10

1.6K 96 4
                                    


Telingaku berdengung.

Sesaat ruangan seperti berotasi.

Butuh beberapa waktu bagiku untuk bisa mencerna tiga patah kata dari Mas Kisam.

Putri Mas Fauzi.

Tiga kata yang menghancur dan memorak-porandakan jiwaku.

Putri Mas Fauzi.

Tiga yang membuat hatiku tercabik-cabik.

Putri Mas Fauzi.

Tiga kata yang seakan mampu meruntuhkan langit.

Sejenak aku bergeming.

Menganga.

Tidak mampu berekspresi apa-apa.

“Mas Kisam yakin?” Akhirnya tiga patah kata itu pulalah yang keluar dari mulutku.

Pria di depanku tampak kelihatan iba. Dia mengangguk, tangannya menarik laci lalu mengambil beberapa berkas. Berkas-berkas itu diletakkan di atas meja.

“Sebelum menikah dengan Mbak Citra, Pak Fauzi sudah pernah menikah dengan wanita bernama Maera. Tepatnya pada tahun 2006, pernikahannya terdaftar di KUA setempat. Waktu itu usia Pak Fauzi baru 20 tahun dan Maera 19 tahun. Satu tahun kemudian, Maera melahirkan dan meninggal. Ica, putri mereka dirawat oleh orang tua Maera. Pada tahun 2008, Pak Fauzi pergi ke Jawa bersama uaknya. Pada tahun 2012, Pak Fauzi menikah dengan Mbak Citra, usianya sudah 26 tahun.”

Setelah menarik napas, Mas Kisam kembali melanjutkan, “Kemungkinan besar, alasan Pak Fauzi tidak mau memiliki anak bukan karena selingkuh ataupun pesugihan, melainkan trauma di Masa lalu. Pak Fauzi sakit, tetapi dia tidak menyadarinya. Luka batin akibat kehilangan istri pertamanya pasti sangat membekas dan membuatnya paranoid.”

Telingaku berdengung-dengung.

Mas Fauzi sudah pernah menikah, bahkan memiliki putri yang beranjak dewasa.

Ya Allah, ujian apa ini?

Aku tidak siap.

Ya Allah, sungguh aku tidak siap.

Badanku terasa leMas.

Bahkan tenaga untuk menangis pun rasanya tidak ada. Ya Allah hatiku sakit. Mas Fauzi membohongiku selama bertahun-tahun. Aku merasa sangat bodoh.

“Mbak, Mbak Citra enggak apa-apa.” Mas Kisam menghampiri.

Aku mengangguk.

Namun, kenyataannya aku tidak baik-baik saja. Seluruh tubuhku gemetar. Dadaku terasa sesak.

“Mas, boleh nggak saya urus pelunasan biayanya besok. Sekarang saya mau pulang dulu.”

Mas Kisam mengangguk. “Boleh, Mbak.”

LeMas, aku menyeret langkah menuju ruang tunggu. Namun, ternyata Nia tidak ada. Kata resepsionis, Nia izin pamit dulu karena ditelpon pihak sekolah anaknya. Dia titip pesan supaya aku menunggunya.

Tapi tidak. Aku tidak bisa menunggu.

Aku butuh tempat untuk menumpahkan semuanya. Kekecewaan, kesedihan, dan kemarahan.

“Mbak mau saya antar pulang?” tawar Mas Kisam.

“Enggak, Mas. Terima kasih,” tolakku, halus.

Aku bergegas meninggalkan ruangan.

Entah mau ke mana. Namun, yang pasti tidak pulang ke rumah. Aku ingin pergi ke tempat di mana tidak ada seorang pun yang mengenalku.

Aku ingin menumpahkan gejolak yang menyesakkan dada.

🌸🌸🌸

Setelah berjalan tanpa arah tujuan, aku akhirnya sampai di sebuah Masjid. Tidak tahu ada di mana, sementara hari sudah menjelang siang.

Haram Memiliki AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang