Haram Memiliki Anak
Part 05.
"Dia siapa, Mas?" Aku menatap wanita di samping Mas Fauzi. Entah aku cemburu―yang pasti dadaku bergemuruh.
Mas Fauzi tersenyum, dia melirik wanita yang usianya terlihat sepantaran denganku. "Citra, kenalin, dia Suster Irma."
"Suster?" Aku bingung."Mas sudah sadar, Mas salah. Mas menyesali semuanya. Dan sebagai gantinya, sebagai permintaan maaf, Mas kasih kamu bayi. Nanti Suster Irma akan bantu kamu. Gimana? Kamu mau memaafkan Mas, 'kan?"
"Aku ...." Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
"Citra, nggak penting kan bayi itu lahir dari rahim siapa? Selama kita merawatnya dengan cinta, dia pun pasti akan mencintai kita."
Tidak penting dari rahim siapa? Bagaimana kalau ternyata bayi itu anak Mas Fauzi dengan perempuan lain?
"Dia anak siapa, Mas? Kamu dapat dari mana bayi itu?"
"Dia anak dari siswi SMA yang hamil di luar nikah. Ibu dan keluarga ibunya tidak mengharapkan kedatangannya. Kebetulan salah satu perawat puskesmas temen Mas. Jadi dia langsung mengajukan nama Mas untuk mengadopsi bayi ini. Ibu bayi ini kabur pasca melahirkan."
Ya Allah, kasian sekali bayi ini.
Secara naluri, tanganku bergerak mengelus lembut wajah si bayi. Namun, ternyata elusanku malah membangunkan bayi mungil itu. Mulut mungilnya bergerak, dia menangis. Aku mengerjap kaget. Mas Fauzi tertawa.Suster Irma segera menenangkannya. Dia mengeluarkan termos dan dot kecil. Tangannya cekatan membuat susu.
"Dia perempuan, kamu mau kasih nama siapa?" tanya Mas Fauzi.
"Nama?" Aku menatap Mas Fauzi sebentar, lalu kembali menatap bayi di gendongan Suster Irma.
"Lucu, ya," bisik Mas Fauzi.
"Iya."
"Jadi, kamu mau kan merawatnya?"
"Aku ...." Lagi-lagi aku berada di ambang kebimbangan. Aku jatuh hati pada bayi di gendongan Suster Irma. Tapi, apa aku harus melupakan begitu saja kematian bayi dalam kandunganku sebelumnya."Citra, beri Mas satu kesempatan lagi." Mas Fauzi menggenggam kedua tanganku.
"Fauzi sudah menyesali semuanya. Sebaiknya kamu maafkan dia Citra." Bapak yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara.
Clara dan Ibu yang juga sudah bergabung tidak memberi komentar apa-apa. Hanya kulihat wajah Clara tidak begitu senang.
Mas Fauzi tiba-tiba mengambil bayi di gendongan Suster Irma dan memberikannya padaku. Tanganku bergetar dan jantung berdebar saat menerimanya. Aroma khas bayi segera menguar, membuat hatiku semakin lunak.Cantik sekali bayinya.
Tubuh bayinya bergerak-gerak dalam gendonganku. Aku gugup. Sudah lama sekali aku tidak menggendong bayi. Terakhir kali menggendong bayi, belasan tahun silam, ketika menggendong Clara."Bayinya senyum," kata Mas Fauzi.
Bayinya memang tersenyum, lucu sekali.
"Kita akan merawat bayi ini sama-sama," lanjut Mas Fauzi.
Hatiku kembali bimbang.
Mas Fauzi menatapku, lembut. Matanya masih penuh dengan cinta. Aku bisa merasakannya.
"Citra, kita mulai lagi semuanya dari awal."
Bapak mengangguk saat aku menatapnya. Sementara Ibu, dia tak memberikan respons apa-apa, mungkin menyerahkan semua keputusan padaku. Hanya Clara yang wajahnya kelihatan masam.🌸🌸🌸
Bismillahirrahmanirrahim.
Setelah shalat istikharah dan merenungkan semuanya, aku memutuskan untuk meneruskan pernikahan dengan Mas Fauzi. Sore ini Mas Fauzi akan menjemputku.
"Kakak serius mau kembali hidup bareng sama Om Fauzi?" Clara duduk di tepi ranjang.
"InsyaAllah, Dek." Aku masih mengemas barang-barang ke dalam tas."Tapi, Kak ... Kakak melakukannya bukan karena aku atau Bapak, 'kan? Bukan karena takut kami nggak dibiayai lagi sama Om Fauzi, 'kan?"
Aku sudah selesai mengemas. "InsyaAllah bukan."
"Pasti karena bayi itu?"
Aku diam saja.
