“Apa? Kamu hamil!”Suara menggelegar Mas Fauzi memenuhi seluruh sudut ruangan. Matanya memerah, dia terlihat begitu marah. Seluruh nyaliku menciut tertelan rasa takut.
Aku dan Mas Fauzi sudah menikah, bahkan telah delapan tahun lamanya. Namun, sejak hari pertama menikah hingga delapan tahun pernikahan, Mas Fauzi tidak pernah mengizinkanku hamil.
Alasan?
Setiap kali aku bertanya, jawaban Mas Fauzi selalu sama. Belum siap. Ya, selalu, belum siap dan belum siap. Padahal, secara ekonomi kami tergolong stabil. Penghasilan bersih Mas Fauzi dari berbisnis kerajinan tanah liat rata-rata mencapai tiga puluh juta perbulan. Jumlah yang tidak sedikit menurutku.
Walau terasa berat, aku mencoba patuh selama ini. Namun, Allah telah menganugerahkan rahmatnya pada rahimku. Meski sudah memasang IUD, ternyata aku tetap hamil.
Semula aku pun tidak sadar. Jadwal menstruasiku memang berantakan. Kadang menstruasi tiga bulan sekali. Namun, ketika memeriksakan diri ke dokter karena tidak enak badan, dokter memintaku tes urine. Ternyata hasilnya aku positif hamil.
~
“Memangnya kenapa Mas kalau aku hamil? Kita kan sudah delapan tahun menikah. Kenapa aku nggak boleh punya anak?” Aku merasakan air mata mengucur melewati pipi.
“Citra!” Mas Fauzi mengusap wajah kasar. Dia bertolak pinggang dan menatapku garang.
Belum pernah aku melihat Mas Fauzi semarah ini. Dia bisanya laki-laki yang ramah dan romantis. Selain dari tidak mengizinkanku memiliki anak, Mas Fauzi suami yang sangat baik dan pengertian.
“Citra, kamu tahukan! Dalam agama, sebagai seorang istri, sudah sepatutnya kamu itu patuh pada suami! Jangan jadi istri durhaka. Gugurkan bayi itu.”
“Astagfirullahaladzim, Mas!”
Ya Allah!
Dalam mimpi pun aku tidak menyangka kata-kata jahat itu akan keluar dari mulut Mas Fauzi.
“Mas, istigfar, Mas! Anak ini anak kamu!”
“Tapi aku nggak menginginkan anak itu! Aku nggak ingin punya anak!”
Aku merasakan otot mataku menegang. Kata-kata Mas Fauzi seperti sengatan arus listrik yang membuat tubuhku mengejang.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, segera aku melangkah ke lemari. Mengambil tas besar, kukemas pakaian serampangan dengan mata buram karena berair.
“Apa yang kamu lakukan?” Mas Fauzi menarik kasar tanganku.
“Aku mau pulang, Mas. Lebih baik aku kehilangan kamu daripada harus menggugurkan bayi ini!” Aku menghempaskan tangan Mas Fauzi dan kembali memasukkan pakaian ke tas.
“Citra! Jangan main-main kamu!”
Setelah memasukan dompet dan ponsel, aku menarik ritsleting tas kemudian menjinjingnya. “Aku nggak main-main, Mas!”
Aku melangkah cepat menuju pintu depan. Mas Fauzi berusaha menahan, tetapi aku mengabaikannya.
“Citra!”
Suara keras Mas Fauzi—entah kenapa—berhasil membekukanku di ambang pintu.
“Ingat Citra! Setiap langkah seorang istri tanpa rida suami itu dosa dan haram!”
Jantungku tersentak!
“Tapi membunuh bayi yang tidak berdosa juga haram, Mas,” jawabku tanpa berbalik.
“Bayi itu masih muda, kan? Belum ada nyawanya. Sudahlah, gugurkan saja. Memangnya Mas saja belum cukup bagi kamu? Kenapa harus ada anak? Memangnya selama ini perhatian Mas kurang sama kamu?” Suara Mas Fauzi terdengar lembut.
Hatiku bimbang.
Memang benar, selama ini Mas Fauzi selalu baik dan perhatian. Namun, rasanya aku pun tidak rela kalau harus menggugurkan janin di rahimku ini.
Mas Fauzi menepuk bahuku lembut. “Mas selama ini membiayai orang tua kamu tanpa meminta imbalan. Bahkan, sekolah Clara, adik kamu pun Mas yang tanggung. Apa Mas pernah perhitungan? Tapi apa balasan kamu, kenapa kamu nggak bisa mematuhi keinginan Mas?”
Hatiku berkecamuk.
“Gugurkan bayi itu. Kita bisa tetap bahagia tanpa anak,” bujuk Mas Fauzi.
Aku menggigit bibir. Galau. Aku sangat menyayangi dan mencintai Mas Fauzi. Meski baru satu bulan, aku pun menyayangi dan mencintai bayi dalam kandunganku.
“Citra ....”
Menguatkan hati, aku menjawab sembari memejamkan mata. “Aku memilih anak kita, Mas.”
Tanpa menoleh, aku melangkah meninggalkan ambang pintu.
Ya Allah, ampuni aku karena sudah menjadi istri yang tidak berbakti. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Haram Memiliki Anak
RomanceEntah kenapa Fauzi selalu melarang Citra memiliki anak!