Aku keguguran dan tiga hari sudah berlalu.Kini, aku tinggal di rumah Ibu. Clara terus mendesak agar aku melaporkan tindakan gila Mas Fauzi. Namun, melaporkan Mas Fauzi tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Selain itu, Bapak juga melarang. Sebab, selama ini Mas Fauzi-lah yang membiayai kebutuhan keluarga kecil ini.
“Kamu yakin mau pisah sama Fauzi?” Bapak menatapku.
Aku mengangguk.
Rasanya, aku sudah tidak sanggup lagi hidup bersama seorang manusia yang tega menggugurkan darah dagingnya sendiri.
“Tapi, kalau kamu pisah sama Fauzi, gimana sama biaya sekolah Clara?” Bapak menghela napas, mengerut kening. “Andai Bapak nggak penyakitan. Mungkin situasinya nggak akan serumit ini.”
Bapak!
“Citra akan coba cari kerja, Pa. Nyuci, nyetrika.” Aku coba menenangkan Bapak.
“Clara juga akan bantu, Kak,” timbrung Clara yang sedang mengupas wortel bersama Ibu.
“Tugas kamu sekolah, De,” sahutku.
Clara mencebik. Namun, belum sempat memprotes, Bapak sudah lebih dulu bicara.
“Terus emang Fauzi mau menceraikan kamu?”
Aku tertegun.
Hatiku terasa ciut memikirkan betapa repotnya mempersiapkan surat gugatan cerai. Lebih daripada itu, biaya yang dikeluarkan pasti tidak sedikit. Biaya pendaftaran, proses, materai, fotocopy berkas-berkas, surat-surat, dan tetek-bengek lainnya.
Semuanya tidak akan menjadi rumit kalau saja Mas Fauzi mau langsung menceraikanku.
Tapi ….
👻👻👻
“Aku mau kita pisah, Mas!” seru saat itu, emosi.
Mas Fauzi langsung meletakkan nampan berisi semangkuk bubur dan jus alpukat di atas nakas. Dia menatapku tak suka.
“Hati-hati kalau bicara Citra. Kamu tahu, perceraian itu sangat dibenci Allah. Kamu mau Allah murka dan melaknat kamu.”
“Terus membunuh janin itu nggak dibenci Allah, Mas? Aku nggak mau hidup bersama seorang pembunuh.”
“Citra, jaga bicara kamu. Mas lakukan semua itu demi kamu. Mas cuma mau ngelindungin kamu.”
“Ngelindungin aku? Ngelindungin dari apa? Kamu jangan mengada-ada.”
“Mas nggak mengada-ada. Mas cuma nggak mau kamu kenapa-napa. Pokoknya Mas belum siap punya anak. Kamu kenapa nggak mau ngerti, sih. Mas berikan semuanya untuk kamu, Mas cuma minta satu hal sama kamu, jangan punya anak dulu, cuma itu. Tapi kenapa kamu nggak mau nurut Citra! Kamu nggak sadar, kamu itu sudah bersikap dzalim.”
“Tapi kenapa? Apa alasannya. Kamu nggak pernah mau ngasih tau aku, Mas. Mau sampai kapan juga kamu siap? Delapan tahun, Mas, delapan tahun aku sabar dan patuh sama keinginan kamu. Saat Allah memberi aku anugerah-Nya kamu malah merenggutnya dengan paksa!”
Pertengkaran hebat waktu itu membawaku pulang ke rumah. Aku sudah bulat ingin bercerai dengan Mas Fauzi.
👻👻👻
Bercerai.
Dadaku sesak.
Aku mencintai Mas Fauzi sepenuh hati. Namun, kekecewaan di dalam hati pun tak terperi. Apa yang sudah dilakukan Mas Fauzi benar-benar menyakiti.
Rasa marah dan kecewaku menjadi lebih besar dari rasa cinta yang tersemai selama delapan tahun.
“Kakak mau ke mana?” tanya Clara, mendekatiku yang sedang memasukkan buku nikah, KTP, dan dompet ke dalam tas kecil.
“Ke fotocopy-an, Cla.”
“Aku temenin, ya.”
“Nggak usah, kamu bantu Ibu ajah di rumah. Fotocopy-an kan deket dari rumah.”
“Tapi aku mau antar Kak Citra.”
Dasar keras kepala. “Ya, udah. Ayuk!” Aku mengalah pada akhirnya.
Aku merapikan jilbab, kemudian mengaitkan tas selempang ke bahu.
Setelah pamit sama Ibu-Bapak, aku dan Clara langsung menuju ke tempat fotocopy-an.
👻👻👻
Sebenarnya aku tidak yakin, apakah uang yang kumiliki akan cukup untuk menggugat cerai. Mas Fauzi pasti tidak akan menceraikanku begitu saja. Ditambah lagi dia cukup mampu untuk menyewa pengacara.
Ya, Allah.
Apa pilihanku tepat?
Apa benar Engkau akan melaknatku?
“Citra!”
Aku menoleh pada suara yang menyerukan namaku.
Kak Dikri!
Pria berusia tiga puluhan itu tersenyum dan berjalan ke arahku dan Clara. “Lama nggak liat kamu? Mau ke mana?” tanyanya.
“Aku sama Clara mau ke fotocopy-an, Kak.”
Kak Dikri mengangguk kecil. “Gimana kabarnya sekarang?”
Aku memaksakan senyuman. Entah harus menjawab.
“Kok, muka kamu kayak pucat,” desak Kak Dikri.
“Iya, aku lagi nggak enak badan.”
“Nggak enak badan kok malah keluar? Fauzi di mana, kenapa nggak dia ajah yang ke fotocopy-an?”
“Kak Citra sama Om Fauzi mau cerai, Kak Dik,” sahut Clara.
“Astagfirullah! Cerai?” Beberapa saat Kak Dikri ternganga. Ekspresinya seakan tidak percaya.
Siapa pun pasti akan sulit percaya. Hubungku dan Mas Fauzi selalu rekat dan harmonis selama ini.
Sebuah mobil tiba-tiba menepi. Aku sangat mengenali mobil honda itu. Mas Fauzi. Dia keluar dengan muka merah dan sorot mata tajam tak bersahabat.
“Jadi ini!” teriak Mas Fauzi, “ini alasan kamu mau pisah dari aku? Kamu selingkuh sama Dikri!”
“Astagfirullah, Mas! Jaga bicara kamu!” Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Mas Fauzi. Aku dan Kak Dikri bahkan belum ada lima menit bertatap muka, itu pun ada Clara. Jadi, darimana dia memiliki pikiran sepicik itu.
Bukannya mendengarkanku, Mas Fauzi malah mendekati Kak Dikri. Tanpa tedeng aling-aling, Mas Fauzi langsung memukuli Kak Dikri.
“Mas berhenti!
Mas Fauzi sama sekali tidak mau mendengarkanku ataupun Kak Dikri yang berusaha menjelaskan. []

KAMU SEDANG MEMBACA
Haram Memiliki Anak
RomanceEntah kenapa Fauzi selalu melarang Citra memiliki anak!