4

1.5K 64 0
                                    


Keributan Mas Fauzi dan Kak Dikri menimbulkan
perhatian orang-orang. Beberapa pria dewasa segera
melerai dan memisahkan keduanya.

"Mas kamu apa-apaan, sih?" desisku,
"bikin malu
tau!"

"Bikin malu? Kamu yang bikin malu! Inget status
kamu, kamu itu istri orang. Bisa-bisanya kamu
mengobrol dengan lelaki lain. Nggak punya malu!"

"Mas, aku sama Kak Dikri cuma kebetulan
berpapasan. Lagian ...,
" butuh kekuatan yang besar
agar aku bisa melepaskan kalimatnya berikutnya,
"lagian kita juga akan bercerai."

Jari-jari Mas Fauzi mengepal, matanya menatap
nyalang. Aku bisa merasakan kemarahan yang teramat
besar menguar. Menguar seperti asap tebal tak
kasatmata yang pekat dan menakutkan.
Aku dan Mas Fauzi memang menepi, menjauh
dari kerumunan.

Sekilas aku melihat Clara sedang
memeriksa keadaan Kak Dikri di dekat mobil milik Mas
Fauzi. Sementara orang-orang sudah membubarkan
diri.

"Kamu wanita akhir zaman, Citra! Berani kamu
meminta cerai dari suami yang sudah membiayai hidup
keluarga kamu?"

Jantungku tersentak.

Mas Fauzi mengangkat tangan, aku secara
refeleks langsung menyurut mundur. Namun, ternyata
Mas Fauzi malah mengelus pipiku, menghapus air mata
yang meleleh.

"Citra, apa kamu nggak bisa merasakan
ketulusan cinta Mas selama ini? Mas sayang sama
kamu. Mas nggak mau kehilangan kamu."

Aku menepis pelan tangan Mas Fauzi, berpaling.
Kata-kata Mas Fauzi membuatku ketar-ketir.
Kebaikan-kebaikannya selama ini tidak dapat aku
lupakan begitu saja. Terlebih kebaikan Mas Fauzi pada
ibu-bapak dan Clara.

"Apa kamu nggak bisa melupakan ajah kejadian
kemarin itu, Citra? Bayi itu baru hadir beberapa minggu
dalam hidup kamu. Sedangkan Mas, Mas sudah hadir
bertahun-tahun dalam hidup kamu. Selama kamu
hidup sama Mas, apa pernah Mas menyakiti kamu?
Mengecewakan kamu? Tapi bayi itu ... dia ... dia yang
sudah merusak keharmonisan rumah tangga kita. Coba
kamu pikir, rumah tangga kita baik-bail aja sebelum
kehadirannya."

Mas Fauzi menggenggam tanganku. Dia kembali
bicara,
"Kita lupakan ajah semuanya. Kita mulai
semuanya dari awal. Jangan sampai badai kecil ini
merusak keharmonisan rumah tangga kita. Citra ...
kamu harus bisa melewati godaan ini. Jangan sampai
kekecewaan kamu menutupi semua kebahagiaan kita
selama delapan tahun. Mas tanya, apa selama delapan
tahun ini kamu tidak bahagia?"

"Aku ... aku ...."

Aku bahagia. Mas Fauzi sangat baik. Dia selalu
membuatku bahagia. Tapi ....

"Bayi itu godaan dan cobaan dalam rumah
tangga kita Citra. Kehadirannya hanya untuk
mengguncang dan menguji. Kita pasti bisa
melewatinya."

Apa benar begitu? Tapi kenapa rasanya aku
masih tidak rela kehilangan bayi dalam kandunganku.

"A-aku ... aku mau pulang." Aku menarik kedua
tangan yang masih Mas Fauzi genggam.

Di dekat mobil, Clara masih memperhatikanku,
tetapi Kak Dikri sudah tidak kelihatan. Begitu aku
berbalik melangkah ke arah rumah, Clara langsung
mengikuti, tak butuh waktu lama dia sudah ada di
sampingku―kami berjalan beriringan.

🌸🌸🌸

"Kak, kakak enggak berniat mundur,
'kan? Maaf
tadi aku ikut nguping separuh percakapan Kakak sama
Om Fauzi."

"Kakak juga enggak tau, Dek. Jujur kakak juga
masih sayang sama Mas Fauzi. Tapi ... setiap kali kakak
inget sama bayi yang digugurkan Mas Fauzi, hati kakak
terasa sakit. Kecewa."

"Kak ...,
" Clara menjeda sebentar,
"mungkin
nggak sih kalau sebenarnya Om Fauzi itu sudah punya
anak dari wanita lain. Clara minta maaf, Clara nggak
ada maksud buat jelek-jelekin Om Fauzi. Tapi alasan
Om Fauzi buat nggak mau punya anak itu nggak jelas
banget."

Ucapan frontal Clara mampu membuatku
berhenti melangkah. Aku menoleh ke belakang, Mas
Fauzi tidak kelihatan―dia tidak menguti.

"Dek jangan bicara sembarangan," tegurku,
halus.

"Nggak sembarangan, Kak. Tantenya temen
Clara, ada yang seperti Kak Citra. Suami Tante Dina
juga nggak mau punya anak. Setelah ditelusuri ternyata
suami Tante Dina itu udah punya anak dari istri
pertamanya. Nah, kan Om Fauzi juga sering keluar kota
buat ngirim orderan kerajinan patung. Bisa ajah dia
punya istri lain di luar kota."

"Clara cukup!"

suaraku lebih keras dari yang kubayangkan.

Clara mengerjap dan langsung menunduk. "Maaf, Kak."

"Lain kali jangan bicara sembarangan lagi."

"Iya, Kak."

🌸🌸🌸

Hari ini aku tidak jadi mem-fotocopy berkas-
berkas untuk kepentingan pengajuan surat cerai dan
sidang perceraian.

Selepas shalat Isya, aku pamit untuk tidur lebih
awal. Sebenernya aku hanya ingin sendirian dan
merenung.

Kata-kata Mas Fauzi dan Clara seperti saling
bersahutan di dalam kepala. Aku bimbang. Ragu.
Apa perceraian memang jalan terbaik?

Apa yang dikatakan Mas Fauzi benar? Kalau
kehadiran sesaat bayi di dalam perutku hanya untuk
menguji kekokohan rumah kami.

Apa mungkin yang dialami tante temennya Clara
juga menimpaku? Tidak. Tidak mungkin! Mas Fauzi
bukan tipe orang seperti itu. Pasti ada alasan lain dan
aku harus mencari tahu.

Tapi bagaimana kalau ternyata Mas Fauzi benar-
benar memiliki istri lain?

Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku.
Suara Ibu mengalun lirih menembus pintu kayu.

"Cit, ada Fauzi, dia ingin bertemu kamu."

Mas Fauzi?

Aku segera bangkit dan menata rambut,
mengenakan jilbab blus.

🌸🌸🌸

Mas Fauzi dan Bapak sedang mengobrol di ruang
tengah. Ada dua piring kue terang bulan di antara dua
gelas kopi. Aku segera menyalami Mas Fauzi―walau
bagaimana, aku masih berstatus istri yang harus
menghormatinya. Namun, yang menarik perhatianku
adalah wanita dewasa sekitar tiga puluh tahunan yang
duduk di samping Mas Fauzi. Wanita dengan rambut
disanggul itu menggendong bayi.

Ya Allah, hatiku bergetar melihat bayi yang lucu
itu.

Tapi bayi siapa?
Siapa juga wanita itu?

.
.
.

Haram Memiliki AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang