8

1.6K 119 6
                                    


Syukurlah Mas Fauzi tidak menanyaiku lebih lanjut.
Hanya saja, Mas Fauzi menyatakan kurang suka kalau aku terlalu dekat sama Nia. Menurut pendapatnya, Nia membawa pengaruh buruk buatku. Aku mengiyakan saja.

Bakda shalat Maghrib, Mas Fauzi pamit lagi. Katanya mau bertemu klien. Sebenernya, Mas Fauzi jarang sekali bertemu klien malam-malam atau lewat Maghrib. Namun, aku tidak berusaha untuk menahan atau mencaritahu. Tim Mas Kisam yang akan mencari tahu semuanya.

Setelah Mas Fauzi pergi, aku segera mengabari Mas Kisam melalui chat WA. Mas Kisam membalas dan memintaku tetap tenang menunggu. Namun, entah kenapa aku tidak bisa tenang sama sekali. Jantungku berdentam-dentam tidak keruan. Antara tidak sabar dan takut kalau harus segera mengetahui kebenaran tentang Mas Fauzi.

🌸🌸🌸

Sekitar pukul setengah delapan, Mas Kisam mengirimkan sebuah foto. Di dalam foto, tampak Mas Fauzi berdiri di depan sebuah rumah. Seorang pria berdandan seperti orang pintar, lengkap dengan jari dipenuhi batu akik, menyambutnya.

Apa yang dilakukan Mas Fauzi?
Segera aku mengetik pesan, menanyakan apa yang sedang Mas Fauzi lakukan pada Mas Kisam.

[Belum tau, tapi mungkin ajah Pak Fauzi sedang konsultasi. Bisa juga hal ini berhubungan dengan ketidakinginannya memiliki anak. Mungkin sebagai syarat majunya usaha. Tapi itu baru spekulasi. Untuk lebih jelasnya kita tunggu Pak Fauzi pergi dulu dari rumah orang pintar itu. Nanti orang saya akan mendapatkan informasi dengan caranya sendiri]

Aku termenung beberapa saat.
Mas Fauzi pergi ke orang pintar?
Setahuku Mas Fauzi tidak pernah berurusan sama orang pintar selama ini. Lagipula, bukannya selama ini Mas Fauzi selalu mengatakan: pergi ke orang pintar itu tanda kemusyrikan dan keterbelakangan pengetahuan.
Apa selama ini sikap Mas Fauzi hanya topeng?
Ya Allah, hatiku gelisah.

Sembari menunggu kabar berikutnya, aku memutuskan untuk shalat Isya. Setelahnya aku berzikir, beristighfar, dan meminta ampunan kepada Allah Subhanahuwata'alla.

Tanpa terasa air mata mengucur membasahi pipi.
Kejadian akhir-akhir ini begitu aneh dan sukar untuk dipercayai.
Terlebih saat mengingat kekejam Mas Fauzi yang tega menggugurkan darah dagingnya sendiri, hatiku hancur. Tak habis mengerti kenapa Mas Fauzi bisa setega dan senekat itu.

🌸🌸🌸

Sekitar pukul sembilan, Mas Fauzi akhirnya pulang.
Aku segera membuatkannya teh manis hangat. Sembari duduk santai di sebelahnya, aku mencoba memancing kejujuran Mas Fauzi.

"Mas, kamu dari mana?" pancingku.

"Biasa, ketemu klien."

"Kok tumben, klien-nya nggak diajak ketemuan di rumah? Biasanya suka diajak main ke rumah?"

"Kan sekarang ada dedek. Takut ganggu." Mas Fauzi menjawab dengan tenang. Dia menyalakan televisi lalu menyeruput teh manis.

"Klien-nya laki-laki kan, Mas?" Sebisa mungkin nada pertanyaanku menggoda Mas Fauzi, bukannya menginterogasi dalam rangka mengorek informasi.
Aku tidak ingin Mas Fauzi curiga.

Mas Fauzi menatapku, lalu terkekeh. Dia mengelus dan menepuk-nepuk kepalaku. "Kamu cemburu, huh?"

"Jawab ajah, laki-laki apa perempuan?"

"Laki-laki, Sayang."

Aku mangut-mangut.
Apa mungkin ya orang pintar itu memang klien Mas Fauzi. Salah satu kerajinan tanah liat Mas Fauzi kan bergerak di bidang seni rupa atau patung. Bisa saja orang pintar itu menginginkan patung tertentu dari Mas Fauzi. Ya, bisa saja.

"O, iya, Mas. Aku udah ada nama buat dedek."

"O, ya," Mas Fauzi menegakkan posisi duduknya, "siapa?"

Haram Memiliki AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang