"Bu Rena, kita makan di sana yuk. Saya yang traktir deh. Biar ibu tahu dan kenal dengan makanan yang biasa dimakan oleh para kaum elit," tunjuknya ke arah sebuah restoran yang bertuliskan WESTERN FOOD.
Seorang pelayan datang menghampiri setelah Dinda mengangkat tangannya. Jadi orang kaya ternyata hidup jadi sesimple itu. Metode pembayaran saja pun cukup dengan selembar kartu. Tidak perlu repot-repot membawa uang tunai.
"Kalau mbak bekerja, lalu anak-anak sama siapa?" tanyaku berbasa-basi agar suasana tidak terlalu kaku.
"Anak-anak saya titipkan pada pengasuh, bu. Tapi ada ibu saya juga yang mendampingi. Karena saya tidak mau merepotkan ibu saya. Cukuplah beliau menjaga dan merawat saya."
Ternyata mbak Dinda anak yang berbakti pada ibunya. Jadi kangen sama mamak di Medan. Sudah jarang aku menghubungi bapak dan mamak. Bukan aku tak mau bertanya kabar, tetapi pertanyaan soal cucu dan kehamilan yang membuatku enggan terlalu sering berkabar. Entah kebohongan apalagi yang harus aku buat agar mereka berhenti bertanya.
"Bu, coba ini deh. Ini salah satu makanan favorit pak Arya. Biasanya beliau selalu memesan ini jika kami meeting dengan klien di luar kantor." Mbak Dinda menggulung mie yang cukup panjang dengan garpu, kemudian meletakkan di piringku.
Kuikuti caranya tadi dengan menggulungkan mie tersebut dengan garpu, kemudian menyedokkan ke mulutku.
Rasanya enak. Tapi terasa asing di lidahku. Maklumlah, lidahku terbiasa dengan tumis kangkung dan sambal tahu tempe.
"Ini namanya spaghetty bolognaise. Makanan khas Italy. Biasanya pak Arya memesan ini atau sirloin steak."
"Stick? Tongkat?"
Wanita berbehel itu tertawa.
"Itu STICK, bu. Yang saya maksud STEAK. S-T-E-A-K. Makanan yang terbuat dari daging sapi atau ayam yang di grill atau di bakar."
Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Kulihat ia memotong daging tersebut dengan sebuah pisau lalu ditusuk menggunakan garpu.
"Begini lho, bu, cara makannya. Pisau di tangan kanan lalu garpu di tangan kiri," jelasnya sembari memperagakan.
Sungguh telaten mbak Dinda mengajariku. Katanya papi sudah berpesan untuk mengajariku soal attitude ala para elit.
"Hai ...."
Aku dan mbak Dinda menoleh ke asal suara yang menyapa kami.
"Mas Mario? Ngapain ke sini?" tanyaku heran atas kehadirannya yang mendadak.
"Lah, ini kan tempat umum. Siapa aja boleh ke sini dong. Tadi emang saya mau beli parfum. Pas lewat sini ada kalian. Boleh gabung gak?"
"Ya boleh saja. Ini kan tempat umum." Aku mempersilahkannya duduk. Dan Mario mengambil kursi di sisi kiriku.
Aku baru beberapa jam saja mengenal sepupu suamiku ini. Tapi, sosoknya yang mudah akrab, membuat suasana hangat dan seperti sudah lama mengenalnya.
Mario anak tunggal sama sepertiku. Hanya saja, kata Mario, ia hidup dalam keluarga broken home. Mamanya yang tidak lain adalah adik dari maminya mas Arya, memilih menikah dengan pria selingkuhannya. Dan meninggalkan Mario begitu saja. Sehingga Mario dibesarkan oleh omanya. Papanya juga pengusaha sama seperti papi. Yang sering menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja.
Aku kembali ternganga mendengar harga parfum Mario. Katanya dia menghabiskan uang sejumlah tiga juta rupiah, hanya untuk sekedar membeli sebotol parfum.
Tak habis pikir aku melihat gaya hidup orang-orang kaya di ibu kota ini. Mudah sekali mengeluarkan uang berjuta-juta hanya untuk satu barang.
Begitu asyik kami mengobrol. Keramahan dan kekocakan Mario mampu memancing tawaku dan mbak Dinda. Suasana menjadi begitu hangat dam bersahabat m
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Buruk Rupa
Teen Fiction"Apa? Mas mau menikah lagi?" tanyaku pada suamiku yang baru saja pulang. "Emangnya kenapa? Apa urusanmu? "Mas, aku ini kan istrimu. Tega sekali mas bicara seperti itu," ucapku lirih dengan mata mulai mengembun. "Asal kau tahu ya. Aku itu tidak pern...