"Kak, emang Kakak yakin bayi itu beneran seperti yang diceritakan sama Om Fauzi. Gimana kalau ternyata bayi itu anak Om Fauzi dengan selingkuhannya."
"Clara!" Aku memandang Clara. Aku yakin mimik wajahku pasti kelihatan marah."Maaf, Kak, aku cuma memikirkan kemungkinan ajah."
"Tapi pemikiran kamu jatuhnya bisa fitnah, Dek."
"Iya, Kak, Clara minta maaf."
Mengembuskan napas, aku duduk di samping Clara. Aku memandangnya penuh sayang, aku tahu Clara tidak bermaksud berkata-kata jahat. Dia hanya khawatir padaku.
"Clara, dengerin Kakak. Bicara tanpa bukti itu jatuhnya fitnah kalau salah. Jadi kamu harus hati-hati sama apa pun yang keluar dari mulut kamu. Inget, kata-kata yang sudah dilontarkan tidak dapat ditarik kembali.""Iya, Kak," Clara memandangku, "tapi, Kak. Kakak akan cari tahu, 'kan? Kakak akan cari tahu kenapa Om Fauzi nggak mau punya anak dari Kakak? Juga asal uaul bayi itu? Selain harus berprasangka baik, kita juga harus tabayyun kan, Kak. Kita wajib mencari kebenaran sepahit apa pun itu. Gimana pun aku masih rada gimana saat Om Fauzi yang nggak mau punya anak. Janggal gitu."
Mengatupkan bibir, aku mengangguk.
Tapi, alasan apa sebenernya yang menyelimuti Mas Fauzi. Lalu, jika kebenarannya terungkap, apa aku mampu menerimanya.🌸🌸🌸
Sekitar pukul empat, Mas Fauzi datang menjemput. Dia datang sendiri. Dedek bayi tidak dibawa karena takut keangin-angin katanya.
Setelah pamit pada Ibu, Bapak, dan Clara, aku ikut pulang bersama Mas Fauzi. Di jalan, Mas Fauzi kasih aku buket bunga sama cokelat. Katanya sebagai permintaan maaf.Kejutan dari Mas Fauzi nggak berhenti sampai di situ. Ternyata ruangan depan telah dihias sedemikian rupa. Di dinding dipasang banner bertuliskan "Selamat Datang Sayangku" yang dihias dengan bunga dan origami. Ini seperti dalam drama saja.
Aku tidak dapat menahan rasa haru. Sesaat aku seperti benar-benar sudah melupakan perbuatan jahat Mas Fauzi sebelumnya. Apa yang dilakukan Mas Fauzi terlalu manis dan melenakan.
Suster Irma datang membawa membawa dedek bayi. Aku langsung mengulurkan tangan agar bisa menggendong si malaikat kecil.
Mas Fauzi memelukku dari belakang. Dia mengajak dedek bayi mengobrol dari balik bahuku. Aku bisa merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuh.Ya Allah, aku merasa bahagia.
Merasa lengkap.
Ya Allah, dosakah aku?
'Dek, maafkan Mama yang tidak mampu membenci Ayah yang sudah merenggut kamu dari perut Mama.'🌸🌸🌸
Malam.
Menjelang larut, aku tidak dapat tidur.
Aku masih kepikiran kata-kata Clara: apa alasan Mas Fauzi tidak ingin memiliki anak? Lalu, siapa bayi yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan kami.
Perlahan, aku bangun. Aku tatap wajah Mas Fauzi yang sedang terlelap. Wajahnya masih sama seperti delapan tahun silam. Tirus. Mungkin tidak masuk kategori tampan bagi orang-orang. Tapi, bagiku dia selalu menjadi pria yang paling tampan. Aku sangat mencintai dan selalu mematuhinya.
Sejak awal pernikahan, aku dan Mas Fauzi sudah saling berkomitmen; kami akan menjaga privasi masing-masing; termasuk tidak saling menyentuh ponsel satu sama lain. Kami akan saling memercayai.Tapi sekarang ....
Aku menatap ponsel yang tergeletak di atas nakas. Ponsel milik Mas Fauzi. Jika ingin mencari tahu tentang Mas Fauzi, maka hal pertama bisa dimulai dari memeriksa ponselnya.
Hati-hati, aku turun dari tempat tidur. Jantungku berdebar-debar saat mengulurkan tangan meraih ponsel. Gemetaran.
Ya Allah, ampuni aku.Aku kembali melangkah hati-hati, mendekatkan ponsel ketangan Mas Fauzi. Aku butuh sidik jari ibu jari kanan Mas Fauzi untuk membuka kuncinya.
Clik!
Jantungku tersentak. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Haram Memiliki Anak
RomanceEntah kenapa Fauzi selalu melarang Citra memiliki anak!