Mencipta Jarak

425 26 0
                                    

Sebuah pesan masuk. Aku ambil ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas nakas, lalu melirik sekilas nama yang tertera pada notifikasi adalah Bunga.

[Kak Aya, dimana? Kak Rey tadi datang ke rumah mencari keberadaanmu.]

Hari ini Rey pulang dari luar kota, sedangkan aku sudah tidak ada di rumah. Seluruh pakaian dan barang pribadi sudah kubawa ke rumah Ayah. Rey pasti sangat kalang-kabut karena tidak melihat aku di sana. Nomor teleponnya pun sudah aku blokir. Aku benar-benar sudah memutus kontak dengannya.

Rey, sesungguhnya aku juga tidak ingin seperti ini. Namun, mencipta jarak adalah jalan terbaik. Ini karena aku terlalu menyayangimu.

Pesan dari Bunga aku biarkan begitu saja. Sengaja tidak aku balas. Mungkin karena merasa penasaran dan juga khawatir, Bunga malah menghubungiku. Setelah salat Zuhur aku lirik lagi ponsel. Ingin sekali aku menolak panggilan itu, tapi ini sudah panggilan masuk yang kelima dari Bunga.

"Iya, aku sudah baca pesan darimu, ucapku setelah mengangkat panggilan.

Kak Aya sebenarnya dimana?

"Kalau Rey datang lagi katakan saja bahwa aku baik-baik saja.",

Apakah kalian sedang bertengkar?

Aku mengambil napas panjang lalu mengembuskannya. "Biar ini jadi urusan pribadiku," jawabku, lalu mengakhiri panggilan itu. Aku teruskan kegiatan melepas dan melipat mukena yang masih melekat di badan.

Selepas makan siang tadi, rasanya badanku sedikit lelah. Akhir-akhir ini aku memang kurang sehat. Cepat sekali merasa lelah, padahal kegiatan yang aku jalani juga tidak berat. Hanya aktifitas ringan. Terlebih Ayah dan Ibu sangat protektif dengan kesehatanku saat ini, mereka tidak mengizinkanku melakukan kegiatan yang menguras tenaga secara berlebihan.

Kurebahkan badan di atas kasur sambil mendengarkan lantunan murottal dari Syekh Abdurrahman As-Sudais lewat ponsel. Suara beliau terengar begitu indah. Setiap mendengarnya, jiwaku terasa lebih tentram. Terlalu hanyut mendengarkan lantunan murottal yang begitu menenangkan kalbu, aku jadi terbawa dalam dunia mimpi.

Saat bangun dari tidur, segera kumatikan ponsel yang masih memutar lantunan murottal. Kupandangi jam yang menempel di dinding. Ah, sudah sore ternyata.
Kubuka mata lebih lebar lagi dan tiba-tiba saja terdengar suara seorang laki-laki dari arah ruang tamu. Dapat aku pastikan itu adalah suara Rey.

Aku melangkah ke arah pintu dan membukanya dengan perlahan. Kamar ini terletak di lantai satu dan jaraknya dekat dengan ruang tamu, sehingga dengan membuka pintu sedikit saja aku sudah bisa melihat Rey yang tengah duduk dengan Ayah di sana.

“Temuilah dia! Kasihan dia begitu khawatir mencari keberadaanmu. Setidaknya dengan dia tahu keadaanmu saat ini dia akan bisa bernapas lega,” ujar Ibu setelah masuk ke kamarku.

Aku menyetujui permintaannya dengan memberi anggukan.

"Ibu akan meminta dia ke sini." Wanita paruh baya itu beranjak keluar.

Tok ... tok ... tok ....

"Aya ...." Rey memanggil namaku dengan penuh kelembutan.

Aku meraih hijab instan yang berada di atas kasur dan memakainya. Perlahan menuju pintu dan dengan rasa ragu kubuka dengan perlahan.

Usai pintu terbuka aku tundukkan kepala. Rindu terhadap wajah Rey memang membuncah di hati, tapi aku juga ingin menenangkan diri. Aku takut dengan melihat wajahnya hanya akan membuat kesedihan ini semakin meningkat.

Rey melangkah masuk, sementara aku mundur sebanyak tiga langkah. Kini kami berdiri berhadapan. Tatapanku masih kuarahkan pada lantai kamar yang terasa dingin oleh kaki.

Dalam DekapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang