Selamat membaca💛
.
.
."Lo yakin bang?" Ucap gadis itu, "kenapa jalanin rencananya cuman sendirian sih. Gak ngasih tau gue dulu." Lanjutnya kesal.
"Gue yakin." Balas cowok itu yang di panggil 'bang' sambil menerawang."Lo nyusahin!" Lanjutnya lagi.
"Elah, gini-gini gue pinter tau!" Gadis itu menampilkan raut cemberut. Ia ingin meyakinkan abangnya.
"Ya udah lo ikut. Tapi kalo lo nyusahin gue, awas aja!" Cowok itu berbalik dan menyusuri koridor yang hampir sepi.
"Nah cakep. Itu baru abang gue." Gadis itu tersenyum bangga. Akhirnya ia akan ikut andil dalam rencana abangnya.
.
.
."Eh sialan, lo dipanggil bu Widya ke ruang guru sekarang." Ucap seorang gadis yang rambutnya dicepol ke atas itu dengan sarkas.
"Oke, makasih infonya." Wina memasang wajah datar. Sudah biasa menerima panggilan yang tak mengenakkan untuk didengar.
Sedangkan gadis tadi sudah melengos pergi menuju bangkunya sendiri.
Wina segera bergegas menuju kantor untuk menghadap ibu Widya, wali kelasnya. Mungkin ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
Disepanjang jalan menuju kantor, Wina hanya menunduk melihat lantai. Karena keasikan melihat lantai ia jadi tak melihat ada seseorang yang sedang berjalan di depannya.
Wina dan cowok itu sontak saja bertabrakan. Untung saja Wina tak sampai jatuh ke lantai. Hanya mundur beberapa langkah ke belakang.
"Aduh kepala gue." Wina mengelus kepalanya yang terasa sakit, tak sengaja berbenturan dengan dada bidang cowok yang ditabraknya tadi.
"Makanya jalan itu jangan nunduk." Cowok itu berucap dingin.
Wina sontak mendongakkan kepala, merasa pernah mendengar suara itu sebelumnya.
"Lo? Yang kemaren kan?" Wina membolakan matanya sambil menunjuk cowok di depannya.
"Gue kira lo lupa gue." Ucap cowok itu sambil menyeringai tipis.
Sosok yang Wina tabrak ternyata Vino yang sedang menatapnya tajam.
"Gimana mau lupa, ngeliatin kayak gue punya utang aja." Tentu saja Wina hanya berucap di dalam hati.
"Kenapa lo tadi pagi malah pergi duluan?" Cowok itu menanyakan perihal Wina yang tadi pagi memilih meninggalkan kedua cowok yang datang ke rumahnya.
"Yah gak papa. Urusannya sama lo juga gak ada," Wina berucap santai, "dan kita juga baru kenal."
"Oke kalo gitu!"
Vino sontak saja melenggang meninggalkan Wina sendirian. Membuat gadis itu bingung tentu saja.
Wina kemudian melanjutkan langkahnya ke ruang guru, tak ingin membuat bu Widya yang memanggilnya jadi menunggu lama.
Wina sudah berdiri di depan pintu ruang guru, dan segera memasuki ruangan itu. Wina mencari bu Widya, dan mendapati guru tersebut sedang bergosip ria dengan guru yang lainnya.
"Permisi bu. Ibu manggil saya?" Wina berdiri di dekat bu Widya, dan tak lupa menampilkan senyumnya pada guru-guru yang lain. Ada yang membalasnya dan ada juga yang pura-pura tak melihat.
"Ibu gak manggil kamu kok, Win. Siapa yang ngasih tau?" Bu Widya mengernyitkan keningnya bingung, merasa memang tak memanggil Wina untuk datang kepadanya.
"Ohh gitu yah bu. Gak papa bu. Kalo gitu saya permisi dulu." Wina membungkukkan tubuhnya pelan, tak lupa tersenyum.
Setelah keluar dari ruang guru, Wina kemudian menghela napasnya pelan. Lagi-lagi dia percaya akan kata-kata teman sekelasnya.
Wina sebenarnya sudah sering kali dijahili oleh teman-teman di kelasnya. Namun ia dengan bodohnya masih saja percaya.
Wina memutuskan melangkah ke toilet, gadis itu benar-benar lelah sekarang. Ia ingin menangis, sudah lelah terus-terusan bersikap biasa saja.
Setelah sampai di toilet, Wina masuk kesalah satu bilik dan menguncinya.
Gadis itu mulai meneteskan air mata, memikirkan kejadian yang telah ia lalui. Merutuki mengapa ia harus dilahirkan ke dunia, jika hanya mendapat takdir yang buruk.
Semakin lama air mata gadis itu semakin deras mengalir di pipi yang mulai memerah. Wina merasa kesal, marah, sedih, kecewa, dan juga merasa tak berguna.
Wina menekuk lututnya dan menaruh kedua tangannya di atas lutut. Kepalanya ia jatuhkan di kedua lipatan tangan.
Dadanya terasa sesak, napasnya ngos-ngosan. Gadis itu sebenarnya lelah, namun apa daya. Manusia, seberapa berat pun masalahnya harus tetap menjalani kehidupan. Harus bisa menerima keadaan.
Wina mengangkat kepalanya perlahan dan menghentikan tangisnya, meski masih sesekali sesenggukan. Ia mendengar pintu kamar mandi terbuka, dan juga suara langkah kaki seseorang.
Wina menghapus sisa-sisa air matanya, matanya memerah sembap karena terlalu lama menangis. Ternyata gadis itu sudah sejam-an berada di toilet.
Wina membuka kunci bilik toilet dan keluar dari sana, menuju wastafel untuk mencuci wajah.
Tak sengaja Wina melihat seorang siswi juga yang sedang menatapnya melalui cermin.
"Lo habis nangis?" Tanya gadis itu.
"Eh, enggak kok enggak" Wina menggelengkan kepalanya cepat-cepat.
"Gak usah bohong kali. Keliatan juga. Mata merah plus bengkak gitu." Gadis itu menunjuk ke arah mata Wina yang memang terlihat sembap.
Wina hanya menunjukkan senyum kecilnya, "kalo gitu gue duluan."
Sebelum Wina benar-benar keluar dari toilet, gadis itu menghentikan langkah Wina.
"Ehh bentar. Main nyelonong aja." Gadis itu sekarang berada di depan Wina, "kenalin nama gue Fiona. Kelas X IPA 1. Kalo lo?"
"Ehh gue?"
"Iya, lo. Emang siapa lagi?" Gadis yang memperkenalkan namanya sebagai Vina itu memutar bola matanya malas.
"Gu-gue Wina. Kelas X IPA 3."
"Oh, salam kenal yah." Tiba-tiba Fiona berbalik dan meninggalkan Wina sendirian.
"Oh, gue kira Tuhan lagi berbaik hati ngasih gue temen. Atau mungkin bencana lain." Wina tersenyum miring. Dan bergegas untuk keluar dari toilet.
.
.
.To be continue...

KAMU SEDANG MEMBACA
WINASTYA
Fiksi Remaja(PhotofromPinterest) . . . Wina atau lebih tepatnya Jingga Winastya. Gadis yang tak dianggap dikeluarganya. Sosok gadis tangguh dengan segala macam rahasia yang dia simpan. Teman setia Wina hanya novel digenggamannya. Tempat favoritnya hanya bangku...