu, terlihat ayah mertua dan Jordan yang berada di teras rumah. Aku benar-benar gugup dan bingung. Ada keperluan apa mereka kemari?

"Apakah Mama juga ikut?" tanyaku membuka percakapan sambil menyalimi tangannya.

"Aku sendirian saja," jawabnya dengan nada datar. "Saya ke sini karena ingin bicara denganmu."

Aku kebingungan mendengarnya. "Saya? Ada apa?" tanyaku penasaran. "Maafkan Aya, kalian silahkan masuk dulu!" Aku mempersilakan ayah mertua dan Jordan untuk masuk.

"Kamu tidak usah repot," ucap Jordan usai aku suguhkan minuman di atas meja.

"Ah, tidak apa-apa. Kalian juga jarang sekali datang ke sini," balasku sambil tersenyum.

"Jadi, apa yang ingin dibicarakan?" tanyaku kepada ayah mertua yang tengah duduk berseberangan denganku. Hanya meja kayu kecil berwarna cokelat yang menjadi pembatas di antara kami.

Laki-laki paruh baya itu menatapku dengan lekat. "Saya ingin membicarakan tentang hubunganmu dengan Rey. Saya tahu seputar penyakitmu, Aya," ucapnya sambil menyodorkan sebuah amplop dengan kop bertuliskan nama rumah sakit tempatku dirawat seminggu yang lalu.

"Saya tahu kamu menderita kanker otak stadium tiga," ucap ayah mertua. "Apakah Rey juga mengetahuinya?"

Aku menggeleng dengan pelan, sementara tangan masih bergetar memegang surat dari rumah sakit.

"Baguslah," ucapnya sambil tersenyum. "Dengarkan saya, Aya! Kamu tahu Rey adalah anak kesayangan saya. Dia adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami. Saya sangat menginginkan cucu dari dia. Hanya dari dia nama keluarga kami bisa terus berlanjut."

Aku mengernyitkan dahi. Aku tak mengerti akan ke mana arah pembicaraan ini.

"Kalian sudah lima tahun menikah, tapi tidak juga dikaruniai anak. Apalagi mengingat keadaannmu sekarang. Saya hanya tidak ingin Rey hidupnya menjadi sia-sia karena menjaga istri yang tidak bisa memberinya keturunan dan juga sakit-sakitan." Sempat ada jeda pada kalimatnya. "Saya ingin kamu meninggalkan Rey."

Seakan panah yang langsung menancap di hati. Kalimat yang kudengar benar-benar menghancurkan seluruh jiwa. Aku membelalakkan mata, bibir sontak menjadi kelu. Kalau saja sedang berdiri, mungkin kaki ini tidak akan bisa menopang badan. Keadaanku kali ini sepertinya sama dengan lobelia di taman yang sedang meratapi dirinya yang mulai layu.

"Bagaimana kalau saya tidak mau?" tanyaku lirih dengan mata yang mulai panas. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa meninggalkan Rey.

"Kamu jangan egois, Aya!" bentaknya.

Aku langsung menundukkan kepala, menutup mata dan menahan setiap amarah yang datang.

"Aya, tidak bisa melakukannya."

"Jujur saja, sejak awal saya tidak pernah merestui hubungan kalian. Kalau bukan saja karena Rey dan istri saya, tidak mungkin saya biarkan kamu menikahi Rey. Saya kira kamu bisa membahagiakannya. Namun nyatanya, apa yang bisa kamu berikan?"

Aku tertegun mendengar setiap kalimat yang sebenarnya menghina diri ini. Marah, sedih, kesal, dan jengkel, kini berpadu menjadi satu.

🥀🥀🥀

Dadaku terasa sangat sesak. Semuanya seakan menjadi redup. Setiap kebahagiaan yang sudah terjalin di depan mata mulai pudar perlahan.

Ya Allah, saat aku kehilangan harapan dan seluruh kebahagiaanku mulai memudar. Aku tahu bahwa sesungguhnya cinta-Mu tak pernah lepas dariku. Peluklah aku dalam dekapan kasih sayang-Mu!

"Tante, kenapa menangis?" tanya Dina yang baru saja keluar dari kamar.

Aku langsung menyeka air mata lalu berjalan mendekatinya. "Tadi menonton film sedih sekali, akhirnya malah menangis."

Aku tengok jam dinding yang jarum pendeknya menunjuk ke angka tiga dan jarum panjang tepat ke angka dua belas.

"Kok, jam segini sudah bangun?" tanyaku sambil menatap wajahnya yang terlihat masih mengantuk.

"Dina lapar," jawabnya dengan polos.

Aku terkekeh sebentar. "Tante sudah masak nasi goreng. Dina mau?"

Gadis itu hanya mengangguk semangat sambil tersenyum semringah.

Dalam DekapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang