Hening.
Aku bisa mendengar embusan napas Mas Fauzi yang berat. Mimik wajahnya menyiratkan keruwetan yang sukar untuk digambarkan.
Ibu, Bapak, Clara, nggak ada satu pun yang bicara. Mereka seperti terbius oleh fakta―yang bahkan mungkin―dalam mimpi pun tak pernah membayangkannya.
"Kamu bicara apa, Citra?" Mas Fauzi tertawa lirih. Tawa yang aneh dengan mimik wajah yang ganjil.
"Jangan menyangkal, Mas. Aku sudah tau semuanya. Aku sudah tau. Ica, dia putri kamu kan, Mas?"
Mas Fauzi tertegun.
Dia seakan membeku.
"Kamu membohongi aku selama ini, Mas!" Suaraku terdengar lebih keras dari yang aku harapkan. Nyatanya, kekecewaanku pada Mas Fauzi begitu besar. Terlebih bila mengingat perbuatannya menggugurkan kandunganku.
Andai saja Mas Fauzi mau jujur sejak awal.
Ya, andai.
Mungkin bayi tak berdosa itu masih bisa diselamatkan. Mungkin akan ada solusi untuk mengatasi semuanya. Namun, sekarang semua percuma saja. Bayi itu sudah hilang, tak bisa lagi diselamatkan.
"Citra." Mas Fauzi meraih jari-jariku. Wajahnya tampak sangat pucat. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, bibirnya bergerak. Namun, tidak ada suara apa pun yang keluar dari mulutnya.
"Mas, untuk sementara aku akan tinggal di rumah Ibu. Soal hubungan kita ...." Aku menarik napas. Aku masih belum tau harus dibawa ke mana bakhtera rumah tangga ini. "Aku butuh waktu untuk mempertimbangkan semuanya."
Mas Fauzi bergeming.
Dia seperti berubah jadi sebongkah batu. Namun, aku melihat kekosongan dalam sorot matanya. Mas Fauzi menatapku ketika aku hendak beranjak. Matanya berkabut. Memelas.
Ya Allah, aku kasihan sama Mas Fauzi. Tapi, aku juga kecewa padanya.
♡♡♡
Ini kali kedua aku mengemas pakaian. Berniat pergi meninggalkan Mas Fauzi dengan hati dipenuhi lautan emosi.
Bedanya, dulu aku pergi karena Mas Fauzi ingin agar aku menggugurkan kandungan. Sekarang, aku pergi karena mengetahui kalau ternyata Mas Fauzi sebelumnya pernah menikah dan memiliki anak.
Aku kasihan sama trauma yang dialami Mas Fauzi. Namun, aku juga kecewa. Aku butuh waktu untuk bisa menerima semuanya kembali.
Entah apa bisa aku menerima semuanya kembali, menerima kembali Mas Fauzi.
"Citra ...."
Ibu. Aku menghambur memeluk wanita ringkih itu, menangis menumpahkan semuanya. Ibu membelai punggungku.
"Kenapa, Bu? Kenapa Mas Fauzi bohongi Citra? Kenapa dia nggak jujur dari awal."
"Sudah, Citra. Pasti ada penjelasannya."
Ibu belum tahu tentang kemungkinan trauma Mas Fauzi. Penjelasan. Aku sudah mendapatkannya. Sudah tahu alasannya. Hanya saja, ada yang mengganjal. Aku masih tidak ikhlas kehilangan bayi yang diam-diam sudah dinantikan selama delapan tahun.Rasanya begitu … sakit.
“Citra ....,” suara Mas Fauzi begitu lirih. Dia berdiri di ambang pintu. Langkahnya gontai saat menghampiriku.
Mas Fauzi hendak meraih jemariku, tetapi aku menepisnya halus.
“Citra, maafkan, Mas.” Air mata meluncur membasahi pipi Mas Fauzi. “Mas salah … Mas nggak jujur. Tapi … tapi … Mas ….”
Mas Fauzi tergugu, dia tidak mampu meneruskan kalimatnya.
Aku kasihan melihat Mas Fauzi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haram Memiliki Anak
RomanceEntah kenapa Fauzi selalu melarang Citra memiliki anak!