7

1.3K 103 10
                                    

Setelah Mas Fauzi pergi ke toko, Suster Irma mengajariku cara merawat dedek. Mulai dari memandikan, memasang popok, membedong, menggendong, memberitahu takaran susu dan tetek-bengeknya.

Aku mempelajarinya dengan tekun. Rasa sayang pun tumbuh dengan cepat. Apalagi saat dedek aku gendong, rasanya aku dekat sekali dengannya.

"Kira-kira, dedek aku kasih nama siapa, ya, Mbak?" tanyaku pada Suster Irma.

Suster Irma malah tertawa. "Terserah, Ibu ajah. Yang penting namanya tidak melanggar syariat."

Nama.

Nama yang cantik.

Sofia.

"Kalau Sofia gimana, Mbak?" tanyaku lagi.

"Cantik, Bu."

"Sofia Nurjannah. Sofia cahaya surga," gumamku.

Baiklah. Sekarang dedek sudah punya nama. Mas Fauzi pasti senang.

🌸🌸🌸

Bakda shalat Zuhur, aku tidak langsung ke dapur untuk memasak, melainkan bertafakur. Berharap Allah mau membantuku dalam menguak rahasia yang menyelimuti Mas Fauzi.

Sayangnya, setelah menefekur sekian lama, aku tidak mendapat ilham apa pun tentang Mas Fauzi. Selama delapan tahun hidup bersamanya, tidak ada sesuatu pun yang aneh. Ya, kecuali Mas Fauzi tidak ingin memiliki keturunan.

Suara ponsel segera mengalihkan perhatianku. Nama Nia tertera di layar.

"Assalamualaikum, Ni."

"Wa'alaikumussalam, Cit. Gimana kabar kamu?"

"Alhamdulillah baik. Gimana kabar kamu, tumben nelpon."

"Alhamdulillah, kabar aku baik. Iya, nih, aku dapat kabar katanya kamu ada masalah ya sama Fauzi. Sampai mau cerai, iya? Pasti gara-gara masalah anak. Iya, kan?"

Aku terdiam sejenak. Entah Nia dapat kabar dari mana. Yang pasti, aku tidak ingin mengumbar aib rumah tanggaku pada orang lain.

"Cit ...."

"I-iya, Ni."

"Nggak usah sungkan sama aku. Kita kan udah lama temenan. Cerita ajah nggak apa-apa."

"Aku ... enggak, kok. Aku dan Mas Fauzi baik-baik ajah."

"Jangan bohong! Aku tau hubungan kalian nggak baik-baik ajah. Clara yang cerita semuanya sama aku. Kamu jangan salahkan adikmu, aku yang desak dia. Soalnya aku mendengar kalau Fauzi membuat keributan di jalan."

Ya, ampun, Clara!
Harusnya dia jangan cerita.

"Cit, apa yang Clara bilang itu bener, loh. Ada yang salah sama Fauzi. Entah apa pun itu. Yang pasti ada yang salah sama suami kamu. Cit, aku ada teman yang kerja di semacam detektif swasta gitu. Mereka biasa menyelidiki orang. Mungkin kamu perlu coba, barangkali memang ada yang Fauzi sembunyikan selama ini dari kamu. Cukup udah kamu jadi istri yang taat kalau Fauzi sendiri berani menggugurkan darah dagingnya sendiri. Untung kamu enggak kenapa-kenapa, coba kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Dulu boleh ajah kamu berkilah ingin menjadi istri yang taat. Tapi sekarang kamu harus cari tahu. Mencari kebenaran juga wajib, Cit."

Aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Cit, mencari kebenaran dari suami kamu itu bukan berarti kamu istri durhaka yang tidak taat. Emangnya kamu mau hidup selamanya dalam ketidaktahuan?"

"Aku ... berapa biaya kalau mau menyelidiki Mas Fauzi?"

"Aku juga kurang tahu kalau soal biaya. Lebih jelasnya kita datang ajah ke sana. Gimana kalau sore ini, jam tiga nanti."

"Sore ini?"

"Makin cepet makin baik, Cit."

"Y-yaudah, iya."

"Oke. Nanti aku jemput. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Begitu sambungan terputus, aku meletakkan ponsel di dada.
Ya Allah, haruskah aku melakukan semua ini?
Maafkan aku Ya Allah, tapi aku benar-benar ingin tahu apa yang disembunyikan Mas Fauzi. Aku juga ingin menepis keresahan hati yang terus berpikir kemungkinan Mas Fauzi memiliki anak dengan perempua lain.

🌸🌸🌸

Setengah tiga, aku menelpon Mas Fauzi untuk izin keluar rumah. Ketika Mas Fauzi tanya mau ke mana, aku menjawab diajak Nia jalan-jalan.
Maaf karena sudah berbohong, Mas.

Pukul tiga lebih lima belas menit, Nia datang menjemput. Aku yang memintanya datang agak telat karena ingin shalat Ashar dulu.
Nia membawaku ke tempat temannya.
Sebelumnya aku tidak tahu kalau ternyata ada kantor detektif swasta. Setelah mengisi formulir, aku dihadapkan pada seorang pria seumuran Mas Fauzi. Namanya Mas Kisam.

Mas Kisam menanyakan detail sekali tentang Mas Fauzi.
Aku dan Mas Kisam bertukar kontak untuk keperluan bertukar informasi. Mas Kisam juga menjelaskan cara kerja tim mereka. Jadi, nanti mereka akan memasang GPS pada mobil Mas Fauzi, diam-diam tentunya.

Tim Mas Kisam akan membuntuti ke mana pun Mas Fauzi pergi, baik dengan motor ataupun mobil. Aku juga diharuskan mengirimkan informasi sekecil apa pun, seperti ke mana Mas Fauzi akan mengantarkan orderan kerajinan tangannya.

Biaya semua ini juga tergantung lamanya penyelidikan. Semakin lama penyelidikan, akan semakin membengkak. Tapi, kata Mas Kisam biasanya paling lama adalah dua bulan. Bahkan beberapa kasus bisa diuangkap hanya dalam kurun waktu dua sampai tiga minggu saja.

Mas Kisam juga meminta supaya aku tidak melayani kebutuhan batin Mas Fauzi.

Menurut Mas Kisam, seorang laki-laki yang punya selingkuhan, kalau terus-terus tidak dapat 'jatah' dari istrinya, pasti akan lari pada selingkuhannya. Menurutnya cara ini sangat efektif dan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.

Selebihnya, Mas Kisam memintaku untuk bersikap wajar agar Mas Fauzi tidak curiga. Walau aku mengatakan Mas Fauzi tidak suka memeriksa ponselku, Mas Kisam tetap meminta supaya nama kontaknya disamarkan. Lebih bagus nama kontak wanita. Jadi, aku memberinya nama kontak Neng Keli.

Satu jam lebih aku dan Mas Kisam membicarakan segala sesuatunya. Setelah dirasa cukup, Mas Kisam pun meminta aku pulang dan menunggu instruksi-instruksi selanjutnya. Untuk DP dia hanya meminta lima ratus ribu rupiah.

Segera setelah urusan selesai, Nia kembali mengantarku pulang. Di jalan, Nia membelikan aku sekotak donat. Dia juga berpesan agar aku tidak terlalu lembek pada Mas Fauzi.

Aku sangat berterima kasih padanya.
Juga merasa beruntung memiliki sahabat yang sangat baik sepertinya.

Aku tidak tahu apakah yang kulakukan ini benar atau tidak. Aku hanya ingin mengetahui kebenaran tentang Mas Fauzi.

Ketika memasuki pintu gerbang, ternyata mobil Mas Fauzi sudah terparkir di halaman.
Loh, Mas Fauzi sudah pulang?

"Citra." Mas Fauzi muncul dari balik pintu.

"Mas ...."

"Nia nggak diajak masuk?" Mas Fauzi menghampiri.

Aku menggeleng, sebisa mungkin untuk tidak gugup. "Nia langsung pulang, Mas."

"Jalan-jalan dari mana? Tumben kamu mau pergi jalan-jalan. Bukannya biasanya kamu paling enggan jalan-jalan kalau nggak sama Mas?"

Aku menangkap nada tak senang, atau mungkin kecurigaan, dalam ucapan Mas Fauzi. Ya Allah, apa Mas Fauzi memiliki firasat ya kalau aku tidak jujur padanya.

"Aku ... aku tadi pergi ke kedai donat, Mas." Aku memaksakan diri tersenyum sembari menunjukan sekotak donat pada Mas Fauzi.

Ya Allah, semoga Mas Fauzi percaya.

Haram Memiliki AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang