10. Buruk Rupa

428 16 0
                                    

****

Menjelang maghrib aku tiba di rumah. Rumah mewah berlantai dua, dengan kolam renang mungil di belakang rumah.

Aku tidak menggunakan ART yang menginap. Mas Arya beralasan, dia merasa privasinya terganggu jika ada kehadiran orang lain di rumahnya. Apa hanya sekedar alasan atau apa. Entahlah, aku pun tak mengerti.

Menghempaskan tubuh di sofa adalah solusi terbaik saat ini. Kuhela napasku panjang sembari menatap paper bag yang berjejer di meja kaca ruang tamu.
Seharian waktu di mall kuhabiskan bersama Mario hanya untuk belanja barang-barang ini.

Ah, haruskah menghabiskan uang sebegini banyak hanya untuk meraih cinta seorang pria berhati es itu?

"Kau harus bisa membuktikan pada suamimu, bahwa kau pun bisa menjadi lebih cantik dari cewek matre itu." Masih terngiang kata-kata Mario di telingaku tadi.

Kubawa paper bag ke kamar. Sesampai di kamar, aku mengganti pakaian dan menyiapkan makan malam.

Tak lama kemudian aku mendengar deru mobil suamiku memasuki pekarangan. Jantungku memacu dengan cepat. Tak sabar rasanya, ingin melihat seperti apa reaksinya melihat penampilanku. Walaupun aku sendiri merasa tak yakin.

"Rena ... Rena ...," teriaknya memanggilku.

"Gak usah teriak-teriak. Aku gak tuli."

Mendengar suaraku dari arah dapur, mas Arya menghampiriku.

"Rena, jelaskan apa maksud kejadian di restoran ta ...." Kata-katanya seperti tercekat, begitu melihat aku berbalik.

"Re-rena ...." Ia berdiri mematung melihatku. Matanya seakan hendak melompat dari tempatnya. Lalu memandangiku dari atas sampai bawah. "I-ni beneran kamu?"

Aku mengangkat daguku pongah. Selama ini dia yang selalu berperilaku begitu padaku. Mengangkat dagunya tinggi, dengan pandangan merendahkan.

"Ya ini aku ... Rena ... Ada apa?"

"Ke-kenapa kau berubah sedrastis ini, Ren?" Tumben sekali dia menyebut namaku.  Biasanya selalu ada embel-embel jelek dan buruk rupa di setiap kalimat yang ia lontarkan padaku.

"Memangnya kenapa kalau aku berubah? Mas mau menghinaku lagi? Silahkan!"

"Bukan begitu. Aku sampai pangling melihatmu. Kau cantik sekali, Rena," pujinya dengan tatapan yang masih terus lekat. Aku risih ditatap begitu. Tapi setidaknya aku merasa puas melihat ekspresinya.

Aku tertawa sinis. "Tumben mas bilang aku cantik. Biasanya dari mulut mas itu keluar kata-kata hinaan. Aku jelek lah, buruk rupa lah."

"Ya, i-itukan biasanya. Kali ini beda. Kau memang cantik sekali." Pria klimis itu mencoba menyentuh pipiku yang dipoles make-up minimalis.

Kupalingkan wajahku ke samping, menghindari sentuhan tangannya. Ekspresi kaget memancar di wajahnya melihat penolakanku barusan.

Setelah menyajikan hidangan makan malam di meja, aku beranjak meninggalkan mas Arya yang masih berdiri mematung.

"Mau makan, silahkan. Aku mau istirahat dulu. Capek." Aku berjalan menapaki tangga. Perasaanku mengatakan, dia saat ini sedang memandangi punggungku yang berjalan meninggalkannya.

Sesampai di kamar, aku mematut diri di kaca. Rambut pendek sebahuku, disulap menjadi panjang dengan rambut sambung keriting sosis, kaca mataku diganti dengan softlens berwarna abu dan wajah yang dipoles make up minimalis.

Tadi Mario membawaku ke sebuah salon kecantikan dan beberapa butik. Benar yang dikatakannya, kecantikan dan uang itu memang mengalahkan segalanya. Dan seakan mampu membeli cinta.

Gadis Buruk RupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang