"Ayo sayang, tambah lagi," seru Tamara menuangkan minuman alkohol jenis vodka itu ke gelas.
"Sudah cukup, Tamara. Aku sudah tidak tahan lagi," tolakku dengan pandangan yang sudah sangat berkunang-kunang. Entah sudah gelas atau mungkin botol ke berapa yang sudah aku tenggak. Kepalaku pusing. Ditambah lampu kerlap kerlip dan musik house yang sangat kuat.
"Ah, cemen kamu. Baru juga dua botol. Nih aku sudah pesan botol ketiga. Kita nikmati malam ini."
"Sudah cukup. Cukup, Tamara. Beneran, aku sudah tidak kuat. Perutku mual. Aku mau pulang." Aku beranjak dari dudukku dengan langkah terhuyung-huyung. Tamara menatapku kesal.
"Kok pulang. Katanya malas melihat si cupu buruk rupa. Kok malah minta pulang. Malam ini sama aku aja," rajuknya dengan menarik tanganku.
"Tidak bisa, sayang. Di rumah ada adikku. Aku takut nanti dia ngadu ke papi, aku bisa gawat. Lagian besok aku juga ada meeting."
Aku tersenyum melihat kekasihku merajuk. Bibirnya dimonyongkan ke depan. Kubelai rambutnya sebentar.
"Jangan ngambek dong. Masih ada besok kan. Toh kita ketemuan setiap hari." Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Aku tahu, sebuah ciuman pasti bisa menjadi obat untuk perempuan yang sedang merajuk. Terbukti, Tamara mulai menyunggingkan senyumnya.
"Ya sudah. Kamu lagi mabuk begitu. Bisa bawa mobil? Atau mau aku pesankan taksi online?" tawarnya begitu melihatku yang untuk berdiri tegak saja susah. Mungkin karena di bawah pengaruh alkohol yang terlalu banyak aku minum tadi.
Tamara adalah cinta pertamaku sejak kuliah. Dia termasuk primadona di kampus. Gayanya yang selalu modis dan kekinian, ditunjang bodi yang seksi membuat aku terpesona. Bukan cuma aku yang naksir Tamara waktu itu. Hampir separuh mahasiswa menaruh hati padanya.
Tapi, aku yang berhasil memenangkan hatinya. Tentu saja dengan modal uangku. Ajak makan, shopping dan dia langsung menerima cintaku. Dasar cewek!
Semua diurus oleh Tamara. Mobilku di titipkan di night club dan aku pulang menggunakan taksi online.
Sampai di rumah, aku mengendap-endap masuk, takut Sandra melihat keadaanku. Karena adikku itu seperti seorang mata-mata yang dikirim untuk selalu mengawasiku.
Dengan susah payah aku berjalan menaiki tangga. "Begini amat sih rasanya mabok" gumamku dengan tangan terus mencengkram kuat pegangan tangga.
"Rena ... Rena ...," panggilku saat mendapati kamar sangat gelap. Kebiasaan si cupu ini matiin lampu kalau sedang tidur, batinku.
Entah kenapa aku merasakan birahiku tiba-tiba naik di tengah mabukku. Dalam gelap aku masih bisa samar-samar melihat si Rena cupu itu sedang tertidur dengan lingerie merahnya.
Sialan, kenapa sih birahi ini menggangguku. Seharusnya aku tadi tidak usah buru-buru pulang. Jadi aku masih bisa melampiaskan hasratku pada Tamara.
"Mas ... kok tumben?" Si cupu tersentak bangun karena terkejut. Mungkin rabaanku pada kakinya membuat ia terbangun.
"Tamara ...?" Mataku yang berkunang-kunang, malah melihat Tamara di depanku. Kenapa Tamara bisa berada di kamar si cupu? Ah sudahlah. Masa bodoh!
"Aku bukan Tamara. Aku Rena."
Pengaruh alkohol yang terlalu tinggi, membuatku tak sadar akan siapa sebenarnya di hadapanku. Yang aku tahu saat ini, aku cuma ingin melepaskan hasratku yang sudah sangat memuncak.
Akhinya hasrat yang sudah tidak mampu lagi untuk aku tahan, aku lepaskan juga saat itu, dengan bayangan Tamara menari di mataku.
____
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Buruk Rupa
Teen Fiction"Apa? Mas mau menikah lagi?" tanyaku pada suamiku yang baru saja pulang. "Emangnya kenapa? Apa urusanmu? "Mas, aku ini kan istrimu. Tega sekali mas bicara seperti itu," ucapku lirih dengan mata mulai mengembun. "Asal kau tahu ya. Aku itu tidak pern...