Dari semua mantan yang pernah masuk daftar hitam dalam sejarah perkencananku, maka Jared adalah yang terparah; psycho, obsesib, dan fanatik. Kukatakan demikian karena lelaki itu adalah dalang dari semua keadaanku saat ini.
Seperti mengalami kecelakaan hebat, tidak sedikit tulang-tulangku patah dan retak, beberapa bagian tubuh mendapatkan lebam hasil pukulan dari sang algojo dan lelaki itu sendiri, serta yang terakhir luka psikologi adalah hal terburuk selama aku dalam masa perawatan di rumah sakit.
Lima hari berada di rumah sakit, meski mendapatkan fasilitas VVIP sebagai bentuk pertanggungjawaban Vektor atas ide gilanya--menjadikanku sebagai tumbal sepihak demi menyelesaikan kasusnya--bukanlah ide terbaik untuk kebaikanku. Memang, luka di tubuh bisa diobati oleh peralatan serta tenaga professional. Namun, bagaimana dengan luka batin yang mendatangkan mimpi buruk setiap malam?
Tidak semudah itu untuk sembuh, meski dengan menggunakan jasa psikiater atau pun obat penenang.
"Barb?" Aku menoleh ke arah toilet ketika Vektor memanggilku. Rambut dan wajahnya tampak basah, tetapi segera ia keringkan menggunakan handuk. "Apa kau baik-baik saja?" Itu adalah pertanyaan yang sama setiap harinya.
"Apa kau pikir aku baik-baik saja dalam keadaan seperti ini?" tanyaku penuh sarkasme, sambil menunjuk ke sekujur tubuhku menggunakan sorot mata. "Di mana Harding? Mengapa susah sekali kau memberitahuku? Lalu bagaimana dengan keluargaku? Serius, aku akan menuntutmu jika--"
"Trims." Vektor memotong ucapanku--selalu ia lakukan setiap kali aku mengomel akibat peristiwa sialan itu--sambil mengalungkan handuknya di leher. "Berkat kau semua korban atau pun calon korban dari kejahatan mereka bisa diselamatkan. Setidaknya kau telah memutus satu rantai."
Akhirnya Vektor membicarakan hal selama ini ia hindari. Aku mengembuskan napas panjang lalu memberikan senyum tulus, sambil menunggu kalimat selanjutnya. Namun, hingga detik kedua puluh Vektor sama sekali tidak memberikan tanda-tanda bahwa dia ingin berbicara lebih lanjut. Sehingga sembari terus memandang saat Vektor mengenakan T-shirt serta jaket kulitnya, aku berdeham pelan.
"Sial, aku sudah terlalu kenyang mendengar ucapanmu barusan. Berulang kali kau mengatakan hal serupa, tetapi selalu hanya berupa kalimat yang tidak rampung."
Vektor berdiri di depan tempat tidur rumah sakit yang sama sekali tidak nyaman ditiduri. Kedua tangannya ia masukkan di dalam saku celana jeans, seolah ingin bergaya keren. Namun, waktunya sangat tidak tepat. "Jadi apa yang ingin kau ketahui?"
"Harding?"
"Dia di tempat yang aman."
Aku cemberut mendengar jawaban kurang memuaskan itu. "Di mana?"
"Jelasnya masih di Manhattan."
Mendecak kesal, aku kembali bertanya, "Bagaimana dengan Kath dan Coralline? Apa mereka mengetahui keberadaan dan nasib sial akibat ide cemerlangmu ini, eh?"
Refleks kedua alis Vektor menyatu. "Apa kau tidak memiliki rasa bangga karena telah menyelamatkan banyak wanita yang tentunya bernasib lebih malang, daripada kau?"
"Tentu saja aku bangga. Hanya saja jika kau memang ingin tahu aku ... hanya tidak mampu menerima ide tanpa persetujuanku itu." Tanpa sadar, aku meninggikan sedikit suaraku dan itu cukup menyakitkan, akibat ketegangan otot yang menghasilkan perasaan nyeri di beberapa bagian yang lebam. "Aku hanya ingin kau memperlakukan seperti manusia normal, bukan seperti manusia yang harus dijaga ketat hingga menimbulkan tekanan.
"Kau tahu, sikapmu yang seperti itu membuatku kesulitan untuk menghilangkan mimpi buruk akibat tragedi beberapa hari lalu. Aku ingin kau terbuka, sehingga aku bisa bernapas lega tanpa harus memikirkan semua kemungkinan terburuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hottest Night With You [END]
Romance[18+] Bermula dari robeknya gaun di pesta pertunangan sang mantan, Barbara tidak pernah menyangka bahwa arti dari kencan semalam ternyata telah menyeretnya ke dalam kehidupan Harding. Hingga Barbara bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada diri...