6

1.5K 106 6
                                    

Haram Memiliki Anak
Part 06

.

Begitu ibu jari kanan Mas Fauzi menyentuh layar, terdengar suara clik lirih. Namun, tetap membuat jantungku tersentak hebat. Sampai beberapa detik, aku menahan napas.

Setelah memastikan Mas Fauzi tidak terbangun, aku mulai menyentuh ikon WA dengan jari gemetar. Tidak ada nama yang aneh di deretan kontaknya. Chat terbaru juga hanya seputar orderan, totalan, dan transferan masuk.

Mataku lalu beralih pada nama kontak bernama Ica. Foto profilnya seorang gadis memakai seragam SMP. Saat aku klik fotonya agar tampak lebih besar, aku seperti tidak asing dengan wajahnya.
Aku menekan ikon kembali dan bersiap mengklik untuk melihat isi percakapan. Namun, tiba-tiba terdengar suara dedek nangis. Kaget, ponsel terlempar dari tanganku dan jatuh ke lantai.

Spontan aku melirik Mas Fauzi. Tampak Mas Fauzi bergerak dan melenguh lirih. Dia akan bangun. Panik, aku meraih ponsel dari lantai dan buru-buru meletakkannya kembali ke atas nakas.
Mas Fauzi bangun.

"Mas ...." Aku salah tingkah di dekat nakas. "Dedek ... dedek nangis. J-jadi, jadi aku bangun."
Mas Fauzi menguap. "Kan udah ada Suster Irma, kamu jangan panik begitu."
"O-oh, iya."

Mas Fauzi salah paham. Dia pikir aku panik karena dedek nangis. Tapi sebenernya aku panik karena hampir ketahuan memeriksa ponsel Mas Fauzi.

Lalu Ica, siapa dia?
Kenapa Mas Fauzi menyimpan kontaknya.
Rasa-rasanya Mas Fauzi tidak mungkin memiliki klien seorang anak SMP. Apa anak teman Mas Fauzi. Tapi kenapa Mas Fauzi menyimpannya, memang apa yang bisa dibicarakan antara gadis belia dan pria tiga puluh empat tahun.

"Cit."
"Eh, iya, Mas."
"Kenapa malah bengong?"
"Oh, itu ... aku ... aku."

Mas Fauzi melangkah menghampiriku. Dia meraba keningku.
"Kamu nggak sakit, 'kan?"
"Enggak, Mas."
"Ya, udah. Ayo lihat dedek."
"Iya."

🌸🌸🌸
Dedek enggak apa-apa. Dia hanya pipis dan diapersnya penuh. Suster Irma langsung menggantinya. Sebenarnya aku ingin merawat dedek sendiri. Namun, Mas Fauzi melarang. Dia ingin aku belajar dulu pada Suster Irma, minimal tiga bulan.
Kata Mas Fauzi, dia tidak ingin aku syok dan kelelahan tiba-tiba memiliki bayi. Jadi dia ingin aku beradaptasi dulu sekaligus belajar secara bertahap.
🌸🌸🌸

Pagi.
Aku sengaja bangun pagi-pagi sekali. Mas Fauzi juga bangun pagi. Kami tidak tidur lagi setelah shalat Subuh. Aku langsung ke dapur untuk membuat camilan, sementara Mas Fauzi menonton berita di ruang tengah.

Rutinitas ini, rutinitas inilah yang aku jalani selama delapan tahun. Rutinitas yang selalu dan selalu menyenangkan. Sesekali Mas Fauzi biasanya akan menghampiri dan memelukku dari belakang.
Dia memang pria yang romantis dan perhatian.
Sikap-sikap manisnya selalu berhasil membuatku jatuh cinta padanya. Kejutan-kejutan sederhananya seperti membelikan camilan kesukaanku, membelikan buket bunga, membelikan makeup, selalu membuatku tersentuh.

Mungkin itulah sebabnya aku lebih suka menurut sama Mas Fauzi. Sebab, dia sudah terlalu baik. Sifat pemarah dan temperamentalnya baru muncul baru-baru ini, pasca aku hamil lalu keguguran. Tapi sekarang sifat lembut dan perhatian Mas Fauzi sudah kembali.

"Citra."

"Ehh, iya, Mas." Aku terkejut karena tahu-tahu Mas Fauzi sudah ada di belakangku. Sedetik kemudian tangannya melingkar di perutku.

"Kamu kenapa melamun terus?"
"Enggak, kok, Mas. Citra nggak ngelamun."
"Yakin? Kayaknya kamu nggak menyadari kedatangan Mas."
"Eh, i-iya. Aku hanya kepikiran gimana caranya rawat dedek."

"Nggak usah terlalu dipikirkan. Nanti Suster Irma pasti bantu. O, iya. Kamu belum ada kepikiran nama buat dedek?"
"Emm, belum. Mas ada saran?"
"Nama dedek, Mas serahkan sepenuhnya sama kamu. Nanti kalau udah ketemu nama buat dedek, kita bikin acara syukuran, ya. Tapi kamu nggak boleh cape-cepe."
"Iya, Mas."

"Masak apa?"
"Aku bikin kue pancong kesukaan Mas."
"O, ya! Makasih, ya."

Aku tersipu saat Mas Fauzi mengesun pipiku. Lebih malu lagi karena Suster Irma datang. Suster Irma tampak salah tingkah. Mas Fauzi langsung melepaskan pelukannya dan aku tertegun canggung.

"Maaf, saya mau cuci dotnya dedek." Suster Irma kelihatan canggung dan malu.

"Iya, Sus. Di sana." Aku menunjuk ke wastafel.

"Mas lupa ada orang lain di rumah ini, biasanya hanya berdua," bisik Mas Fauzi sebelum melangkah kembali ke ruang tengah.
Mas Fauzi.
Ya Allah, kuatkan hatiku. Aku tidak ingin terlalu terlena oleh sikap manis Mas Fauzi sebelum mengetahui semua kebenaran tentang dirinya.

Dulu, aku merasa sangat mengenal Mas Fauzi. Namun sekarang, sekarang aku merasa sama sekali tidak tahu apa-apa tentangnya.
Ketika menikah dulu, usia Mas Fauzi baru 26 tahun, sedangkan usiaku 19 tahun. Orang tua Mas Fauzi ada di Kalimantan Timur. Mas Fauzi merantau bersama uaknya. Mereka tertarik pada seni kerajinan tanah liat yang ada di Jawa.

Waktu itu Bapak masih bekerja sebagai tukang ketoprak keliling.  Uak Mas Fauzi, Uak Isman, sering beli ketoprak Bapak dan dia pun cerita membutuhkan seorang pekerja untuk bersih-bersih di rumahnya. Bapak lalu merekomendasikanku.

Ketika pertama kali bertemu, kesan pertamaku pada Mas Fauzi adalah seorang pria pemurung. Sering bengong sendirian. Jarang bicara. Kurus. Waktu itu usia Mas Fauzi masih sangat muda, baru 25 tahun.

Hampir setiap hari bertemu dan menyiapkan  makanan, kami mulai berinteraksi. Semula canggung, lalu semakin lama semakin akrab. Sampai pada satu sore, tiba-tiba Mas Fauzi dan Uak Isman datang ke rumah mengajukan lamaran.
Waktu menikah, Mas Fauzi hanya didampingi Uak Isman. Orang tuanya tidak datang karena sedang sakit, sedang Jawa-Kalimantan sangat jauh. Baru setelah tiga bulan kami menikah, orang tua Mas Fauzi datang. Mereka sangat baik dan memberiku banyak kado.

Selama delapan tahun, aku hanya pernah bertemu orang tua Mas Fauzi beberapa kali saja. Biasanya mereka yang datang kemari. Mas Fauzi hanya pernah 2 kali membawaku ke Kalimantan. Katanya dia tidak mau aku sakit. Aku selalu mabuk kendaraan, entah kapal ataupun pesawat.

Mas Fauzi juga yang meminta Bapak berhenti jualan. Dia yang kemudian menanggung semua kebutuhan kami. Bukan jumlah yang kecil, mengingat ada 4 orang yang harus ditanggungnya.
Bapak yang memang sudah sepuh, pun kaki kanannya yang pernah cedera sering sakit, sangat berterima kasih pada Mas Fauzi. Baginya, Mas Fauzi penyelamat bagi keluarga kecilnya. Aku pun selalu berpikir Mas Fauzi sebagai pria yang paling baik di dunia ini. Sampai ....

Sampai hari di mana Mas Fauzi tega membunuh darah dagingnya sendiri. Dia tega merenggut kehidupan darah dagingnya yang bahkan belum tercipta dengan sempurna. Bila mengingat ini, hatiku rasanya sakit dan kecewa. Sulit sekali aku melupakannya.

“Mbak, kuenya!” seru Suster Irma.
“Eh! Ya Allah!” Kue pancongku agak gosong. []

Haram Memiliki AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang