4. Buruk Rupa

394 19 1
                                    

Kembali pria berkulit putih itu mencumbuku. Sebenarnya batinku ini menangis. Hanya saja perasaan cintaku ini sudah membutakan akal sehatku.

Dengan air mata berlinang, aku membalas pelukan dan cumbuannya. Dan malam yang kurindukan selama ini pun terjadi tepat di bulan ketiga pernikahanku dengannya.

Tentu saja aku menikmatinya. Karena ini adalah malam yang sangat kurindukan selama ini. Dan tepat di bulan ketiga pernikahan kami, mas Arya memberikan nafkah batinnya untukku. Walaupun dalam keadaan mabuk dan menyebut nama wanita lain di depanku.

Tapi tak apalah. Setidaknya aku sudah merasakan hangat dan aroma tubuhnya. Biasanya aku hanya bisa menciumi aroma tubuhnya dari pakaian yang bekas ia pakai.

Untuk malam ini, aku bisa puas dan leluasa merasakan hangat dan deru napasnya di telingaku. Walaupun mas Arya terus menerus menyebutkan nama Tamara di sela desahan napasnya.

"Tamara ... Tamara ...."

"Dalam keadaan tidur pun, kau masih menyebut namanya. Begitu istimewanya dia bagimu. Apakah sudah tidak ada ruang kosong di hatimu untukku mas?" gumamku sambil mengelus pipinya. Lalu kukecup pelan keningnya.

Mataku mulai terasa mengantuk. Kumatikan lampu tidur di nakas. Lalu kuletakkan kepalaku di lengan kekarnya dan lelap dengan rasa bahagia di hatiku.

_________

"Aaarrrggghhh ... astaga! Apa yang terjadi?"

Aku terbangun dan memicingkan mata. Karena cahaya matahari yang menyelinap melalui tirai, menyilaukan penglihatanku.

Kulihat mas Arya menjerit dan cepat menyambar handuk untuk menutupi bagian pinggangnya.

"Ada apa, mas? Kok teriak-teriak sih?"

"Seharusnya aku yang tanya. Apa yang terjadi tadi malam? Kenapa aku bisa tidak memakai baju. Dan kau ... Jangan bilang ... kita ... Arrggh!" Mas Arya terduduk di kursi rias dan meremas rambutnya kasar.

Kukenakan pakaianku. Kemudian menghampirinya.

"Mas ...."  Ku sentuh pundaknya. Mas Arya terlonjak menepis tanganku dengan gerakan bahunya. "Kenapa, mas?"

Mas Arya menoleh dan menatapku tajam.

"Apa yang terjadi tadi malam?"

Aku menundukkan kepalaku untuk menghindari tatapan tajamnya. Jelas memang tak ada setitik cinta pun di sana. Hanya ada seberkas kilatan kebencian.

"Eng, kejadian ... ya ... kejadian selayaknya suami istri yang sah," jawabku gugup. Aku bingung harus bagaimana cara menjelaskannya pada suamiku ini.

"Kita sampai melakukan ... itu?" tanyanya dengan ekspresi yang menunjukkan kebingungan.

"Ya. Tadi malam aku tidur. Lalu mas datang dan tiba-tiba mas memelukku kemudian mencumbuku. Lalu semua terjadi begitu saja." Aku berjalan ke tempat tidur dan menunjukan noda bercak merah di seprei putih itu. "Itu buktinya. Mas sudah mengambil mahkota yang selama ini sudah aku jaga."

"Akhh, sialan! Kenapa aku pake acara mabuk segala lagi." Pria berambut tebal itu mengusap kasar wajahnya. Lalu berlalu menuju kamar mandi.

Aku termangu menatap bercak merah di seprei. Sudah lengkap rasanya. Dan statusku pun sudah sempurna menjadi seorang istri.

Mas Arya keluar dengan balutan handuk di pinggangnya. Poni yang basah, jatuh menutupi dahi dan alisnya.

Aku si cupu kampungan ini, benar-benar sudah tergila dengan pesona direktur tampan di depanku.

Wanita mana yang tak tergila-gila dengan seorang Arya Hadikusumo. Usia muda, mapan, tampan dan dari keluarga terpandang. Didukung pula dengan tinggi 172 cm dan tubuh yang tegap. Itu juga karena mas Arya rutin datang ke pusat kebugaran setiap minggunya.

Gadis Buruk RupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang