2

2K 85 1
                                    

Clara memelukku.
Bapak termenung bisu.
Ibu menunduk lesu.
Kedatanganku telah membawa awan kelabu.

"Maafkan Citra, Pa, Bu.”

Aku tahu mereka pasti kecewa. Kepulanganku tanpa restu Mas Fauzi telah menorehkan luka. Mungkin mereka juga menghirup sangitnya api neraka.

“Kakak enggak salah. Om Fauzi yang salah. Masa anak kandung sendiri mau digugurkan," bela Clara.

Dari tatapannya, aku tahu lbu juga setuju dengan ucapan Clara.
Di bangku rotan dekat lemari tua yang usang, Bapak menepekur. Mungkin jiwa pria tua yang ringkih itu sedang tercabik-cabik.

“Tapi tidak seharusnya kamu langsung meninggal kan rumah begitu saja, Citra. Fauzi itu pria yang baik. Kenapa kamu tidak membicarakannya dulu secara baik-baik?" Tatapan lembut Bapak tak menghilangkan ketegasan ucapannya.

Bapak benar.
Aku terlalu emosi.
Kekecewaan pada sikap Mas Fauzi telah membuatku gelap mata. Tidak seharusnya aku marah-marah dan meninggalkan rumah. Mungkin aku terlalu berharap Mas Fauzi akan bersikap seperti suami kebanyakan-bahagia menyambut kehamilan istrinya.

Ah, kebahagian karena hamil telah membuatku lupa bahwa Mas Fauzi tak menginginkannya. Dulu, sebelum menikah, Mas Fauzi memang sudah mengutarakan keinginannya untuk menunda memiliki anak.
Dulu, aku pikir menunda itu hanya satu dua tahun.

"Besok Citra akan pulang dan meminta maaf sama Mas Fauzi, Pa."

Bapak tersenyum dan mengangguk.

“Terus, kalau Om Fauzi keukeuh minta Kak Citra menggugurkan bayinya gimana?”

Jantungku tersentak oleh pertanyaan Clara.

Hening

Tak seorang pun yang bersuara.

Ketukan di pintu depanlah yang membuyarkan keheningan. Aku dan semua orang di dalam kamar saling bertukar pandang-siapa yang datang?

“Biar Bapak yang lihat." Bapak beranjak dari kursi dan meninggalkan kamar.

Aku membenahi jilbab dan menghapus sisa-sisa air mata.

“Citra, sini, Nak!" panggil Bapak dari ruang depan.

Aku menatap Ibu dan Clara bergantian, baru menjawab, "lya, Pa."
Memenuhi panggilan Bapak, aku bergegas ke ruang depan. Ibu dan Clara juga mengikutiku.

Mas Fauzi!

"Citra!" Mas Fauzi yang sedang duduk bersila langsung bangkit begitu melihatku.
Dia menghampiri dan langsung memelukku. "Maafkan, Mas, ya," bisiknya.

Ya Allah, sungguhkah ini?
Bisikkan Mas Fauzi terdengar begitu indah di telingaku.
Apakah ini artinya Mas Fauzi sudah mau menerima kehamilanku?

"Mas ...."

Mas Fauzi mengendurkan dekapannya dan menatapku. Tatapan matanya lembut dan dipenuhi oleh cinta. Ah, Mas Fauzi. Sebenarnya hal apa yang membuatmu ‘tidak siap’ memiliki seorang anak.

"Kamu pulang. ya. Jangan tinggalkan Mas."
Aku mengangguk.
Aku mencintai Mas Fauzi dari hati yang paling dalam. Aku pun tidak ingin berpisah darinya ataupun menjadi istri durhaka. Mas Fauzi suami yang sangat baik selama ini.

Pengertian, penuh kasih sayang, tanggung jawab, dan romantis.
Benar kata Bapak, aku seharusnya tidak tersulut emosi dan membicarakannya baik-baik. Namun, ternyata Allah melunakan hati Mas Fauzi lebih cepat.

Allah, sungguh baik Engkau. Terima kasih.

"Mas, kamu udah menerima kehamilan aku, "kan?
Tersenyum samar, Mas Fauzi mengangguk.
Allah, betapa hatiku seperti mendapat angin surga. Sejuk dan indah. Segera aku memeluk Mas Fauzi dan menangis terharu di dada bidangnya.

Ya Allah, terima kasih, terima kasih.

***

Setelah berpamitan pada Ibu dan Bapak, aku dan Mas Fauzi segera pulang. Hatiku sungguh berbunga-bunga. Tidak terlukiskan betapa bahagianya. Setelah delapan tahun menanti, akhirnya aku akan menjadi seorang ibu juga. Tak sabar rasanya. Aku akan menjadi
wanita yang sempurna.

Allah, terima kasih.

“Terima kasih, ya, Mas." Aku menggandeng tangan Mas Fauzi begitu turun dari mobil Honda yang dibeli second. Mengucap terima kasih untuk kesekian kalinya.
Mas Fauzi tersenyum dan mengelus punggungku. Barangkali dia bosan dengan ucapan terima kasihku yang bertubi-tubi.

"Eh!" Aku terkejut karena di rumah ada orang. "Dia siapa, Mas?"

Dia Mbok Darmi, tukang pijat. Mas sengaja panggil dia sebagai penebus rasa bersalah karena tadi Mas udah kasar sama kamu."

Ah, Mas Fauzi, romantis banget.
Kalau nggak ada siapa-siapa, ingin kukecup pipinya.

Mbok Darmi menghampiri dan mengelus perutku. "Mau dipijat sekarang?”
Mas Fauzi menatapku dan mengangguk.
Aku pun mengangguk pada Mbok Darmi.

***
Proses pemijatan dilakukan di kamar. Aku diminta hanya mengenakan kain jarik yang dililitkan di dada. Sebelum dipijat, aku juga diminta meminum jamu. Katanya untuk menguatkan kandungan dan supaya aku tidak cepat lelah. Rasanya pahit banget, aku tetep menghabiskannya.

Pijatan Mbok Darmi benar-benar membuat tubuhku relaks. Aku sampai mengantuk dibuatnya.

“Kalau ngantuk tidur ajah, Nduk. Nggak apa-apa," kata Mbok Darmi yang terdengar seperti bisikan.
Aku memejamkan mata.

Entah berapa lama aku ketiduran. Terbangun karena mimpi kebelet pipis. Namun, betapa kaget saat menyadari kalau sprei yang kutiduri benar-benar basah.

Lebih terkejut lagi saat aku meraba sprei dan menyadari kalau yang membuat seprei basah bukan urine, melainkan darah.
Ya Allah!

"Mas, Mas Fauzi!"

Mas Fauzi datang tergopoh-gopoh. Namun, dia langsung membeku di ujung ranjang. Matanya menatap datar sprei yang basah oleh darah. Sama sekali tidak ada raut terkejut.
Seakan-akan.. memang sudah menduga kejadian ini. Badanku meremang, bulu kudukku berdiri, air mata jatuh bercucuran.

"Demi Allah, Mas! Jamu apa yang Mbok Darmi kasih ke aku!"
Ya Allah, apa aku lugu karena memercayai suamiku.
Suamiku sendiri! []

Haram Memiliki AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang